PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

Man from the South

By Roald Dahl (1916-1990)


Jam mulai menunjukkan pukul enam pagi, jadi kurasa aku akan pergi membeli bir dan duduk di kursi panjang dekat kolam renang untuk menikmati sisa udara malam.

Aku pun pergi menuju bar lalu memesan bir, kemudian membawanya keluar dan berjalan melewati kebun menuju kolam renang.

Kebun tersebut sangat indah dengan halamannya yang luas, deretan tanaman azalea, dan pohon kelapa sawit, dan anginnya berhembus kencang melewati puncak pohon-pohon sawit, membuat dedaunannya bergemericik seolah sedang terbakar. Aku dapat melihat gugusan buahnya yang berwarna kecoklatan di bawah daun-daunnya.


Ada banyak sekali kursi santai di sekitar kolam renang, meja-meja yang berwarna putih, payung-payung besar berwarna terang, dan para lelaki dan wanita yang kulitnya terbakar matahari dalam pakaian renang mereka. Di kolam itu sendiri ada sekitar tiga atau empat wanita dan selusin lelaki, memercikkan air di sekitar mereka, membuat keriuhan dan saling melempar sebuah bola karet besar.

Aku berdiri sambil memperhatikan mereka. Para gadis itu merupakan warga Inggris yang sedang menginap di hotel. Para lelaki-nya yang tidak kukenali, namun mereka terdengar seperti orang Amerika. Kurasa mereka adalah taruna angkatan laut yang datang berlabuh dari kapal angkatan laut A.S. pagi ini.

Aku beralih pergi lalu duduk di bawah payung kuning di mana tersusun empat bangku kosong di sana, kemudian aku menuangkan bir dan duduk bersandar dengan santai bersama sebatang rokok.

Rasanya nikmat sekali duduk di sana; disinari oleh mentari dan ditemani sebatang rokok. Rasanya juga menyenangkan duduk sambil melihat orang yang berenang memercikkan air yang berwarna hijau di kolam.

Para kelasi Amerika tersebut terlihat sangat akrab dengan para gadis Inggris di sana. Mereka sudah sampai tahap di mana mereka menyelam ke dalam air dan menjungkitkan kaki mereka.

Pada saat itulah aku melihat seorang lelaki tua bertubuh kecil yang berjalan dengan cekatan di pinggiran kolan renang. Dia berpakaian rapi dengan mengenakan setelan putih dan dia berjalan dengan langkah yang aneh, memaksakan diri untuk mengangkat kaki di setiap langkahnya. Dia mengenakan topi Panama besar berwarna krim, dan dia berjalan melewati sisi kolam sambil memandangi orang-orang dan kursi di sekitar sana.

Dia berhenti di sampingku lalu tersenyum, menunjukkan dua baris gigi yang tidak rata dan sedikit bernoda. Aku balik tersenyum kepadanya.

“Maaf, permisi, boleh aku duduk di sini?”

“Tentu saja,” jawabku. “Silahkan.”

Dia menekan-nekan punggung kursi untuk memastikan apakah kursi tersebut cukup kuat untuk menahan tubuhnya, kemudian dia duduk dan menyilangkan kakinya. Kulit putihnya yang kasar menampilkan lubang-lubang di sekitarnya yang mungkin berfungsi sebagai ventilasi di kulitnya.

“Hari yang indah,” ujarnya. “Setiap saat di Jamaika merupakan saat yang indah.” Aku tidak tahu apakah dia memiliki aksen Italia atau Spanyol, tapi aku merasa cukup yakin bahwa dia datang dari Amerika Selatan. Dan juga tahu bahwa dia sudah tua saat kulihat dari dekat. Mungkin umurnya sekitar enam puluh delapan atau tujuh puluh tahun.

“Benar,” jawabku. “Di sini indah sekali.”

“Dan kalau boleh tahu, siapa orang-orang ini? Mereka bukan orang yang menginap di hotel.” Dia menunjuk ke arah para perenang di kolam.

