PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

Button Button

Richard Matheson



Sebuah kotak kardus tergeletak di dekat pintu depan apartemen Norma. Nama dan alamatnya ditulis dengan tangan;

Mr. dan Mrs. Arthur Lewis, 21 7 E. Jalan Tiga Puluh Tujuh, New York, New York 10016.
Norma pun mengambil paket tersebut, lalu mengunci kembali pintunya. Saat itu hari sudah mulai gelap.
Setelah memasukkan potongan daging domba ke dalam panggangan, dia duduk untuk membuka paket tersebut.
Di dalam kardus terdapat sebuah tombol yang menempel pada sebuah kotak kayu kecil. Sebuah kubah transparan menutupi tombol tersebut. Norma kemudian mencoba mengangkatnya, tapi tombol tersebut menempel dengan erat. Dia pun membalikkannya dan melihat ada lipatan kertas di bagian bawah. Di sana tertulis; “Mr. Steward akan menghubungi Anda pukul 8.00 P.M.”

Norma lalu menaruh alat tersebut di dekatnya. Dibacanya lagi catatan tadi dan tersenyum.
Beberapa saat kemudian, dia pergi ke dapur dan membuat salad.
Bel pintu berdering tepat jam delapan malam. “Biar aku saja yang membukakan pintunya,” sahut Norma dari dapur. Arthur sedang membaca di ruang tengah.
Seorang pria bertubuh kecil berdiri di ambang pintu. Dia lalu melepaskan topinya saat Norma membukakan pintu untuknya.
“Apa Anda Mrs. Lewis?” tanyanya dengan sikap sopan.
“Iya?”
“Saya Mr. Steward.”
“Oh, iya.” Norma menahan senyumnya. Dia yakin bahwa tamunya ini pastilah seorang sales.
“Boleh saya masuk?” Tanya Mr. Steward.
“Saya sedang sibuk,” jawab Norma, “sebentar, akan kukembalikan barangmu.” Dia mulai berbalik untuk mengambil paketnya.
“Apa Anda tidak penasaran dengan benda tersebut?”
Norma pun berbalik kembali, kini menghadap tamunya. Nada Mr. Steward terdengar menyinggung baginya. “Tidak, kurasa tidak,” jawabnya.
“Benda itu sangat berharga,” jelas sang tamu.
“Secara keuangan?” tantangnya.
Mr. Steward menggangguk. “Benar sekali,” ujarnya.
Alis Norma mulai mengerut. Dia tidak suka dengan sikap pria ini. “Apa yang Anda coba jual kepada saya?” tanyanya.
“Saya tidak menjual apa-apa,” jawabnya.
Arthur datang dari ruang tengah. “Ada masalah apa?”
Mr. Steward memperkenalkan dirinya pada Arthur.
“Oh, itu…” Arthur menunjuk ke ruang tengah lalu tersenyum. “Apa nama alat itu?”
“Saya dapat menjelaskannya,” jawab Mr. Steward, “Boleh saya masuk?”
“Kalau Anda mencoba menjual sesuatu…,” mulai Arthur.
Mr. Steward menggelengkan kepalanya. “Saya tidak menjual apapun.”
Arthur memandang Norma sebentar. “Terserah padamu,” ujar Norma.
Arthur ragu-ragu. “Kenapa tidak?” jawabnya.
***
Mereka bertiga masuk ke ruang tengah. Mr. Steward kemudian duduk dan mengambil sebuah amplop kecil yang masih tersegel dari dalam kantong jaketnya. “Di dalam sini ada kunci untuk membuka tutup kubahnya” ujarnya. Dia lalu menaruh sebuah amplop di atas meja. “Belnya tersambung ke kantor kami.”
“Apa fungsi tombol itu?” Tanya Arthur penasaran.
“Jika Anda menekan tombolnya,” jelas Mr. Steward, “seseorang di suatu tempat di dunia ini akan mati. Sebagai imbalannya, Anda akan menerima uang tunai sebesar $50.000.”
