Vusi
Makusi
Vusi
Makusi adalah seorang optimistis yang akut. Dia tetap optimis walaupun dia
tinggal di salah satu tempat termiskin di dunia, walaupun dia hanya memiliki
satu setelan, dan celana dasarnya tidak sampai ke pergelangan kakinya.
Setelah
dia menyelesaikan pendidikannya, Vusi Makusi memutuskan bahwa menjadi pegawai
negeri1 merupakan karir yang bagus. Orang yang bertanggung jawab
pada penerimaan pegawai melihat Vusi sekilas, dan segera menyadari bahwa dia
tidak akan mencapai apapaun.
“Kau
tahu, kurasa aku baru saja menerima seorang anak muda yang ambisius,” katanya.
Vusi
menghabiskan waktu yang lama di bus. Bus itu bergetar dan bergoyang-goyang,
memasuki hutan semakin dalam dan semakin dalam. Akhirnya bus itu tiba di suatu
perhentian di lembah yang berawa-rawa, seluruhnya dikelilingi oleh hutan.
“Tapi
di mana desanya?” Tanya Vusi.
Supir
bus itu menunjuk ke depan.
“Hari
apa busnya akan kembali?”
“Sabtu,”
kata sopir bus itu dengan galak. Vusi sudah menghabiskan dua puluh jam terakhir
dengan menceritakan pada setiap orang di bus tentang pekerjaan barunya, dan
sopir bus itu sudah muak dengannya.
Vusi
berjalan kaki melalui bukit-bukit ke desa itu. Dia mengetuk pintu gubuk kepala
desa, dan duduk menunggunya. Seluruh warga desa datang dan menatapnya dengan
tajam. Ketika pada akhirnya sang kepala desa muncul, Vusi berdiri.
“Selamat
siang pak,” katanya. “Saya adalah pegawai dari pemerintah yang ditugaskan di
wilayah ini. Saya datang dengan membawa perdamaian, kesejahteraan, persatuan,
pembangunan, dan pendidikan untuk semua orang. Saya datang untuk menunjukkan
kemurah-hatian pemerintah kita yang agung. Apapun yang desa ini butuhkan,
apakah itu jalan, sekolah, bibit, air, traktor, guru atau dokter, pemerintah
dengan senang hati akan menyediakan itu semua. Satu-satunya hal yang harus saya
lakukan adalah membuat daftar, dan barang-barang yang dibutuhkan nantinya akan
segera tiba.”
Sang
kepala desa menatap Vusi, lalu mulai tertawa. Dia tertawa ah-ha, ah-ha,
ahhhhhhhh-hahahahahah. Semua warga desa saling menoleh dan menampar satu sama
lain sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Anak
muda,” kata sang kepala desa, pada akhirnya. “Sudah cukup lama sejak terakhir
kali kami mendapat kunjungan dari seorang pelawak.”
“Tapi
pak,” kata Vusi. “Saya sangat serius.”
Sang
kepala desa tertawa lagi, ahahahahah!
“Bagus
pak, tolong hentikan! Tidakkah Anda lihat ibuku, yang telah berumur 83 tahun,
tersakiti karena candaan Anda? Apa Anda mau melihat seorang wanita tua
mematahkan tulang-tulangnya2?” teriaknya.
Malam
itu, diadakan makan malam spesial untuk menyambut kedatangan Vusi. Hanya saja
pada keesokan harinya, saat Vusi mulai berkeliling desa dengan clipboard (papan
tulis kecil), para warga mulai menjadi resah.
“Dia
pasti gila, dan mereka sudah mengusirnya dari kota,” kata sang pendeta.
“Dia
adalah mata-mata, dan dia sedang membuat daftar sehingga mereka bisa mencuri
semuanya,” kata istri kepala desa.
“Kurasa
kepalanya telah terbentur sesuatu, dan makanya dia terlihat aneh,” kata sang
pandai besi.