“Kurasa mereka adalah kelasi Amerika,” jawabku. “Mereka adalah orang Amerika yang sedang berlatih menjadi pelaut.”

“Oh, tentu saja mereka orang Amerika. Siapa lagi di dunia ini yang bisa membuat suara seribut itu? Kau bukan orang Amerika, ‘kan?”

“Bukan,” balasku. “Aku bukan orang Amerika.”

Tiba-tiba salah satu kadet Amerika tersebut berdiri di depan kami. Tubuhnya basah kuyup dan ada satu gadis Inggris yang sedang berdiri di sampingnya.

“Apa ada yang duduk di kursi ini?” tanyanya.

“Tidak ada,” kataku.

“Boleh aku duduk di sini?”

“Silahkan”

“Terima kasih,” sahutnya. Dia memegang handuk di tangannya dan ketika dia duduk dia membuka lipatannya dan mengeluarkan sekotak rokok dan pemantik. Dia menawarkan rokoknya kepada gadis tersebut dan dia menolak, lalu dia menawarkanku dan kuambil satu batang. Orang tua itu berkata, “Terima kasih, tapi tidak, aku punya cerutu.” Dia mengeluarkan kotak cerutunya dan mengambil satu, kemudian dia mengeluarkan sebuah pisau lipat dengan gunting kecil di dalamnya, lalu memotong ujung cerutunya.

“Ini, pakai saja pemantikku,” pemuda Amerika tersebut menawarkan pemantiknya.

“Tidak akan bisa menyala dengan angin sekencang ini.”

“Tentu saja bisa. Pemantikku selalu bisa menyala.”

Lelaki tua tersebut memindahkan cerutu dari mulutnya, memiringkan kepalanya lalu memandangi si pemuda.

“Se-la-lu?” katanya dengan lembut.

“Tentu saja, pemantikku tidak pernah tidak menyala. Tidak selama aku memakainya.”

Kepalanya masih dalam posisi miring dan menatap pemuda itu. “Well, well. Katamu pemantik hebat ini tidak pernah tidak menyala. Itu maksudmu?”

“Tentu,” jawabnya. “Benar sekali.” Dia berumur sekitar sembilan belas atau dua puluh tahun dengan wajah yang berbintik dan hidung mancung seperti paruh burung. Dadanya tidak terlalu terbakar dan di sana juga ada bintik-bintik, dan ada sejumput bulu berwarna pucat kemerahan. Dia menggenggam pemantik di tangan kanannya, siap memutar rodanya. “Selalu dapat menyala,” ujarnya lagi, sekarang dia terlihat tersenyum karena sengaja melebih-lebihkan bualan kecilnya. “Aku jamin, pemantik ini selalu dapat menyala.”

“Tunggu sebentar.” Tangannya yang memegang cerutu dinaikkan, dengan telapaknya ke depan, seolah dia sedang menghentikan laju kendaraan. “Tunggu dulu sebentar.” Dia memiliki suara yang datar dan masih menatap pemuda itu.

“Sepertinya kita bisa bertaruh untuk itu.” Dia tersenyum ke arahnya. “Kita bisa membuat taruhan kecil apakah pemantikmu dapat menyala.”

“Tentu saja bisa,” balasnya. “Kenapa tidak?”

“Kau suka bertaruh?”

“Iya, aku selalu bertaruh.”

Pria itu bergeming sebentar lalu memperhatikan cerutunya, dan harus kuakui aku tidak terlalu suka dengan caranya bersikap. Seolah dia telah mendapatkan ide untuk membuat malu pemuda ini, dan pada saat bersamaan kurasa dia menikmati sebuah rahasia kecil sendirian.

Dia kembali menatapnya dan berkata dengan pelan, “Aku juga suka bertaruh. Bagaimana kalau kita bertaruh dengan taruhan besar?”