Norma menatap pria kecil yang menjadi tamunya ini. Mr. Steward hanya tersenyum.
“Apa maksud Anda?” tanya Arthur lagi.
Mr. Steward terlihat terkejut. “Tadi ‘kan sudah saya jelaskan,” jawabnya.
“Apa ini sebuah lelucon?” Desak Arthur.
“Sama sekali tidak. Penawaran ini sungguhan.”
“Anda ini aneh sekali,” ujar Arthur. “Anda berharap kami mempercayai…”
“Anda bekerja pada siapa?” Tanya Norma.
Mr. Steward terlihat sedikit malu. “Saya tidak diizinkan untuk mengatakan kepada Anda tentang hal itu,” jawabnya. “Namun dapat saya yakinkan pada Anda bahwa organisasi tempat saya bekerja saat ini berskala internasional.”
“Saya mohon agar Anda segera pergi dari sini,” ujar Arthur sambil berdiri dari kursi.
Mr. Steward juga ikut berdiri. “Baiklah.”
“Dan bawa alat itu bersama Anda.”
“Apa Anda yakin tidak ingin mempertimbangkannya lagi?”
Arthur mengambil alat beserta amplopnya tadi lalu menaruhnya di tangan Mr. Steward dengan paksa. Kemudian Arthur membuka pintu lebar-lebar agar Mr. Steward dapat segera pergi.
“Akan kutinggalkan kartu namaku,” ujar Mr. Steward. Dia menaruhnya di atas meja yang berada di dekat pintu depan.
Ketika dia telah pergi, Arthur merobek-robek kartu nama tersebut dan membuang sobekannya di atas meja.
Norma masih duduk terpaku di sofa. “Bagaimana pendapatmu?” tanyanya.
“Aku tidak mau tahu,” jawab Arthur.
Norma mencoba untuk tersenyum, namun tidak bisa. “Apa kau sama sekali tidak penasaran?”
“Tidak.” Arthur menggelengkan kepalanya.
Setelah Arthur kembali membaca bukunya, Norma pun kembali ke dapur dan melanjutkan mencuci piring.
“Kenapa kau tidak ingin membicarakannya?” Tanya Norma.
Pandangan Arthur pun beralih saat dia sedang menggosok gigi. Dia melihat ke dalam bayangannya di depan cermin.
“Apa kau tidak penasaran?”
“Aku malah merasa tersinggung,” jawab Arthur.
“Aku mengerti, tapi…” Norma menambahkan penggulung rambutnya. “Tidakkah kau jadi penasaran juga?”
“Apa karena kau pikir itu sebuah lelucon?” tanyanya saat mereka berdua masuk ke kamar tidur.
“Kalaupun iya, itu lelucon yang buruk.”
Norma duduk di ranjang dan melepaskan sandalnya. “Mungkin itu semacam penelitian psikologi.”
Arthur mengedikkan bahunya. “Mungkin saja.”
“Mungkin ada seorang jutawan yang mendanainya.”
“Mungkin.”
“Apa kau tidak ingin mengetahuinya?”
Arthur menggelengkan kepalanya.
“Kenapa?”
“Karena itu sangat tidak bermoral,” jelas Arthur.
Norma berguling masuk ke bawah selimut. “Tapi aku penasaran,” ujarnya.
Arthur kemudian mematikan lampu dan mencium Norma. “Selamat malam.”
“Selamat malam.” Norma menepuk pelan bahu suaminya.
Norma kemudian menutup mata. Lima puluh ribu dolar, batinnya.
***
Keesokan paginya, saat Norma hendak berangkat meninggalkan apartemen, dia melihat potongan-potongan kartu nama tersebut. Dengan cekatan dia memasukkannya ke dalam tas, lalu mengunci pintu depan dan bergabung bersama Arthur.
Saat Norma sedang istirahat di kantornya, dia mengambil potongan kertas tersebut dari dalam tas dan mencoba menggabungkannya kembali. Hanya nama dan nomor telepon Mr. Steward yang tertera di sana.
