PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

The Monkey's Paw

The Monkey's Paw
(Tapak Kaki Monyet)
Pengarang: W. W. Jacobs

"Hati-hati dengan apa yang kalian pinta, kalian mungkin akan menerimanya." – Anonymous

Bagian I
Tanpa ada apapun, malam itu terasa dingin dan lembab, tapi di ruang tamu kecil di villa Laburnum, tirai sudah ditutup dan api menyala dengan terang. Ayah dan anak itu sedang bermain catur. Pemain pada giliran sebelumnya, yang tadinya memiliki ide untuk bermain itu menggunakan peluang-peluang radikal. Menempatkan bidak rajanya dalam resiko yang besar dan tidak perlu sehingga hal itu bahkan memancing komentar dari wanita tua berambut putih yang sedang merajut dengan tenang di samping perapian.
"Dengarkan hembusan anginnya1," kata Tuan White, setelah melihat kesalahan fatal yang telah terlanjur dilakukannya, dengan ramah berkeinginan mencegah anaknya dari melihat kesalahannya itu.
"Aku mendengarkannya," kata pemain pada giliran setelahnya, dengan wajah yang serius memperhatikan papan catur itu sambil mengulurkan tangannya. "Skak!"
"Seharusnya aku tidak perlu berharap terlalu banyak kalau dia akan datang malam ini," kata ayahnya, dengan tangannya yang telah siap di atas papan catur.
"Mat!" jawab anak itu.

"Itulah hal terburuk dari hidup di tempat yang begitu jauh," timpal Tuan White dengan tiba-tiba dan tanpa berkeinginan untuk bermain kasar. "Dari semua tempat yang menjijikkan dan parah, di sini adalah yang terburuk. Jalannya berupa rawa-rawa dan rusak berat. Aku tidak tahu apa yang orang pikirkan. Kurasa hanya karena ada dua rumah saja yang dibiarkan berdiri di jalanan, sehingga mereka pikir semua ini tidak masalah."
"Tidak apa-apa, sayang," kata istrinya menghibur, "Mungkin kau akan memenangkan yang berikutnya."
Tuan White mendongak tajam, tepat pada saat dia terhenti sekilas dan melihat tatapan antara ibu dan anak itu. Kata-katanya tiba-tiba berhenti keluar dari mulutnya, dan ia menyembunyikan senyum bersalah di jenggot abu-abu tipisnya.
"Di situ kau rupanya," kata Herbert White saat gerbang depan dibanting dengan keras dan sebuah langkah berat terdengar menuju ke arah pintu.
Lelaki tua itu berdiri dengan tergesa-gesa namun tetap terlihat ramah dan membuka pintunya, ia menyambut tamunya. Pendatang baru itu juga terlihat menyambutnya, sehingga nyonya White mengatakan, "Tut, tut!" dan terbatuk-batuk lembut saat suaminya memasuki ruangan diikuti oleh seorang pria, tinggi kekar, mata yang seperti manik-manik, dan wajah yang kemerah-merahan.
"Sersan Mayor Morris," katanya, memperkenalkan dirinya.
Sang sersan mayor itu menjabat tangan dan mengambil kursi yang telah disodorkan kepadanya di samping perapian, mengamati dengan expresi puas saat tuan rumahnya mengeluarkan wiski dan gelas dan menaruh ketel tembaga kecil di atas perapian.
Saat meminum gelas yang ketiga matanya menjadi cerah, dan ia mulai berbicara, semua anggota keluarga duduk melingkar dengan antusias mengelilingi pengunjung dari jauh ini, sementara ia menegakkan bahunya yang bidang di kursi dan berbicara mengenai kejadian-kejadian yang menegangkan dan perbuatan-perbuatan yang gagah berani; perang, wabah, dan masyarakat yang aneh.
"Sudah dua puluh satu tahun," kata tuan White, mengangguk pada istri dan anaknya. "Ketika ia pergi ia hanyalah seorang pemuda tanggung di gudang2. Sekarang lihatlah dia."
"Dia tidak terlihat seperti orang yang telah melewati banyak marabahaya." kata nyonya White dengan sopan.
"Aku ingin pergi ke India sendirian," kata lelaki tua itu, hanya untuk melihat-lihat sedikit, kau tahu kan."