“Wow, tunggu dulu,” sahut pemuda itu. “Aku tidak bisa melakukannya. Tapi aku bisa bertaruh satu dolar, atau apapun yang berlaku di sini, seperti beberapa shilling[1] mungkin?”

Pria tua itu mengayunkan tangannya lagi. “Dengarkan aku. Sekarang kita akan bersenang-senang. Kita buat taruhan. Kemudian kita akan naik ke kamarku di hotel ini di mana tidak akan ada angin dan aku berani bertaruh bahwa kau tidak akan bisa menyalakan pemantik hebatmu ini sepuluh kali berturut-turut tanpa gagal.”

“Aku akan bertaruh apa yang kubisa,” jawab lelaki itu.

“Baiklah. Bagus. Kita bertaruh, oke?”

“Oke. Aku berani bertaruh satu dolar.”

“Tidak, tidak. Aku menawarimu taruhan yang sangat bagus. Aku orang kaya dan aku juga sportif. Dengarkan aku. Di luar hotel ini ada mobilku. Mobil yang sangat cantik. Mobil Amerika. Cadillac-“

“Hey, tunggu sebentar.” pemuda itu bersandar kembali di kursinya dan tertawa. “Aku tidak bisa bertaruh dengan barang seperti itu. Ini gila.”

“Tidak gila sama sekali. Kau nyalakan pemantikmu sepuluh kali dan Cadillac itu akan menjadi milikmu. Kau suka mobil Cadillac?”

“Tentu saja aku ingin memiliki itu.” dia masih menyeringai.

“Baiklah. Bagus. Kita bertaruh dan aku mempertaruhkan Cadillac-ku”

“Dan apa taruhanku?”

Pria tua itu melepaskan pita merah dari cerutunya yang belum dinyalakan. “Aku tidak akan memintamu untuk mempertaruhkan sesuatu yang tidak kau punya, temanku. Kau mengerti?”

“Jadi, apa yang harus kupertaruhkan?”

“Akan kubuat mudah untukmu, oke?”

“Oke. Buatlah yang mudah.”

“Hal kecil yang mampu kau lepaskan, dan kalau kau kehilangannya, kau tidak akan terlalu menyesal. Bagaimana?”

“Seperti apa?”

“Mungkin seperti jari kelingking di tangan kirimu.”

“Apa!” pemuda itu berhenti menyeringai.

“Benar. Kenapa tidak? Kau menang, kau ambil mobilnya. Kau kalah, kuambil jarimu.”

“Aku tidak mengerti. Maksudmu, bagaimana kau akan mengambil jariku?”

“Dengan cara memotongnya.”

“Astaga! Itu taruhan yang gila. Kurasa aku hanya akan bertaruh satu dolar.”

Pria itu bersandar kembali, menunjukkan telapak tangannya ke depan dan mengedikkan bahunya dengan sikap menghina. “Well, well, well,” ujarnya. “Aku tidak mengerti. Katamu pemantiknya selalu dapat menyala tapi kau tidak mau bertaruh. Kalau begitu apa kita harus melupakan ini?”

Pemuda itu masih duduk bergeming, menatap orang-orang di kolam renang. Kemudian dia sadar bahwa dia belum menyalakan rokoknya. Dia menaruhnya di antara bibirnya, tangannya masih menggenggam pemantik lalu memutar rodanya. Sumbunya menyala dan mengeluarkan api kecil kekuningan dan menangkupkan tangan di depannya untuk menghalau angin.

“Boleh aku pinjam pemantiknya?” pintaku.

“Ya ampun, maaf. Aku lupa kalau kau tidak punya pemantik.”

Aku mengulurkan tanganku untuk meraih pemantiknya, tapi dia sudah berdiri dan mendekat untuk menyalakannya sendiri.

“Terima kasih,” sahutku, kemudian dia kembali ke bangkunya.

“Bagaimana pengalamanmu di sini?” tanyaku.