Setelah selesai makan siang, dia kembali menggabungkan potongan kertas tersebut, namun kali ini dia merekatkannya dengan selotip. “Kenapa aku melakukan ini?” pikirnya.
Tepat pada pukul lima sore, dia menelepon nomor tersebut.
“Selamat sore,” sahut suara Mr. Steward.
Norma hampir segera menutup telepon namun menahan dirinya sendiri, kemudian berdeham.
“Ini Mrs. Lewis,” sahutnya.
“Ya, Mrs. Lewis,” Mr. Steward terdengar sangat gembira.
“Saya penasaran.”
“Itu hal yang lumrah,” jawab Mr. Steward.
“Bukan berarti saya percaya dengan kata-kata Anda.”
“Oh, tapi saya bersungguh-sungguh,” balas Mr. Steward.
“Terserahlah…” jawab Norma sambil meneguk liurnya sendiri. “Ketika Anda mengatakan seseorang akan mati, apa maksud Anda?”
“Artinya seseorang akan mati,” jawabnya dengan enteng. “Bisa jadi siapa saja. Kami hanya dapat menjamin bahwa Anda tidak mengenalnya. Dan, tentu saja, Anda tidak perlu menyaksikannya mati.”
“Dan imbalannya adalah $50.000,” ujar Norma.
“Tepat sekali.”
Norma mengeluarkan suara seperti terbatuk. “Itu tidak masuk akal.”
“Walau bagaimanapun, itulah bentuk penawarannya,” jelas Mr. Steward. “Apa Anda ingin saya mengembalikan tombolnya kepada Anda?”
Tubuh Norma menjadi kaku. “Tentu saja tidak.” jawabnya dengan marah lalu menutup telepon.
***
Paket itu kembali berada di depan pintu; Norma segera dapat melihatnya ketika dia keluar dari elevator. Berani sekali dia, pikirnya. Dia menatap tajam kotak kardus tersebut sembari membuka pintu. Aku tidak akan membawanya masuk, batinnya. Dia pun masuk dan mulai memasak untuk makan malam.
Beberapa saat kemudian, dia kembali ke pintu depan. Dibukanya pintu, lalu mengambil kotak tersebut, dan membawanya ke dapur.
Dia duduk di ruang tengah sambil menatap ke luar jendela. Setelah sekian lama, dia kembali ke dapur untuk membalik potongan daging di atas panggangan. Dia menaruh paket tersebut di bagian bawah lemari dan berencana akan membuangnya esok pagi.
***
“Mungkin seorang jutawan eksentrik sedang ingin bermain-main dengan nyawa manusia,” ujarnya saat mereka sedang menyantap makan malam.
Arthur mengalihkan pandangannya kepada Norma. “Aku sungguh tidak dapat memahamimu.”
“Apa pula maksudmu?”
“Jangan ambil pusing,” kata Arthur padanya.
Norma makan dengan hening. Tiba-tiba dia menaruh garpunya dengan keras. “Bagaimana kalau tawaran itu sungguhan?” tantangnya.
Arthur hanya terdiam menatapnya.
“Bagaimana kalau tawaran itu sungguhan?”
“Baiklah, bagaimana kalau iya?” ujarnya dengan nada mengejek. “Apa yang akan kau lakukan? Minta dia mengembalikan tombol itu dan menekannya? Membunuh seseorang?”
Norma terlihat jijik dengan kata tersebut. “Membunuh.”
“Bagaimana menurutmu?”
“Walaupun kita tidak akan mengetahui orang tersebut?” desak Norma.
Arthur terlihat sangat terkejut. “Apa maksudmu bahwa tidak apa-apa membunuh seseorang hanya karena kita tidak mengenalnya?”
“Bisa saja orang itu adalah seorang gelandangan di Cina sana. Atau mungkin seseorang yang sedang sekarat karena sakit di Congo.”
“Bagaimana kalau anak bayi di Pennsylvania?” balas Arthur. “Seorang gadis kecil di blok sebelah?”