Ketika
dua puluh delapan hari telah berlalu, Vusi mengunjungi kepala desa. Dia
menjelaskan bahwa dia telah bekerja selama empat minggu berturut-turut, dan dia
ingin cuti selama delapan hari, dan dia bermaksud untuk mengunjungi ibunya. Dia
juga ingin meminjam payung milik kepala desa, dan menawarkan untuk
membelikannya yang baru, segera setelah dia tiba di kota, dimana dia bisa
menarik gaji pegawai negeri-nya yang berkilauan dari akun banknya yang
berkilauan.
Sang
kepala desa menggelengkan kepalanya, setuju untuk meminjamkan payung kepadanya.
Vusi pergi menemui istri kepala desa dan meminjam selimut. Lalu dia pergi menuju
tempat sang pandai besi di desa dan meminjam sebuah pisau, karena itu merupakan
perjalanan yang panjang untuk sampai di perhentian bus, dan jalurnya telah
ditumbuhi semak belukar. Kemudian dia pergi, sambil membawa koper usangnya.
“Seseorang
harus memberitahunya bahwa tidak ada bus,” kata sang kepala desa.
Mereka
menunggu dan menunggu. Pada akhirnya, pandai besi itupun turun bukit dan
menemukan Vusi sedang menunggu di pinggiran jalan yang berlumpur.
“Katanya
busnya pasti akan segera datang,” kata pandai besi itu pada kepala desa, “Dan
dia tidak mau ketinggalan busnya.” Ketika dua hari telah berlalu, pak kepala
desa sendiri yang turun dan mencoba berbicara dengan Vusi. Dia kembali,
menggelengkan kepalanya. Sang pendeta, juga tidak berhasil.
“Dia
kebal terhadap alasan apapun,” kata istri kepala desa. “Makanya kita harus
membujuknya dari hati ataupun dari mata. Kirimkan putri tukang pembuat tembikar
itu, dia adalah gadis tercantik di desa ini.”
Gadis
itu kembali, mengangkat bahunya dengan tidak berdaya.
“Kirimkan
keponakan sang pendeta,” usul sang pandai besi. “Dia mungkin bukan yang paling
cantik, tapi dia adalah yang terpandai dan terpintar dalam memainkan
kata-kata.”
Para
warga mecobakan semua wanita muda di desa mereka, sampai akhirnya tersisa satu
orang lagi.
“Baiklah,
dia mungkin perlu mencobanya juga,” kata sang kepala desa sambil menguap.
Kemudia dia pergi ke dalam untuk tidur siang.
Gadis
itu dengan cepat turun ke bawah bukit. Dia sangat marah karena dipertimbangkan
sebagai gadis yang paling kolot3 dan paling bodoh di desa sehingga
begitu dia melihat Vusi, dia langsung melemparkan sebuah biji mangga ke
arahnya.
“Dasar
idiot! Gila!” teriaknya. “Lakukan apa yang kau suka dan mari kita lihat apa aku
peduli! Apa kau pikir semua orang akan kasihan padamu jika kau tetap duduk di sana
sampai kau menjadi batu!” kemudian, karena dia sangat sedih, dia menangis
sekencang-kencangnya.
Vusi
menatap gadis itu. Dia berdiri dengan lututnya.
“Nona
sayang,” katanya, “Kau harus memaafkanku! Emosi yang berlebihan ini mungkin
telah terbawa karena beban dari merahasiakan perasaanmu yang sebenarnya. Jika
aku terlihat lupa akan rasa sayangmu, itu hanya karena kau belum menyatakannya.
Tentu saja, jika aku tahu bahwa kau mencintaiku, aku seharusnya tidak pernah
bertingkah seperti orang yang tidak punya perasaan. Sungguh berita yang sangat
baik! Saat bus tiba, dan aku pergi menemui ibuku, aku pasti akan mengatakan
padanya bahwa aku telah bertemu dengan calon istriku. Terima kasih, Tuhan!