“Cukup menyenangkan.” Jawabnya.

Kemudian timbul keheningan, dan aku yakin bahwa pria tua ini telah berhasil mengusiknya dengan tawaran yang tidak masuk akal. Dia masih duduk bergeming di kursinya, menggosok dada dan punggung lehernya, dan akhirnya dia menaruh kedua tangan di atas lututnya dan mulai mengetuk-ngetukkan jari di dengkulnya. Tidak lama kemudian dia mulai mengetuk dengan kakinya juga.

“Biar kuperjelas hal ini,” ujarnya. “Katamu tadi, kita akan naik ke kamarmu dan jika aku berhasil menyalakan pemantik ini sepuluh kali berturut-turut, maka aku akan mendapatkan Cadillac. Dan jika pemantikku tidak menyala satu kali saja, maka aku harus merelakan jari di tangan kiriku. Benar?”

“Benar sekali. Itulah taruhannya. Tapi kurasa kau takut.”

“Bagaimana kalau aku kalah? Apa aku harus menahan tanganku saat kau akan memotongnya?”

“Oh, tidak! Kau mungkin nanti akan menolak menahannya. Yang akan kulakukan adalah mengikat salah satu tanganmu di atas meja sebelum kita memulainya dan aku akan berdiri di sana bersiap untuk memotong jarimu segera setelah kau gagal menyalakan pemantikmu.”

“Cadillac-mu buatan tahun berapa?” Tanya lelaki itu.

“Maaf, aku tidak mengerti.”

“Tahun berapa… seberapa tua mobil Cadillac-mu?”

“Ah! Umurnya? Baru satu tahun. Masih sangat baru. Tapi kurasa kau bukanlah orang yang suka bertaruh. Orang Amerika memang tidak pernah suka bertaruh.”

Dia berdiam sebentar lalu menoleh pada gadis Inggris itu kemudian kepadaku. “Baiklah.” Katanya dengan tajam. “Aku akan ikut bertaruh.”

“Bagus!” pria tua itu menepukkan tangannya sekali dengan pelan. “Baiklah,” ujarnya. “Kita akan melakukannya sekarang. Dan Anda, pak,” dia menoleh padaku, “Kau mungkin bisa menjadi, apa itu sebutannya, menjadi… menjadi wasitnya.” Dia memiliki mata yang sangat pucat dengan pupil kecil berwarna hitam terang.

“Well,” sahutku. “Menurutku ini taruhan yang gila. Aku tidak menyukainya.”

“Aku juga tidak,” ujar gadis Inggris itu. Ini adalah pertama kalinya dia berbicara. “Menurutku itu adalah taruhan yang bodoh dan gila.”

“Apa kau serius akan memotong jari pemuda ini jika dia kalah?” tanyaku.

“Tentu saja. Juga tentang akan memberikannya Cadillac jika dia menang. Ayo. Kita pergi ke kamarku.”

Kemudian dia berdiri. “Apa kau ingin berpakaian dulu?” tanyanya.

“Tidak perlu,” jawab pemuda itu. “Aku cukup seperti ini.” Kemudian dia menoleh padaku. “Aku akan berterima kasih jika kau mau ikut dan bertindak sebagai wasit.”

“Baiklah,” kataku. “Aku akan ikut, tapi aku tidak suka taruhannya.”

“Kau ikutlah juga,” katanya pada gadis itu. “Kau bisa ikut dan menyaksikannya.”

Pria tua itu membimbing kami ke kamarnya melewati taman hotel. Dia terlihat sangat hidup dan bersemangat sekarang, dan itu membuatnya melangkah dengan menaikkan tungkainya lebih tinggi setiap kali melangkah.

“Kamarku di bagian paviliun,” ujarnya. “Kau ingin melihat mobilnya terlebih dahulu? Mobilnya terparkir di dekat sini.”

