Oleh Guy de Maupassant
Mathilde
adalah salah satu dari wanita cantik jelita yang terkadang, seolah karena
adanya kesalahan takdir, dilahirkan dalam keluarga pegawai kantoran. Dia tidak
memiliki mahar, tidak memiliki harapan, tidak memiliki jalan agar dapat dikenal,
dimengerti, dicintai, dan dinikahi oleh pria kaya dan terhormat; dan alih-alih dia
membiarkan dirinya dinikahi oleh seorang pegawai yang bekerja di Kementrian
Instruksi Publik.
Dia
berpakaian sederhana karena dia tidak dapat berpakaian dengan baik, tapi dia
merasa tidak bahagia seolah dia telah terpuruk dari tempat di mana dia
seharusnya berada; karena bagi wanita tidak ada yang namanya kasta ataupun
tingkatan; dan kecantikan, keanggunan, dan pesona-lah yang berpengaruh, bukan
keluarga. Kecantikan alami, insting untuk bersikap elegan, keluwesan akal,
adalah satu-satunya hierarki, dan juga yang membuat wanita biasa menjadi setara
dengan wanita hebat lainnya.
Dia
tak henti-hentinya menderita, merasa dirinya dilahirkan untuk menikmati semua jenis
kemewahan. Dia menderita akan kemiskinan tempat tinggalnya, dinding rumahnya
yang terlihat melarat, kursinya yang telah usang, dan gordennya yang sangat
jelek. Semua hal itu, yang tidak akan pernah disadari oleh wanita lain
setingkatnya, terasa menyiksa dan membuatnya kesal. Pemandangan orang Breton
bertubuh kecil yang melakukan semua tugas rumah untuknya menggelitik rasa
sesalnya sampai putus asa dan selalu mengganggu mimpinya. Dia membayangkan
ruang depan yang sunyi, dihiasi oleh permadani Oriental yang tergantung di
dinding, diterangi oleh kandil lilin yang terbuat dari perak, ada juga tempat
untuk dua pelayan dengan celana panjang selutut yang tertidur di kursi besar
untuk menyambut tamu, dibuat mengantuk oleh udara hangat dari alat pemanas. Khayalannya
lalu melayang ke ruang tamu yang dihiasi kain sutra, furnitur indah yang dapat
membuat orang terpana, dan boudoir[1] yang beraroma centil untuk berbincang
setiap jam lima sore dengan teman dekatnya dan dengan orang-orang terkenal,
yang membuat semua wanita iri kepadanya.
Ketika
dia duduk untuk makan malam di depan meja bundar yang ditutupi dengan taplak
meja yang tidak dibersihkan selama tiga hari, di hadapan suaminya yang membuka
semangkuk sup dan mengatakan dengan ekspresi terpesona, “Ah, pot-au feu[2] yang lezat! Aku tidak tahu
apa lagi yang lebih enak daripada ini,” dia membayangkan makan malam yang
lezat, dengan peralatan makan perak, dengan permadani hias yang menggantung di
dinding ruangan menggambarkan tokoh-tokoh kuno dan burung-burung berterbangan
di tengah-tengah hutan dalam dongeng; dan kemudian dia mengkhayalkan sajian
lezat yang dihidangkan dengan piring cantik, dan bisikan santun yang selalu kalian
dengarkan dengan senyum seperti patung spinx sementara kalian memakan daging
ikan trout atau sayap burung puyuh.
Dia
tidak memiliki gaun dan perhiasan, sementara dia tidak menyukai apapun selain
itu; dia merasa dilahirkan untuk menikmati semuanya.
Dia
sangat ingin disenangi, membuat orang iri padanya, tampil mempesona, dan
dikenal.
Dia
pernah memiliki seorang teman dari sekolah biarawatinya dulu, dia kaya dan dia
tidak suka dengannya sehingga memutuskan untuk tidak menemuinya lagi karena dia
merasa sangat merana.
Namun
pada suatu malam, suaminya pulang ke rumah dengan ekspresi riang gembira sambil
memegang amplop besar di tangannya.
“Ini,”
sahutnya, “ini sesuatu untukmu.”
Istrinya
langsung merobek kertasnya dan menarik sebuah kartu undangan yang bertuliskan:
“Kementrian Instruksi Publik dan Mme.
Georges Ramponneau dengan hormat mengundang M. dan Mme[3]. Loisel untuk dapat
hadir di istana Kementrian pada Senin malam, tanggal 18 Januari.”
Alih-alih
menjadi gembira, seperti yang telah diharapkan suaminya, dia melemparkan surat
undangan tersebut di atas meja dengan expresi meremehkan lalu bergumam:
“Apa
yang kau ingin aku lakukan dengan itu?”
“Sayang,
kupikir kau akan senang. Kau tidak pernah pergi ke luar, dan ini adalah
kesempatan yang bagus. Aku sudah bersusah payah untuk mendapatkan undangan itu.
Semua orang ingin pergi ke sana sementara hanya orang-orang terpilih saja yang diundang,
dan mereka tidak banyak mengundang pegawai biasa. Semua pegawai tingkat atas
akan datang ke sana.”
Dia
melihat suaminya dengan pandangan jengkel, kemudian dia, dengan nada tidak
sabaran, bertanya kepadanya:
“Dan
gaun apa yang kau ingin aku kenakan?”