Sampai saat itu tiba, mungkin kau ingin berbaik hati untuk menghabiskan sedikit
waktu denganku, menunggu.”
Karena
semua ini lebih menyenangkan daripada dibilang kolot dan bodoh, gadis itupun setuju
untuk menunggu. Vusi mulai menceritakan tentang masa depan kepadanya, dan
bagaimana semuanya akan menjadi menakjubkan. Dia menceritakan tentang traktor,
klinik, sekolah, pompa air, sapi-sapi yang gemuk, ayam-ayam yang gemuk,
sayur-mayur yang besar, orang-orang yang tersenyum, atap yang terbuat dari
timah, televisi, toilet yang bersih, kantor pos, telepon, jalan beraspal,
pesawat, gedung-gedung yang biasa dan pencakar langit, dan bus-bus yang telah
terjadwal untuk pergi ke tempat-tempat terpencil.
Paginya,
hari mulai hujan. Vusi menggunakan payung dari kepala desa. Hujan itu semakin
lebat. Seekor monyet merah muncul dan duduk di kejauhan jalan. Makhluk itu
terlihat sedih dan belumuran lumpur.
“Lihat,
monyet itu sedang menunggu untuk naik bus!” kata Vusi.
“Tapi
Vusi, dia tidak punya tas, ataupun koper,” kata gadis itu.
“Kau
benar,” Vusi mengangguk, “Makanya, dia pasti sedang menunggu kerabatnya untuk
tiba dari bus, dan ingin memberikan salam kepada mereka.”
Setelah
beberapa saat, monyet itu mulai menggigil.
“Vusi,”
kata gadis itu, “Kau harus mengajak monyet itu untuk berteduh bersama kita atau
usir saja dia. Aku tidak tahan melihat wajah sedihnya lebih lama lagi.”
“Tentu
saja monyet itu harus berteduh bersama kita,” kata Vusi. “Lagipula monyet itu
juga warga negara dari bangsa kita yang hebat dan berjaya ini.”
Sang
monyet, Vusi, dan gadis itupun berteduh di bawah payung. Hari itu masih saja
hujan. Sebuah kolam yang besar tercipta di lubang tempat rawa-rawa itu.
“Benar
juga,” kata gadis itu, yang mana mulai mengerti bagaimana cara berpikir Vusi,
“Orang-orang dari bangsa kita yang hebat seharusnya tidak menunggu bus sambil
terkena hujan seperti ini. Karena kau adalah pegawai pemerintah, kau bisa
memotong dahan, dan membuat tempat berlindung sambil menunggu busnya datang.
Ini merupakan pelayanan untuk semua orang.”
“Sudah
kuduga bahwa kau tidak hanya memiliki wajah yang cantik,” kata Vusi,
mengangguk. “Hanya saja, jika busnya tiba saat aku sedang memotong dahan-dahan,
kau harus berteriak dan memanggilku, karena aku tidak ingin membuat kecewa
ibuku.
Akhirnya
Vusi mengambil pisau dan memotong dahan lalu membuat tempat berlindung.
Vusi
dan gadis itu menunggu di tempat berlindung. Monyet itu duduk di atap. Hari-pun
berlalu, lalu hari-hari berikutnya. Hujan telah berhenti. Kepala desa turun ke
jalan tersebut. Dia menggelengkan kepalanya, lalu pulang ke rumah. Kolam di
sungai mulai melebar, dan Vusi menangkap ikan untuk makan malam. Tidak ada yang
berlalu di jalan, tidak ada satu halpun.
Vusi
dan gadis itu menunggu di tempat berlindung. Mereka menunggu sangat lama, dan
pada akhirnya gadis itupun melahirkan seorang bayi.
“Betapa
senangnya ibuku nanti ketika dia melihat anak ini!” teriak Vusi.
“Tentu
saja, suamiku” kata gadis itu, “Orang-orang akan menunggu bus disini dengan
anak-anak. Kurasa mereka harus punya tempat untuk berbaring dan tidur dengan
tenang.”