"Tempat Anda yang sekaranglah yang lebih baik," kata sang sersan mayor, menggelengkan kepalanya. Dia meletakkan gelas kosongnya dan mengeluh dengan lembut, lalu menggelengkan kepalanya lagi.
"Aku ingin melihat kuil-kuil tua, para fakir3, dan akrobat di sana," kata lelaki tua itu. "Apa yang mau kau ceritakan waktu lalu tentang kaki monyet atau apalah itu, Morris?"
"Tidak ada." kata prajurit itu buru-buru. "Setidaknya, tidak layak untuk didengarkan."
"Kaki monyet?" kata nyonya White ingin tahu.
"Yah, bagi kalian itu mungkin sedikit terdengar seperti sihir." kata sang sersan mayor dengan terbuka.
Ketiga pendengarnya membungkuk ke depan dengan penuh semangat. Pengunjung itu dengan tatapan yang hampa meletakkan gelas kosong itu ke bibirnya dan kemudian meletakkannya lagi di atas meja. Sang tuan rumah mengisi gelas untuknya lagi.
"Kalau dilihat-lihat," kata sang sersan mayor sambil meraba-raba isi dalam sakunya, "Itu hanya  sebuah kaki kecil biasa yang dikeringkan seperti mumi."
Dia mengambil sesuatu dari sakunya dan menyodorkannya. Nyonya White kembali ke posisi duduknya yang semula dengan menyeringai, tapi anaknya, mengambil itu, mengamatinya dengan rasa penasaran.
"Dan apa yang khusus dengan benda ini?" tanya tuan White saat ia mengambil benda itu dari tangan anaknya, dan setelah memeriksanya, meletakkannya kembali di atas meja.
"Benda itu telah dimantrai oleh seorang Fakir tua," kata sang sersan mayor, "seseorang yang sangat suci. Dia ingin menunjukkan bahwa takdirlah yang menentukan kehidupan manusia, dan orang-orang yang ingin mengubah ketentuan takdir yang telah ditetapkan akan mendapatkan kesengsaraan dalam hidup mereka. Ia memantrai benda itu sehingga tiga orang yang berbeda masing-masing bisa memiliki tiga keinginan dari itu."
Sikapnya begitu mengesankan sehingga para pendengarnya menyadari bahwa tertawa ringan mereka kini telah menjadi agak bergetar.
"Nah, lalu kenapa kau tidak meminta ketiga perminataan itu, Pak?" kata Herbert White dengan cerdik.
Tentara itu menanggapinya dengan pandangan seperti seorang tua yang tidak akan menanggapi serius omongan pemuda lancang. "Sudah kulakukan," katanya pelan, dan wajahnya yang berjerawat berubah menjadi putih pucat.
"Dan apakah ketiga permintaanmu benar-benar dikabulkan?" tanya Nyonya White.
"Iya," kata sang sersan mayor, dan gelasnya mengetuk gigi-giginya yang kuat.
"Dan apakah sudah ada orang lain yang meminta pada benda itu?" desak wanita tua itu.
"Pria yang pertama telah mendapatkan tiga permintaannya. Berarti iya." Adalah jawabannya, "Aku tidak tahu apa dua permintaan pertamanya, tapi yang ketiga adalah agar dia bisa mati. Begitulah ceritanya sampai kaki itu ada padaku sekarang."
Nada bicaranya sangat mengerikan sehingga menimbulkan kesenyapan pada para pendengarnya.
"Jika kau sudah mendapatkan tiga keinginanmu itu, maka benda itu tidak ada gunanya lagi untukmu sekarang, Morris," kata lelaki tua itu pada akhirnya. "Untuk apa kau menyimpannya?"
Prajurit itu menggeleng. "Karena terlihat keren pikirku," katanya pelan "Aku ingin menjualnya, tapi kurasa tidak akan kulakukan. Benda ini telah menyebabkan cukup banyak kemalangan pada hidupku. Selain itu, orang tidak akan membeli. Beberapa orang pikir itu hanyalah cerita dongeng; dan mereka yang berpikir macam-macam ingin mencobanya terlebih dahulu dan membayarku sesudahnya."
"Jika kau bisa memiliki tiga permintaan lagi," kata lelaki tua itu, menatapnya dengan tajam, "Apa kau masih mau memilikinya?"