Dia membawa kami ke tempat di mana kami dapat melihat parkiran di bagian depan hotel, kemudian dia berhenti dan menunjuk ke sebuah Cadillac berwarna hijau mengkilap yang diparkir di dekat sana.

“Itu dia. Yang warna hijau. Kau suka?”

“Mobil yang bagus,” komentar pemuda itu.

“Baiklah. Sekarang mari kita naik ke atas dan lihat apakah kau bisa memenangkannya.”

Kami mengikutinya sampai ke pavilun dan menaiki satu set tangga. Dia membuka pintu kamarnya, lalu kami masuk ke dalam kamar dengan ranjang double empuk dan besar. Di sana ada gaun wanita yang tergeletak di seberang salah satu ranjang.

“Pertama-tama,” ujarnya, “mari kita minum Martini.”

Minumannya berada di atas meja kecil di sudut ruangan, siap untuk dituang, dan ada juga pengocok minuman, es, dan gelas-gelas. Dia mulai membuat Martini, dan sementara itu dia membunyikan bel, kemudian terdengar suara ketukan di pintu dan seorang pembantu masuk ke kamar.

“Ah!” serunya sambil meletakkan sebotol gin, mengambil dompet dari sakunya lalu mengeluarkan selembar uang. “Kau harus melakukan sesuatu untukku.” Dia menyerahkan uang tersebut kepada pembantunya.

“Kau simpan saja itu,” lanjutnya. “Sekarang kami akan sedikit bermain di sini dan aku ingin kau keluar mengambilkanku dua… bukan, tiga barang. Aku butuh paku; aku ingin palu, dan sebuah pisau potong, pisau pemotong daging yang bisa kau pinjam dari dapur hotel. Kau bisa mendapatkannya, ‘kan?”

“Pisau potong!” pembantunya membelalakkan matanya lebar-lebar lalu menepukkan tangan di depan dadanya. “Maksud Anda pisau potong sungguhan?”

“Iya, tentu saja. Ayo, pergilah. Kau pasti bisa mendapatkan barang-barang itu.”

“Baiklah, tuan. Akan saya coba untuk mendapatkannya.” Kemudian dia pun berlalu.

Orang tua itu memberikan kami Martini. Kami berdiri di sana dan meneguknya. Pemuda dengan wajah berbintik-bintik dan hidung mancung, tubuhnya tidak mengenakan apa-apa kecuali celana pendek renangnya; gadis Inggris yang berambut lurus dan mengenakan pakaian renang biru pucat itu sedang memperhatikan si pemuda setiap saat; orang tua bermata pucat itu sedang berdiri juga di sana dengan setelannya yang rapi, meminum Martini-nya dan memperhatikan si gadis Inggris yang mengenakan pakaian renang biru pucat. Aku tidak mengerti situasi ini. Orang tua itu terlihat serius dengan taruhannya dan juga tentang memotong jari pemuda itu. Tapi, alas! Apa yang akan terjadi kalau si pemuda kalah? Apakah kami harus membawanya ke rumah sakit dengan Cadillac yang tidak dimenangkannya? Itu pasti hal yang sangat menyenangkan. Benar-benar hal gila yang menyenangkan.

“Menurut Anda, bukankah taruhan ini agak gila?” tanyaku.

“Kurasa ini taruhan yang menarik,” jawab pemuda itu. Dia telah meneguk habis satu gelas penuh Martini-nya.

“Menurutku ini taruhan yang bodoh dan menggelikan,” sahut gadis itu. “Bagaimana kalau kau kalah?”

“Itu tidak masalah. Aku tidak pernah memerlukan jari kelingking di tangan kiriku ini.” Si pemuda menunjukkan jarinya. “Jari ini belum pernah melakukan sesuatu pun untukku. Jadi kenapa tidak kalau aku bertaruh dengannya. Menurutku ini taruhan yang menarik.”

Orang tua itu tersenyum lalu mengambil pengocok minuman dan mengisi gelas kami.