“Kau hanya melebih-lebihkan saja.”
“Intinya, Norma,” lanjut Arthur, “apa bedanya siapa yang kau bunuh? Itu tetap saja pembunuhan.”
“Intinya,” jawab Norma dengan tidak kalah lantang, “jika dia adalah seseorang yang tidak pernah kita lihat, seseorang yang kematiannya tidak akan kita ketahui, kau masih tidak akan menekan tombolnya?”
Arthur menatap istrinya dengan ekspresi terkejut setengah mati. “Maksudmu kau akan menekan tombolnya?”
“Lima puluh ribu dolar, Arthur.”
“Tapi jumlah itu tidak…”
Lima puluh ribu dolar, Arthur.” Potong Norma. “Ini kesempatan yang tepat agar kita dapat mewujudkan impian yang telah kita idam-idamkan; berwisata ke Eropa.”
“Tidak Norma.”
“Juga kesempatan agar kita dapat membeli rumah di sebuah pulau.”
“Tidak Norma.” Wajah Arthur kini telah berubah pucat pasi.
Norma juga ikut gemetaran, tapi itu karena dia sedang sangat bersemangat. “Baiklah, santai saja,” ujarnya. “Kenapa kau terlihat cemas? Ini ‘kan hanya sekedar pembicaraan.”
Setelah selesai makan malam, Arthur hendak ke ruang tengah. Sebelum dia beranjak meninggalkan meja, dia berpesan, “Jika kau tidak keberatan, aku tidak ingin membicarakan hal ini lagi.”
Norma hanya mengedikkan bahu. “Tidak masalah.”
***
Norma bangun lebih pagi daripada biasanya untuk membuat sarapan Arthur.
“Wah, tumben makanannya mewah sekali.” Tanyanya dengan tersenyum.
“Biasa saja.” Norma merasa sedikit tersinggung. “Aku hanya sedang ingin memasak.”
“Syukurlah,” ujarnya. “Aku senang mendengarnya.”
Norma mengisi kembali gelasnya. “Hanya ingin menunjukkan padamu kalau aku bukan…” dia mengangkat bahunya.
“Bukan apa?”
“Egois.”
“Apa aku pernah mengatakannya padamu?”
Norma hanya bergerak tidak jelas. “Semalam…”
Arthur tidak berbicara.
“Pembicaraan tentang tombol tersebut,” ujar Norma. “Kurasa kau, mungkin, salah sangka terhadapku.”
“Salah sangka bagaimana?” suara Arthur sedikit tertahan.
“Kurasa kau berpikir…” dia kembali menggerakkan badannya lagi. “kalau aku hanya memikirkan diriku sendiri.”
“Oh.”
“Tapi sebenarnya aku tidak seperti itu.”
“Norma…”
“Aku sungguh tidak seperti itu. Ketika aku berbicara tentang Eropa dan sebuah pondok di pulau…”
“Norma, kenapa kita harus sibuk memikirkan hal ini?”
Aku tidak memikirkannya sama sekali.” Norma menghirup napasnya dengan gemetaran. “Aku hanya berkata bahwa…”
“Apa?”
“Aku ingin KITA dapat pergi ke Eropa, membeli pondok di pulau, membeli apartemen yang lebih bagus, furnitur yang lebih bagus, pakaian yang lebih bagus, mobil, dan mempunyai seorang anak bayi.”
“Norma, itu semua akan kita wujudkan,” sahutnya.
“Kapan?”
Arthur menatapnya dengan hati yang diliputi rasa cemas. “Norma…”
“Kapan?!”
“Apa kau…” Arthur terlihat sedikit menahan. “apa kau sungguh-sungguh bermaksud…”
“Maksudku adalah mereka mungkin hanya melakukan ini untuk tujuan penelitian!” potong Norma. “Mereka mungkin hanya ingin melihat apa yang akan dilakukan kebanyakan orang jika berada dalam keadaan seperti itu! Mungkin itu hanya omongan mereka saja bahwa seseorang akan mati agar dapat mempelajari reaksi kita. Mereka mungkin ingin melihat apakah ada rasa bersalah, kecemasan, atau apapun itu! Kau tidak sungguh-sungguh berpikir kalau mereka akan benar-benar membunuh seseorang, kan?!”