"Aku tidak tahu," kata sang sersan mayor. "Aku tidak tahu."
Sang sersan mayor kemudian mengambil kaki monyet itu, dan menaruhnya di antara jari telunjuk dan ibu jarinya, lalu dengan tiba-tiba melemparkannya ke perapian. Tuan white, dengan sedikit kecewa, membungkuk dan menyambar ke perapian untuk mengambilnya kembali.
"Lebih baik biarkan benda itu terbakar," kata prajurit itu sungguh-sungguh.
"Jika kau tidak menginginkannya lagi, Morris," kata lelaki tua itu, "berikan ini padaku."
"Tidak akan." kata temannya itu dengan tabah. "Aku telah melemparkannya ke dalam api. Jika kau ingin menyimpannya, jangan salahkan aku atas apa yang akan terjadi. Jadi, lemparkan itu ke dalam api seperti orang yang berakal sehat."
Lelaki tua itu menggeleng dan memeriksa barang baru miliknya itu dari dekat. "Bagaimana kau melakukannya?" tanyanya.
"Pegang itu di tangan kananmu, dan memintalah dengan suara keras," kata sang sersan mayor, "Tapi kuperingatkan kau akan konsekuensinya."
"Kedengarannya seperti cerita '1001 Malam'", kata nyonya White, sambil berdiri dan mulai mengatur jamuannya. "Tidakkah kau berpikir  untuk meminta empat pasang tangan untukku?"
Suaminya menarik jimat itu dari dalam sakunya, dan ketiganya tertawa terbahak-bahak saat sang sersan mayor, dengan ekspresi cemas di wajahnya, meraih lengannya.
"Jika kau benar-benar ingin berharap," katanya dengan kasar, "mintalah untuk sesuatu yang masuk akal dan bijaksana."
Tuan White menjatuhkannya kembali di sakunya, dan menempatkan kursi, memberi isyarat agar temannya duduk. Saat makan malam, jimat itu hampir dilupakan dan tidak diperbincangkan lagi, setelah itu  mereka bertiga duduk mendengarkan dalam mode terpesona dengan bagian kedua dari cerita petualangan prajurit itu di India.
"Jika kisah tentang kaki monyet ini tidak seperti apa yang telah ia ceritakan pada kita," kata Herbert, saat pintu tertutup di belakang tamu mereka, tepat pada waktunya untuk naik kereta terakhir, "kita tidak akan bisa terlalu banyak memanfaatkannya."
"Apakah kau memikirkan sesuatu tentang benda itu, ayah?" tanya nyonya White ke arah suaminya dengan erat.
"Hanya hal yang sepele," katanya, sedikit bercanda, "Dia tidak menginginkannya, tapi aku membuatnya mengambilnya. Dan dia memaksaku lagi untuk membuangnya."
"Mungkin," kata Herbert, dengan pura-pura ngeri. "Tentu saja, kita akan menjadi kaya, terkenal, dan bahagia. Mintalah agar menjadi kaisar, ayah, sebagai permulaan. Sehingga ayah tidak akan dikuasai oleh istri lagi."
Dia melesat mengitari meja, dikejar oleh nyonya White yang telah bersenjatakan sehelai kain dari kursi4.
Tuan White mengambil kaki monyet itu dari sakunya dan menatapnya dengan ragu. "Aku tidak tahu apa yang harus kuminta, dan itulah faktanya," katanya pelan. “Bagiku seolah-olah aku sudah punya semua yang aku inginkan. "
"Jika ayah hanya ingin membereskan rumah, ayah akan cukup senang kan!" kata Herbert, dengan tangannya di bahunya. "Yah, minta saja dua ratus pound, itu sudah cukup."
Ayahnya, tersenyum dengan wajah malu pada kecenderungannya yang mudah percaya pada sesuatu, mengangkat jimat itu, sementara anaknya, dengan wajah serius, merasa agak dirusak suasananya oleh kedipan mata ibunya, duduk dan membuat beberapa nada yang mengesankan.
"Aku berharap agar diberikan dua ratus pound," kata lelaki tua itu dengan jelas.
Sebuah suara dentuman dari piano menyambut kata-katanya, terganggu oleh teriakan gemetar dari lelaki tua itu. Istri dan anaknya berlari ke arahnya.