“Sebelum kita mulai,” ujarnya, “akan kuberikan kunci mobilnya kepada sang wasit.” Dia mengeluarkan sebuah kunci mobil dari saku kemudian memberikannya kepadaku. “Surat-suratnya,” lanjutnya, “surat kepemilikan dan asuransi-nya ada di laci mobil.”

Kemudian pembantunya tiba. Di salah satu tangannya dia memegang sebuah pisau potong, jenis yang sering digunakan oleh pemotong daging untuk memotong tulang, dan satunya lagi memegang sebuah palu dan sekantong paku.

“Bagus sekali! Kau mendapatkan semuanya. Terima kasih, terima kasih. Sekarang kau boleh pergi.” Dia menunggu sampai pembantunya menutup pintu kamar, kemudian dia menaruh peralatan tersebut di salah satu ranjang di sana lalu berkata, “Sekarang kita bisa bersiap-siap.” Lalu berkata kepada si pemuda, “Tolong bantu aku menyiapkan mejanya. Kita angkat sedikit.”

Itu adalah meja tulis kamar hotel yang biasa, hanya meja segi empat setinggi empat kaki dengan tinta, pena, dan kertas di atasnya. Mereka mengangkatnya ke dalam kamar dari sisi dinding, lalu menyingkirkan semua peralatan tulis di sana.

“Dan sekarang,” ujarnya, “kita perlu sebuah kursi.” Dia mengambil sebuah kursi lalu meletakkannya di samping meja. Dia melakukannya dengan tangkas dan menggebu-gebu, seperti seseorang yang sedang menyusun permainan pada pesta anak-anak. “Dan sekarang pakunya.” Dia mengambil beberapa paku lalu mulai memakunya di atas meja.

Kami berdiri di sana, pemuda itu, gadis inggris, dan aku, sambil memegang segelas Martini di tangan kami, memperhatikan orang tua itu mengerjakan semuanya. Kami melihatnya memakukan dua paku di atas meja dengan jarak sekitar enam inci. Dia tidak memakukannya sampai habis; dia membiarkan sebagian kecil tetap menonjol. Kemudian dia mengetes kekuatan paku-paku tersebut dengan jari-jarinya.

Siapapun pasti berkipir bahwa keparat ini sudah pernah melakukan ini sebelumnya. Dia tidak terlihat ragu-ragu. Meja, paku, palu, pisau potong. Dia benar-benar tahu apa yang dibutuhkannya dan bagaimana menyusunnya.

“Dan sekarang,” serunya, “kita butuh tali kecil.” Dia menemukan seutas tali. “Baiklah, kita siap sekarang. Maukah kau untuk duduk di meja,” pintanya pada pemuda itu.

Dia lalu menyingkirkan gelasnya dan duduk di sana.

“Sekarang taruh tangan kirimu di antara dua paku ini. Paku itu hanya agar aku dapat mengikat tanganmu di sana. Bagus sekali. Sekarang aku akan mengikat erat tanganmu di atas meja.”

Dia melilitkan benang tersebut di sekitar pergelangan pemuda itu, lalu di sekitar bagian tangan yang lebih lebar, kemudian dia mengencangkan ikatannya ke paku di sana. Dia melakukannya dengan sangat baik dan ketika sudah selesai, pemuda itu sudah tidak bisa lagi menarik tangannya. Namun dia masih dapat menggerakkan jemarinya.

“Sekarang tolong kepalkan tangan dan keluarkan jari kelingkingmu. Kau harus tetap menonjolkan jari kelingkingmu di atas meja.”

“Bagus sekali! Bagus sekali! Sekarang kita sudah bisa mulai. Kau bisa menggunakan tangan kanan untuk menyalakan pemantikmu. Tapi tunggu sebentar.”

Dia beralih ke ranjang dan mengambil pisau. Dia kembali dan berdiri di sisi meja dengan pisau di satu tangannya.