Arthur tidak menjawabnya. Norma melihat tangan suaminya gemetaran. Setelah sekian lama, Arthur berdiri lalu beranjak pergi.
Ketika suaminya telah pergi bekerja, Norma masih terduduk di tempat semula sembari menatap kopinya. Aku akan terlambat, batinnya. Dia hanya mengedikkan bahu. Apa bedanya? Lagipula seharusnya seorang istri memang berada di rumah, bukan bekerja di kantor.
***
Ketika Norma sedang menyusun piring, tiba-tiba dia berbalik lalu mengeringkan tangannya, dan mengeluarkan paket tersebut dari bawah lemari. Setelah membukanya, dia meletakkannya di atas meja. Dia hanya menatapnya erat-erat sebelum memutuskan untuk mengambil kuncinya dari dalam amplop dan membuka tutup kubahnya. Dia kembali menatap tomol tersebut. Rasanya ini bodoh sekali, pikirnya. Semua kehebohan yang telah terjadi hanya disebabkan oleh tombol ini.
Akhirnya dia pun menekannya. Untuk KITA, pikirnya dengan emosi.
Dia sedikit gemetar. Apa ada yang terjadi? Sebuah rasa cemas yang mengerikan menyapu seluruh badannya.
Perasaan itu pun berlalu. Dia hanya mendengus saja.
Bodoh sekali, pikirnya. Membuat orang heboh saja.
Dia kemudian membuang tombol dan kuncinya ke dalam keranjang sampah lalu buru-buru berpakaian untuk pergi bekerja.
***
Norma baru saja hendak membalik daging steak untuk makan malam mereka ketika telepon berdering. Dia lalu mengangkatnya. “Halo?”
“Mrs. Lewis?”
“Ya?”
“Ini Rumah Sakit Lenox Hill.”
Dia merasa semua itu tidaklah nyata ketika suara di ujung telepon menceritakan kepadanya mengenai kecelakaan di stasiun kereta api bawah tanah; kerumunan orang yang saling berdesakan, Arthur terdorong dari peron ke depan kereta yang sedang melaju. Dia sadar bahwa kepalanya menggeleng-geleng tidak keruan tapi tidak dapat menghentikannya.
Ketika dia menutup telepon, dia teringat dengan polis asuransi Arthur yang bernilai $25.000 dan dapat bernilai dua kali lipat untuk jenis kerugian yang disebabkan karena…
Tidak!” dia tampak sulit bernapas. Dia berusaha berdiri dan berjalan ke dapur dengan tertatih-tatih. Ada setitik rasa dingin di dalam kepalanya saat dia mengambil kembali alat tersebut dari dalam keranjang sampah. Tidak ada paku atau sekrup yang terlihat di permukaannya. Dia tidak tahu bagaimana benda itu dapat saling menempel.
Dengan gerakan tiba-tiba, dia melemparkannya ke pinggir bak cucian, lalu memukulkannya berkali-kali sampai bagian yang terbuat dari kayu terbelah. Norma membukanya dengan paksa hingga tangannya tersayat, namun dia tampak tidak menyadari rasa sakitnya. Tidak ada alat yang terlihat seperti transistors maupun kabel di dalam kotak.
Kotak tersebut kosong.
Dia segera memutar badannya karena terkejut mendengar dering telepon. Sambil berjalan tertatih-tatih, dia akhirnya sampai dan mengangkat teleponnya.
“Mrs. Lewis?” Tanya Mr. Steward.
Suara Norma berupa jeritan tak tertahankan. “Kau bilang aku tidak mengenal orang yang akan mati!
“Nyonya,” jawab Mr. Steward dengan nada sopannya seperti biasa. “Apa Anda benar-benar mengenal suami Anda?” 



[selesai]

No comments:

Post a Comment