"Benda itu bergerak," ia berseru, dengan lirikan jijik pada benda itu saat berbaring di lantai. "Ketika aku berharap, benda itu memutar di tanganku seperti ular."
"Yah, aku tidak melihat uangnya," kata putranya, saat ia mengambil kaki monyet itu dan meletakkannya di atas meja, "dan aku yakin aku tidak akan pernah melihatnya."
"Pasti hanya khayalanmu saja, ayah," kata istrinya pada suaminya dengan cemas.
Dia menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, lupakan saja, lagipula tidak ada bahaya yang terjadi, tapi semua itu sama-sama mengejutkanku."
Mereka duduk kembali di samping perapian sementara dua pria itu menghabiskan rokok pipa mereka. Di luar, angin lebih kencang dari sebelumnya, dan lelaki tua itu mulai gugup saat mendengar benturan pintu di lantai atas. Keheningan yang tidak biasa dan menyedihkan menangkap ketiga orang itu, yang berlangsung beberapa lama sampai pasangan lanjut usia itu beranjak naik ke lantai atas untuk istirahat di sisa malam itu.
"Kuharap kalian akan menemukan uang tunainya diikat dalam tas besar di tengah-tengah tempat tidur kalian," kata Herbert, sambil mengucapkan selamat malam pada mereka, "dan sesuatu yang mengerikan berjongkok di atas lemari pakaian kalian, memperhatikan kalian selagi kalian mengantongi uang kotor itu."
Dia duduk sendirian dalam kegelapan, menatap api yang sudah mulai padam, dan melihat wajah-wajah di dalamnya. Wajah terakhir yang dilihatnya begitu mengerikan dan sangat mirip seekor monyet sehingga ia menatapnya dengan takjub. Bayangan itu menjadi sangat jelas sehingga dengan tertawa yang sedikit gelisah, ia berlari ke arah meja untuk mendapatkan segelas air lalu menumpahkannya di atas api. Tangannya menggenggam kaki monyet itu, dan dengan sedikit gemetar ia mengusap tangannya di mantelnya dan pergi ke tempat tidur.
Bagian II
Dalam kecerahan matahari musim dingin keesokan harinya, saat cahaya mengalir di atas meja sarapan ia menertawakan ketakutannya. Ada suasana menjemukan tentang ruangan itu yang mana telah kekurangan pada malam sebelumnya, dan kaki monyet yang sedikit kotor dan keriput itu terlempar di sisi papan karena tidak dipedulikan yang mengisyaratkan bahwa tidak ada yang percaya dengan kekuatan pada benda itu.
"Kurasa semua prajurit tua sama saja," kata nyonya White. "Salah kita karena mendengarkan omong kosong seperti itu! Zaman sekarang bagaimana mungkin sebuah permintaan dapat dikabulkan. Dan kalaupun benar, bagaimana mungkin dua ratus pound dapat menyakitimu, ayah?"
"Mungkin karena uangnya terjatuh dari langit dan mengenai kepalanya," kata Herbert dengan asal.
"Morris mengatakan bahwa hal-hal itu akan terjadi secara alami," kata ayahnya, "sehingga jika itu benar-benar terjadi sesuai permintaanmu, kau akan menganggapnya sebagai kebetulan."
"Yah, jangan habiskan uangnya sebelum aku pulang," kata Herbert saat ia bangkit dari meja. "Aku takut itu akan mengubah ayah menjadi seorang pria jahat yang tamak, sehingga kami terpaksa harus tidak mengakui ayah sebagai anggota keluarga lagi."
Ibunya tertawa, dan mengikutinya sampai ke pintu, menyaksikan dia turun ke jalan, dan kembali ke meja sarapan. Ia tertawa karena rasa mudah percaya suaminya. Semua itu tidak mencegahnya untuk bergegas menuju ke pintu karena ada ketukan dari tukang pos, atau mencegah dia merujuk pada kebiasaan mabuk sang sersan mayor ketika ia mengetahui bahwa tukang pos itu hanya membawa tagihan dari penjahit.
"Saat pulang, kuharap Herbert akan memiliki lebih banyak lagi komentar-komentar lucu," katanya saat mereka duduk untuk makan malam.