“Apa semuanya sudah siap sekarang?” katanya. “Tuan wasit, kau harus beri aba-aba agar kita dapat memulainya.”

Gadis Inggris itu berdiri di sana dengan pakaian renang biru pucatnya di belakang kursi si pemuda. Dia hanya berdiri di sana tanpa berkata apa-apa. Pemuda itu duduk terpaku di kursinya sambil memegang pemantik di tangan kanannya, dan melihat pisau potong yang dipegang orang tua itu. Orang tua itu kemudian menatapku.

“Apa kau sudah siap?” tanyaku pada pemuda itu.

“Siap.”

“Dan kau?” tanyaku pada orang tua itu.

“Sangat siap,” jawabnya kemudian dia mengangkat pisaunya sekitar dua kaki di atas jari si pemuda, siap untuk memotong. Pemuda itu melihatnya, tapi dia tidak terlihat terkejut dan mulutnya tidak bergerak sama sekali. Dia hanya mengangkat alisnya dan mengerutkan dahinya.

“Baiklah,” serunya. “mari kita mulai.”

Pemuda itu bertanya, “Bisakah kau menghitung dengan keras berapa kali aku menyalakannya.”

“Oke,” sahutku.

Dengan jari jempol dia membuka pemantiknya, dan dengan jempolnya pula dia memutar roda pemantiknya. Geretannya lalu memercikkan api dan api kecil pun menyala dengan warna kekuningan.

“Satu!” seruku.

Dia tidak meniup apinya; alih-alih dia menutup pemantiknya dan menunggu sekitar lima detik sebelum membukanya lagi.

Dia menjentikkan geretannya dengan sangat keras dan sekali lagi muncul api kecil di sumbunya.

“Dua!”

Tidak ada yang berkata-kata. Pemuda itu memusatkan perhatian pada pemantiknya. Sementara orang tua itu masih memegang pisaunya di udara dan dia juga memasati pemantiknya.

“Tiga!”

“Empat!”

“Lima!”

“Enam!”

“Tujuh!” jelas bahwa pemantik itu sangat bagus. Fling-nya memercik dengan hebat dan tinggi sumbunya sangat tepat. Aku memperhatikan jempolnya menutup pemantik untuk mematikan apinya. Kemudian hening sebentar. Lalu jempolnya membuka penutupnya sekali lagi. Hanya jempol saja yang bekerja di sini. Aku mengambil napas, siap untuk menyebutkan delapan. Jempolnya memutar rodanya. Pemantiknya memercik. Sebuah api kecil muncul kembali.

“Delapan!” seruku, dan setelah aku mengatakannya, pintu kamar terbuka. Kami semua menoleh dan melihat seorang wanita berdiri di ambang pintu, seorang wanita berambut hitam, terlihat sedikit tua, berdiri di sana sekitar dua detik lalu menyerbu masuk sambil berteriak, “Carlos! Carlos!” dia meraih lengannya, mengambil pisau dari tangannya, melemparnya ke ranjang, menarik setelan putih orang tua itu lalu mengguncangnya dengan sangat keras, berbicara kepadanya dengan kencang dan cepat dalam bahasa Spanyol. Dia mengguncangnya dengan sangat keras sehingga kau tidak dapat lagi melihatnya. Orang tua itu menjadi bayangan yang terputus-putus, seperti jeruji roda yang sedang berputar.

Kemudian dia memelankan gerakannya dan orang tua itu kembali terlihat, lalu dia menariknya ke seberang ruangan dan mendorongnya ke salah satu ranjang di sana. Orang tua itu duduk di pinggir ranjang, mengerjap-ngerjapkan matanya lalu mengecek apakah kepalaya masih terpasang di lehernya.

“Maafkan saya,” ujar wanita itu. “Saya sangat menyesal atas kejadian ini.” Katanya dengan bahasa Inggris yang sempurna.