Vusi
mengambil pisau dan memotong cabang-cabang pohon lebih banyak lagi, dan membuat
ruang yang kedua. Diluar rumah, bibit mangga mulai tumbuh dari biji yang pernah
dilempar dulu. Seekor monyet kedua masuk ke dalam bergabung dengan yang
pertama. Monyet itu juga melahirkan bayi. Hari itu hujan dan hujan lagi. Sungai
mulai pasang dan airnya berlimpah kemana-mana.
“Vusi,”
kata gadis itu. “Suatu hari ini akan menjadi terminal bus yang ramai. Nantinya
akan ada banyak penumpang, dan siapapun yang bisa menyediakan makanan dan
minuman akan mempunyai bisnis yang menguntungkan. Kupikir lebih baik aku
siap-siap, dan menanam jagung untuk membuat bubur, dan maizena untuk membuat bir.
Kemudian kau tidak hanya akan menjadi pegawai pemerintah, tapi aku juga akan
menjadi seorang businesswoman (wanita karir).”
Akhirnya
gadis itu membajak tanah di pinggir sungai dan membuat membuat sebuah kebun.
Kemudian dia pergi ke gubuk itu dan melahirkan bayi lagi.
“Aku
sangat yakin aku pasti salah mendengar dari tuan itu,” kata Vusi, suatu hari.
“Tentu saja, tidak mungkin busnya datang di hari sabtu, pasti maksudnya bulan
January. Hanya saja tidak ada yang datang selama tiga tahun terakhir. bus-bus itu
akan tiba berbarengan, ketiga-tiganya. Itulah kebiasaan bus yang terkenal.”
“Vusi,”
kata gadis itu, “Jika ada tiga bus yeng berisikan orang, aku tidak punya cukup
makanan. Disamping itu, restoran yang baik harus mempunyai berbagai macam
masakan. Pergilah ke dalam hutan, dan tangkap beberapa pasang burung yang kita
lihat dulu, dan aku bisa menyimpannya. Dengan cara itu, kita akan punya cukup
persediaan untuk semua orang.”
“Itu
ide yang bagus,” kata Vusi. “Hanya saja jika bus-bus itu tiba dan aku sedang di
dalam hutan, kau harus minta mereka untuk menunggu.”
Gadis
itu menunggu di pinggir jalan. Tidak ada yang berlalu. Bahkan tidak ada seorangpun
warga desa yang datang lagi. Setelah lima hari, Vusi kembali, menggenggam dua
ayam mutiara yang ketakutan.
“Aku
tidak ketinggalan busnya?” dia bertanya dengan cemas. Istrinya menenangkannya.
“Pasti
karena cuacanya,” kata Vusi. “Cuacanya sudah aneh akhir-akhir ini, dan kupikir
bus tidak akan datang tahun ini. Walaupun begitu, karena mereka bisa dengan
mudah diprediksi, akan memalukan jika kita meninggalkan tempat ini. Khususnya
karena kita sudah membuat banyak persiapan, dengan hotel dan restoran.”
Tahun
itupun berlalu.
“Vusi,”
kata gadis itu, “Kau harus membangun sebuah pagar untuk menjaga ayam-ayam itu
agar tetap di dalam. Rencana kita akan gagal jika mereka lari ke semak-semak.”
Setahun
kemudian-pun berlalu lagi.
“Vusi,”
kata gadis itu, “Ikan tidak akan bisa bertahan di musim kering. Bagaimana jika
busnya tiba ketika tidak ada ikan? Bagaimana aku akan memberi makan para
penumpang? Kau harus membangun sebuah bendungan di sungai.
Setahunpun
berlalu. Gadis itu melahirkan bayi lagi.