"Pastinya," kata tuan White, menuangkan bir untuk dirinya sendiri, "tetapi dari semua kekonyolan itu, benda itu memang benar-benar bergerak di tanganku, sumpah."
"Kau hanya berpikir benda itu bergerak," kata wanita tua itu menenangkan suaminya.
"Tidak, benda itu benar-benar bergerak," sahut pria tua itu. "Bukan hanya karena pikiranku saja, aku baru saja - Ada apa?"
Istrinya tidak menjawab. Dia sedang mengamati gerakan misterius dari seorang pria di luar, yang mengintip dengan ragu-ragu ke dalam rumah, tampaknya sedang berpikir untuk mencoba masuk. Terpikir lagi olehnya tentang dua ratus pound itu, dia menyadari bahwa orang asing itu berpakaian dengan rapi, dan mengenakan topi sutra yang masih mengkilap. Tiga kali ia berhenti di depan pintu gerbang, dan kemudian berjalan lagi. Yang keempat kalinya, ia berdiri dengan tangannya di atas pagar, dan kemudian, tiba-tiba, dengan langkah yang pasti ia membukanya lebar-lebar dan berjalan menyusuri jalan setapak. Nyonya White pada saat yang sama meletakkan tangannya di belakang punggungnya, dan buru-buru membuka kancing string celemeknya, lalu meletakkannya di bawah bantal kursinya.
Dia membawa masuk orang asing itu, yang tampaknya merasa tidak nyaman dengan kondisi ruangannya. Dia menatap wanita tua itu diam-diam, dan mendengarkan dengan seksama saat wanita tua itu meminta maaf atas keadaan ruangannya, dan mantel suaminya, pakaian yang biasanya ia pakai untuk berkebun. Wanita tua itu menunggu dengan sabar sampai lawan jenisnya itu meminta izin untuk menyampaikan maksud kedatangannya, tapi pria itu pada awalnya diam dan terlihat aneh.
"Saya - diminta untuk menemui Anda," kata pria itu pada akhirnya, lalu membungkuk dan mengambil sepotong kapas dari celananya. "Saya datang dari 'Maw and Meggins’”
Wanita tua itu memulai, "Apakah ada masalah?" tanyanya terengah-engah. "Apakah sesuatu terjadi pada Herbert? Apa itu? Apa itu?
Suaminya pun menyela. "Tenanglah, bu," katanya buru-buru. "Duduklah, dan jangan langsung mengambil kesimpulan. Anda sedang tidak membawa kabar buruk, iya ‘kan Pak?" Dan menatap istrinya dengan sendu.
"Saya minta maaf -" kata si tamu.
"Apakah dia terluka?" tanya wanita itu dengan tatapan liar.
Tamu itupun membungkuk mengiyakan. "Terluka sangat parah," katanya pelan, "tapi dia tidak sakit."
"Oh terima kasih, Tuhan!" kata wanita tua itu, menggenggam tangannya. "Terima kasih, Tuhan untuk itu. Terima -!"
Dia berhenti saat semua ketenangan menghilang dari raut wajahnya dan dia melihat sebuah pertanda dari kepastian terhadap sesuatu yang telah ditakutkannya dari wajah tamu yang kelihatan menghindari pandangannya itu. Dia menahan napas, dan beralih melihat ke suaminya yang cerdas namun lambat. Dia meletakkan tangannya yang telah gemetar di atas tangan suaminya. Muncullah keheningan panjang yang melanda ruangan itu.
"Dia terperangkap di mesin." kata pengunjung itu, singkat dengan suara rendah.
"Terperangkap dalam mesin," ulang tuan White, dengan bingung.
"Iya."
Dia duduk memandang ke luar jendela, dan menggenggam tangan istrinya dengan kedua tangannya, menekannya seperti hal biasa yang telah dilakukannya di masa-masa pacaran mereka, hampir empat puluh tahun sebelumnya.
"Dia adalah satu-satunya keluarga kami yang tersisa," katanya, berpaling dengan lembut ke arah si pengunjung. "Sulit untuk menerima ini."
Pengunjung itu berdeham, dan berdiri, berjalan dengan perlahan ke jendela. "Perusahaan menginginkan saya untuk menyampaikan simpati yang tulus kepada Anda sekalian atas kecelakaan ini," katanya, tanpa melihat ke belakang. "Saya harap Anda mengerti bahwa saya hanyalah pelayan mereka dan hanya mematuhi perintah."