“Sayang sekali,” lanjutnya. “Sepertinya ini benar-benar kesalahan saya. Saya baru saja meninggalkannya sebentar selama sepuluh menit dan saat saya kembali dia sudah melakukannya lagi.” Dia terlihat sangat menyesal.

Pemuda itu lalu melepaskan ikatan tangannya. Gadis Inggris itu dan aku hanya berdiri saja di sana tanpa mengatakan apa pun.

“Dia orang yang berbahaya,” ujarnya. “Di tempat kami tinggal dia telah mengambil empat puluh tujuh jari dari orang-orang yang berbeda, dan dia telah kehilangan sebelas mobil. Pada akhirnya mereka mengancam akan memenjarakannya. Oleh karena itulah saya membawanya ke sini.”

“Kami hanya sedang melakukan taruhan kecil,” gumam orang tua itu dari ranjangnya.

“Saya tebak dia mempertaruhkan sebuah mobil,” kata wanita itu.

“Benar,” jawab si pemuda. “Sebuah mobil Cadillac.”

“Dia tidak punya mobil. Itu milikku. Dan itulah masalahnya,” ujarnya, “dia mempertaruhkan sesuatu yang tidak dia miliki. Saya merasa malu dan sangat menyesal dengan ini semua.” Kelihatannya dia wanita yang amat sangat baik.

“Well,” sahutku, “kalau begitu, ini kunci mobilmu.” Kuletakkan kuncinya di atas meja.

“Kami hanya melakukan taruhan kecil,” gumam orang tua itu lagi.

“Dia sudah tidak memiliki apapun yang dapat dipertaruhkannya,” jelasnya. “Dia tidak lagi memiliki apa-apa di dunia ini. Tidak satu pun. Kenyataannya, dulu aku sendiri yang memenangkan itu semua darinya. Butuh waktu yang lama bagiku untuk dapat melakukannya, dan itu semua sangat sulit, namun aku berhasil.” Dia melihat si pemuda lalu tersenyum, sebuah senyuman lembut yang terlihat sedih, kemudian dia mendekat dan mengulurkan tangannya untuk mengambil kunci di meja.

Sekarang terlihat jelas olehku bahwa tangannya hanya memiliki satu jari dan jempol.

[selesai]

Catatan Penerjemah:

[1]      Shilling; satuan uang logam yang pernah digunakan di Inggris. Setara dengan seperduabelas poundsterling atau dua puluh pence. Juga berlaku di Uganda, Kenya, dan Tanzania, setara dengan 100 sen.

1 comment:

  1. http://nalurerenewws.blogspot.com/2018/08/taipanqq-3-keuntungan-jalin-hubungan.html

    Taipanbiru
    TAIPANBIRU . COM | QQTAIPAN .NET | ASIATAIPAN . COM |
    -KARTU BOLEH BANDING, SERVICE JANGAN TANDING !-
    Jangan Menunda Kemenangan Bermain Anda ! Segera Daftarkan User ID terbaik nya & Mainkan Kartu Bagusnya.
    Dengan minimal Deposit hanya Rp 20.000,-
    1 user ID sudah bisa bermain 8 Permainan.
    BandarQ
    AduQ
    Capsasusun
    Domino99
    Poker
    BandarPoker
    Sakong
    Bandar66

    Kami juga akan memudahkan anda untuk pembuatan ID dengan registrasi secara gratis.
    Untuk proses DEPO & WITHDRAW langsung ditangani oleh
    customer service kami yang profesional dan ramah.
    NO SYSTEM ROBOT!!! 100 % PLAYER Vs PLAYER
    Anda Juga Dapat Memainkannya Via Android / IPhone / IPad
    Untuk info lebih jelas silahkan hubungi CS kami-Online 24jam !!
    • WA: +62 813 8217 0873
    • BB : E314EED5

    Daftar taipanqq

    Taipanqq

    taipanqq.com

    Agen BandarQ

    Kartu Online

    Taipan1945

    Judi Online

    AgenSakong

    ReplyDelete