“Pelayanan
ini sangat tidak bisa diterima,” kata Vusi suatu hari. “Ketika bus datang dan
membawa kita ke kota, aku kan menulis surat ke menteri transportasi. Satu-satunya
hal yang bagus, istriku, adalah setiap minggu gajiku menumpuk di akun bank
pemerintahku.”
Setahun
kemudianpun berlalu. Busnya tetap tidak datang. Pohon mangga itu mulai berbuah
mangga-mangga yang lezat. Mereka menunggu lama sekali, Vusi mulai khawatir
tentang siapa yang bisa dinikahi putra tertuanya.
Kemudian,
suatu hari, keributan aneh mulai terjadi di dalam hutan. Kedengarannya bergema
kemana-mana.
“Busnya!
Busnya!” teriak anak-anak Vusi, karena mereka telah mendengar dari ayah mereka
tentang monster aneh ini.
Dari
ujung bukit itu datanglah sebuah helikopter putih dengan huruf U.N. (United
Nations/PBB) tercetak di sampingnya. Helikopter itu mendarat di jalan, dan
empat tentara yang terlihat cemas dengan mengenakan topi baretnya keluar.
Kemudian sepasang ilmuwan dengan jaket putih, menggenggam clipboard4
(papan tulis kecil), wajah-wajah mereka tertutup dengan masker. Akhirnya
datanglah seorang politikus dengan setelannya, memegang sebuah sapu tangan ke
hidungnya, dan seorang jendral, menggenggam sebuah topi yang terbuat dari timah.
Mereka menatap Vusi. Mereka menatap istrinya, dan tujuh anak-anaknya.
“Aku
mengerti,” kata Vusi. “Mereka meningkatkan pelayanannya, dan sekarang ada helikopter
daripada bus. Makanya kita menunggu sangat lama!”
“Apa
yang kalian lakukan di sini?” kata sang polikus.
“Tentu
saja kami sedang menunggu bus,” kata Vusi, dengan sangat santai.
“Tapi
bagaimana bisa kalian selamat dari perang sipil?” Tanya sang jenderal.
“Perang
sipil?” kata Vusi, terlihat bingung.
“Iya,
perang sipil yang telah menyapu setengah dari populasi,” kata sang politikus.
“Tentu
saja kami tidak melihat satupun tentara,” kata Vusi, menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Tapi
walaupun kalian berhasil melarikan diri dari perang sipil, bagaimana bisa kalian
selamat dari kelaparan yang telah membunuh setengah dari orang yang selamat?”
Tanya sang jenderal.
“Kelaparan?”
kata istri Vusi. Dia melihat sekeliling pohon-pohon mangga, semak-semak milet5,
dan kandang-kandang ayam yang penuh dengan ayam mutiara yang gemuk.
“Baiklah,
walaupun kalian berhasil melarikan diri dari perang dan juga kelaparan,
bagaimana bisa kalian selamat dari virus?” Tanya salah satu ilmuwan.
“Virus?”
kata Vusi. “Virus apa?”
“Virus
mematikan yang telah menyapu semua orang yang selamat dari perang dan
kelaparan,” kata ilmuwan kedua. “Kau tahu, virus yang tidak dapat disembuhkan
yang tak ada seorangpun atau monyetpun yang kebal terhadapnya, kecuali kukang
berbulu merah yang sangat langka dan hampir punah?”
Seekor
monyet memanjat ke atas pundak Vusi dan mulai menggigiti telinganya dengan cara
yang familiar. Vusi mengusirnya dengan bingung.
“Itu
aneh jika kalian mengatakan ini,” katanya, dengan penuh pertimbangan. “Aku
tidak ingat kalau salah seorang dari kami sedang sakit.”
“Vusi,”
kata istrinya, menyentakkan sikut Vusi. “Undang mereka untuk makan malam.
Mereka bisa menjadi pelanggan pertama kita!”
“Tentu
saja,” kata Vusi, mengangguk. “Ikan atau ayam mutiara?”