Tidak ada jawaban, wajah wanita tua itu terlihat pucat, matanya menatap kosong, dan napasnya nyaris tak terdengar. Wajah suaminya terlihat seperti wajah temannya, sang sersan, saat  melakukan misi pertamanya.
"Saya mengatakan bahwa Maw and Meggins menyakal bahwa ini semua adalah tanggung jawab mereka," lanjut tamu itu. "Mereka tidak mengakui ada kewajiban sama sekali, tetapi menimbang pelayanan dan kerja keras anak Anda selama ini, mereka ingin memberikan sesuatu kepada Anda dengan jumlah tertentu sebagai kompensasinya."
Tuan White menjatuhkan tangan istrinya, dan bangkit berdiri, menatap dengan ekspresi ngeri ke arah tamunya. Bibirnya yang kering membentuk kata-kata, "Berapa banyak?"
"Dua ratus pound," adalah jawabannya.
Tak Sadar akan jeritan istrinya, pria tua itu tersenyum samar, mengulurkan tangannya seperti orang buta, dan jatuh ke lantai seperti sebatang kayu.

Bagian III
Di tempat pemakaman baru yang besar, sekitar dua mil jauhnya, pasangan lansia itu menguburkan jasad anak mereka, dan kembali ke rumah diikuti dengan bayang-bayang pekat dan keheningan. Semua ini terjadi dengan begitu cepat sampai pada awalnya mereka tidak bisa menyadari hal itu, dan tetap dalam keadaan berharap seolah-olah sesuatu yang lainlah yang terjadi - sesuatu yang lain yang dapat meringankan beban ini, terlalu berat untuk ditanggung oleh hati yang telah renta.
Tetapi hari-hari pun berlalu, dan harapan memberi jalan untuk menyerah keputusasaan orang-orang tua, yang terkadang salah disebut sebagai sikap apatis5. Kadang-kadang mereka tidak bertukar kata, sekarang tidak ada yang dapat mereka bicarakan, dan hari-hari mereka masih panjang untuk merasa kelelahan.
Seminggu setelahnya, pria tua itu tiba-tiba terbangun di malam hari, mengulurkan tangannya dan menyadari bahwa dirinya sendirian. Ruangan itu dalam kegelapan, dan suara seperti tangisan tenang datang dari jendela. Dia mengangkat dirinya dari tempat tidur dan mulai mendengarkan.
"Ayo kembali," katanya lembut. "Kau bisa kedinginan di sana."
"Lebih dingin bagi anakku," kata wanita tua itu, dan menangis lagi.
Suara isak tangis istrinya tidak lagi terdengar. Tempat tidur itu masih hangat, dan matanya masih terasa berat. Dia tertidur nyenyak, dan masih tertidur sampai sebuah jeritan keras tiba-tiba terdengar dari istrinya dan langsung membuatnya terbangun.
"KAKI ITU!" dia berteriak liar. "KAKI MONYET ITU!"
Suaminya mulai panik. "Dimana? Dimana itu? Ada apa?"
Istrinya datang dengan tertatih-tahih ke ruang sebelah, ke arah suaminya. "Aku menginginkannya," katanya pelan. "Kau belum menghancurkannya ‘kan?"
"Benda itu ada di ruang tamu, di atas keranjang," jawabnya terheran-heran. "Kenapa?"
Dia menangis dan tertawa bersamaan, lalu membungkuk dan mencium pipi suaminya.
"Aku baru saja terpikirkan hal itu," katanya histeris. "Mengapa aku tidak memikirkan itu sebelumnya? Kenapa kau tidak memikirkan itu?"
"Pikirkan apa?" ia bertanya.
"Dua permintaan lainnya," jawabnya dengan cepat. "Kita baru memohon satu permintaan."
"Apa itu belum cukup?" tuntutnya dengan keras.
"Tidak," serunya penuh kemenangan, "Kita akan memohon satu permintaan lagi. Turunlah dan cepat ambil benda itu, mintalah agar anak kita hidup kembali."
Pria itu duduk di tempat tidur dan melemparkan seprai dari tubuhnya dengan gemetar. "Ya Tuhan, kau sudah gila!" teriaknya karena terkejut mendengarnya.
"Ambil itu," istrinya terengah-engah, "Cepat ambil benda itu, dan mintalah - Oh anakku, anakku!"
Suaminya bergegas mengambil korek dan menyalakan lilin. "Kembalilah ke tempat tidur katanya dengan goyah. "Kau tidak tahu apa yang sedang kau katakan."
"Permintaan pertama kita benar-benar dikabulkan," kata wanita tua itu, tergesa-gesa, "jadi, kenapa tidak untuk mencoba yang kedua?"
"Itu hanyalah sebuah kebetulan," kata orang tua itu terbata-bata.
"Pergi ambil benda itu dan mintalah," teriak istrinya, bergetar dengan girang.
Orang tua itu berbalik dan memandangnya, dan suaranya bergetar. "Dia sudah meninggal sepuluh hari yang lalu, dan disamping itu, dia - aku tidak akan memberitahumu yang lain, tapi - aku hanya bisa mengenali dia karena pakaiannya. Jika saat itu dia terlihat terlalu mengerikan bagimu, bagaimana dengan sekarang?"
"Bawa dia kembali," teriak wanita tua itu, dan menyeretnya ke arah pintu. "Apa kau pikir aku akan takut dengan anak yang telah kurawat sendiri?"
Ia turun ke bawah dalam kegelapan, dan meraba-raba jalannya ke arah ruang tamu, lalu ke tempat perapian. Jimat itu ada di sana, dan muncullah sebuah ketakutan yang luar biasa di benaknya tentang keinginan yang tak bisa terucapkan jika mungkin anaknya yang telah termutilasi muncul di hadapanya sebelum dia bisa melarikan diri dari ruangan yang mengurung dirinya itu. Kemudian ia menarik napas saat ia sadar bahwa ia telah kehilangan arah menuju pintu. Alisnya dingin karena keringat, ia meraba-raba jalannya mengitari sekeliling meja, dan meraba-raba di sepanjang dinding sampai ia menemukan dirinya berada di jalan kecil dengan benda yang jahat itu di tangannya.
Bahkan wajah istrinya tampak berubah ketika ia memasuki ruangan. Wajahnya terlihat pucat namun penuh dengan harapan, dan bagi suaminya yang sedang ketakutan, wajah istrinya tampak memiliki tampilan yang tak wajar. Dia takut padanya.
"MINTALAH!" serunya dengan suara yang kuat.
"Ini adalah tindakan yang bodoh dan salah," katanya dengan tersendat-sendat.
"MINTALAH!" ulang istrinya.
Suaminya mengangkat tangannya. "Aku berharap anakku hidup kembali."
Jimat itu jatuh ke lantai, dan ia melihatnya dengan ketakutan. Lalu ia menghilang di balik kursinya, sementara istrinya, dengan mata berapi-api, berjalan ke arah jendela dan mengangkat tirai yang menutupinya.
Suaminya duduk sampai ia gemetar karena kedinginan, melirik sesekali pada sosok wanita tua itu yang sedang mengintip melalui jendela. Ujung lilin yang telah terbakar sampai ke tepi bawah tempat lilin Cina itu membuat bayangan yang bergoyang-goyang di langit-langit dan dinding ruangan, sampai dengan kerlipan yang lebih besar daripada sebelumnya, lilin itu padam. Lelaki tua itu dengan rasa lega yang tak terkirakan karena kegagalan jimatnya, merayap kembali ke tempat tidurnya, dan satu menit kemudian wanita tua itu datang dengan pelan dan dengan rasa enggan tidur di samping suaminya.
Tidak ada yang berbicara, namun mereka hanya berbaring dengan tenang sambil mendengarkan detak jam di dinding. Sebuah anak tangga berderit, dan seekor tikus bergegas masuk ke dalam celah di dinding dengan ributnya. Kegelapan itupun mulai mencekam, dan setelah berbaring selama beberapa lama untuk menggugah keberaniannya, ia mengambil kotak korek api, dan menyalakan satu, lalu turun ke bawah untuk mencari lilin.
Di kaki tangga korek apinya padam, dan ia berhenti untuk menyalakan satunya lagi, dan pada saat yang sama sebuah ketukan dari arah pintu depan terdengar samar-samar dan halus sehingga hampir tidak dapat didengar.