Tapi
sang politikus, ilmuwan, dan para tentara terlihat sangat ketakutan, dan
menarik diri kembali ke helipkopter mereka.
“Kita
harus pergi,” kata sang jenderal.
“Tentu
saja kami harus membawamu keluar dari sini,” kata sang politikus, dengan
memaksa. “Kau akan mendapatkan semua hal. Bantuan, pertolongan, baju bersih,
listrik, toilet yang layak, semuanya. Kau akan menjadi terkenal, dan para
wartawan akan mewawancaraimu.
“Wow,
terima kasih,” kata Vusi dengan sopan. “Tapi kami tidak bisa pergi, kami sedang
menunggu bus. Bagaimanapun, ada satu hal yang bisa Anda lakukan untuk saya. Apa
Anda punya kertas dan pena?”
Vusi
duduk dan menulis sebuah catatan pendek kepada menteri transportasi untuk
mengeluhkan tentang tak dapat dipercayanya bus-bus pedalaman. Kemudian dia
menaruh catatan itu di tangan sang politikus.
Setelah
helikopter itu pergi, Vusi terlihat kecewa dan murung.
“Kelaparan,
perang, penyakit, tentu saja itu tidak mungkin terjadi di negara kita yang
indah ini.” Katanya.
“Mungkin
mereka berbohong,” usul istrinya. “Mari kita berjalan ke atas bukit dan lihat
apa yang sebenarnya sedang terjadi.”
Vusi
dan istrinya berjalan naik melewati jalan tua yang tak ada seorangpun yang
melewatinya selama bertahun-tahun. Jalan itu telah tertutupi batu-batu besar,
retak dan hancur. Sungai-sungai telah terpecah-belah. Pada akhirnya, mereka
tiba di puncak bukit. Di kejauhan sana merupakan tanah kosong yang rata oleh
pohon-pohon, tank-tank yang terbakar, desa-desa yang hancur dan kebun-kebun
yang terbengkalai.
Vusi
dan istrinya berjalan pulang ke rumah, dengan bergandengan tangan. Vusi terlihat
agak diam. Istrinya pergi menyiapkan makan malam. Vusi duduk, istri dan
anak-anaknya duduk mengelilinginya. Dia terlihat sedang berpikir keras.
Akhirnya dia berbicara.
“Istriku,”
katanya, “Aku tahu bahwa terkadang ada orang-orang yang menganggapku bodoh.
Tapi aku tidak bisa membalasnya dan hanya bisa berpikir, bahwa seperti kataku,
semua hal yang telah kulakukan ternyata menjadi keputusan yang terbaik.”
Dan
kemudian dia memuaskan dirinya dengan memakan sepiring besar ayam mutiara
dengan lahap.
˜ The End ™
Catatan
Penerjemah (T/L Notes):
1) Disana
tertulis civil service, namun saya rasa
artinya sama dengan PNS di negara kita. Yang membedakan dalam konteks ini
adalah pekerjaan tersebut benar-benar dilaksanakan, yaitu mengayomi dan
melayani masyarakat terutama di wilayah pedalaman.
2) Disana
tertulis “break her ribs” (mematahkan
tulang rusuknya) . Sepertinya di sana ada sebuah permainan kata, karena ada
makna lain dari ‘ribs’ (candaan),
tapi sayangnya saya kurang mengerti.
3) Tertulis
‘the most plain girl’ (gadis paling
biasa-biasa saja/ sederhana), tapi itu tidak sama sense/makna kata-nya. Karena ‘plain’ bermakna negatif sedangkan
‘sederhana’ bermakna positif di Indonesia. Makanya saya masih bingung dengan
arti ‘plain’ dalam bahasa Indonesia. Apakah
bisa diartikan ‘kolot’???? Harap maklum. ><
4) Papan
yang biasanya di bawa saat ujian.
5) Semacam
padi-padian yang berbentuk sereal, biasanya digunakan untuk membuat tepung dan
minuman beralkohol
No comments:
Post a Comment