Korek itu jatuh dari tangannya dan berceceran di jalan. Dia berdiri tak bergerak, napasnya tertahan sampai ketukan itu terdengar lagi. Lalu ia berbalik dan berlari dengan cepat kembali ke kamarnya, dan menutup pintu di belakangnya. Ketukan ketiga terdengar sampai ke dalam rumah.
"APA ITU?" teriak wanita tua itu, terkejut.
"Tikus," kata orang tua itu dengan nada gemetar - "tikus itu melewatiku di tangga."
Istrinya duduk di tempat tidur mendengarkan. Sebuah ketukan keras bergema melalui rumah.
"Ini Herbert!"
Istrinya berlari menuju ke pintu, tapi suaminya mengejar dirinya, dan menangkap lengannya, memeluknya erat-erat.
"Apa yang akan kau lakukan?" bisiknya serak. "Itu anakku, itu Herbert!" dia menangis, meronta-ronta agar dilepaskan. "Aku lupa kalau itu dua mil jauhnya. Untuk apa kau menahanku? Lepaskan aku. Aku harus membukakan pintunya."
"Demi Tuhan! Jangan biarkan itu masuk," teriak pria tua itu dengan gemetaran.
"Kau takut dengan anakmu sendiri," serunya sambil berjuang melepaskan tangannya. "Biarkan aku pergi. Aku ke sana, Herbert. Aku datang."
Muncul sebuah ketukan, dibarengi dengan ketukan berikutnya. Wanita tua itu tiba-tiba memilinkan tangannya dan berhasil melepaskan dirinya, lalu berlari dari ruangan itu. Suaminya mengejarnya, dan memanggilnya dengan panggilan sayang sambil bergegas turun. Dia mendengar suara rantai pengunci pintu yang bergoyang-goyang dan gerendelnya ditarik perlahan dan kaku dari pangkalnya. Lalu suara wanita tua itu menjadi tegang dan terengah-engah.
"Gerendelnya," seru istrinya dengan keras. "Turunlah. Aku tidak bisa menggapainya."
Tapi suaminya merangkak meraba-raba dengan liar di lantai untuk mencari kaki monyet itu. Kalau saja ia bisa menemukannya sebelum hal yang ada di luar sana masuk ke dalam. Sebuah rentetan ketukan bergema ke dalam rumah, dan ia mendengar suara derit kursi saat istrinya meletakkannya di balik pintu. Dia perlahan mendengar kembali suara deritan gerendelnya, dan pada saat yang sama ia menemukan kaki monyet itu, dan dengan panik menghembuskan keinginannya yang ketiga dan terakhir.
Ketukan itu berhenti tiba-tiba, meskipun gema itu masih berada di rumah. Dia mendengar kursi yang ditarik ke belakang, dan pintu pun terbuka. Angin dingin dengan cepat menyusuri tangga, dan raungan keras kekecewaan dan penderitaan yang panjang dari istrinya memberinya keberanian untuk lari ke bawah, ke sisi istrinya, dan kemudian berlari menuju ke gerbang luar. Lampu jalan berkedip-kedip berlawanan, bersinar di jalan yang tenang dan sepi.

˜ The End

Catatan Penerjemah (T/L Notes):
Gunakan tombol kombinasi ‘CTRL+F’ lalu ketik nomor menurut catatan di bawah ini. Contoh: untuk mengetahui kata/kalimat yang mana membutuhkan penjelasan nomer dua, gunakan ‘CTRL+F’ lalu ketik ‘2’.
1)   “Hark at the wind!” (perhatikan/ dengarkan anginnya). Frase ini digunakan dalam bahasa informal Inggris-Inggris untuk mendapatkan/mengalihkan perhatian lawan bicara.
2)   “a slip of a youth in the warehouse” (pemuda tanggung di gudang). Ini adalah suatu ungkapan yang artinya kurang lebih seperti “bocah ingusan dari desa/dusun”
3)   Fakir adalah orang yang mempunyai ilmu sihir seperti kekebalan, dll.
4)   Kain yang dimaksud adalah “Antimacassar”. Tapi saya tidak tahu istilahnya dalam bahasa Indonesia.
5)   Sikap apathy adalah sikap ‘enggan-engganan’ atau ‘kurang bergairah’.

No comments:

Post a Comment