Dia
tampak jelas belum memikirkannya, lalu dengan gagap menjawab:
“Tentu
saja dengan gaun yang kau kenakan saat kita pergi ke teater. Gaun itu terlihat
cantik bagiku.”
Dia
berhenti berbicara karena terusik melihat istrinya menangis. Deras air mata
membanjir turun dengan perlahan dari kedua matanya menuju sudut bibirnya.
Dengan gelagapan dia bertanya:
“Kenapa?
Ada apa?”
Namun,
dengan usaha keras, istrinya berhasil menakhlukkan kesedihannya, kemudian dia
menjawab, dengan suara yang tenang, sementara dia menyapu pipinya yang basah:
“Tidak
ada apa-apa. Hanya saja aku tidak memiliki gaun, dan karena itulah aku tidak
dapat pergi ke pesta ini. Berikanlah undangan ini kepada teman kerjamu yang
istrinya memiliki gaun yang cantik.”
Suaminya
putus asa. Dia lanjut berkata:
“Ayolah
Mathilde. Berapa harga gaun yang cocok untuk dapat dikenakan di kesempatan
lainnya, yang juga terlihat sederhana?”
Dia
bergeming selama beberapa detik, menghitung dan penasaran kira-kira berapa
jumlah yang dapat dimintanya tanpa mengundang penolakan seketika dan
keterkejutan dari pegawai kantoran sederhana.
Akhirnya
dengan ragu-ragu dia menjawab:
“Aku
tidak tahu berapa tepatnya, tapi kurasa aku bisa mendapatkannya dengan empat
ratus franc[4].”
Wajah
suaminya menjadi pucat karena dia telah menabung uang sebanyak itu agar
nantinya dapat digunakannya untuk membeli senapan dan memanjakan dirinya dengan
berburu saat musim panas mendatang di daerah Nanterre bersama temannya yang
pernah berburu di sana setiap hari Minggu.
Tapi
dia berkata:
“Baiklah.
Aku akan memberimu empat ratus Franc. Dan carilah gaun yang cantik.”
Hari
yang ditunggu semakin dekat, dan Mme. Loisel terlihat sedih, gelisah, dan
cemas. Walau bagaimanapun gaunnya telah siap. Pada suatu malam suaminya
bertanya kepadanya:
“Ada
apa? Ayolah, kau sudah bertingkah aneh tiga hari terakhir ini.”
Kemudian
dia menjawab:
“Aku
kesal karena tidak memiliki perhiasan apapun, tidak ada satupun batu permata
yang kumiliki, tidak ada yang dapat kukenakan.
Aku pasti akan terlihat seperti orang yang hidup sengsara. Mungkin lebih
baik aku tidak datang sama sekali.”
Dia
membalas:
“Kau
bisa mengenakan bunga alami. Sekarang hal itu terlihat anggun. Dengan sepuluh
franc kau bisa mendapatkan dua atau tiga mawar yang indah.”
Itu
tidak cukup menyenangkan baginya.
“Tidak.
Tidak ada lagi yang lebih memalukan daripada terlihat miskin di antara para
wanita kaya.”
Namun
suaminya berteriak:
“Bodoh
sekali dirimu! Temui temanmu Mme. Forestier dan tanyakan padanya apakah kau
bisa meminjam perhiasan darinya. Bukankah kau cukup dekat dengannya.”
Dia
pun berteriak gembira:
“Benar
juga. Aku tidak terpikir hal itu.” Keesokan harinya dia pergi menemui temannya
dan menceritakan kesengsaraannya.
Mme.
Forestier pergi menuju lemari pakaiannya yang memiliki pintu kaca, mengambil
sebuah kotak perhiasan besar, membawanya kembali, membukanya, lalu berkata
kepada Mme. Loisel:
“Pilihlah,
sayang.”
Pertama-tama
dia melirik beberapa gelang, kemudian kalung mutiara, kemudian salib Venetia,
emas dan batu berharga lainnya yang dibuat dengan sangat indah. Dia mencoba
beberapa perhiasan di depan kaca, ragu-ragu, tidak sanggup untuk berpisah
dengannya, untuk mengembalikannya lagi. Dia terus bertanya:
“Apa
kau punya yang lain?”
“Tentu
saja ada. Lihatlah. Aku tidak tahu apa yang kau suka.”
Tiba-tiba
dia menemukan, dalam kotak satin hitam, sebuah kalung berlian yang sangat
indah; kemudian jantungnya mulai berdetak dengan keinginan yang menggebu-gebu.
Tangannya bergetar hebat saat dia mengambilnya. Dia mengenakannya di lehernya,
di luar gaunnya yang berleher tinggi, dan terhanyut dalam kegembiraan hanya
dari melihat penampilannya.
Kemudian
dengan ragu-ragu dia bertanya:
“Bolehkah
aku meminjam ini, hanya ini saja?”
“Tentu
saja bisa.”
Dengan
girangnya dia memeluk leher temannya, menciumnya dengan sangat girang, kemudian
pergi membawa harta karunnya.
Hari
pesta itu pun tiba. Mme. Loisel sukses besar. Dia terlihat lebih cantik
daripada mereka semua, elegan, anggun, tersenyum, dan gembira bukan kepalang.
Semua mata lelaki menuju padanya, menanyakan namanya, berusaha berkenalan
dengannya. Semua jajaran Kabinet ingin berdansa dengannya. Dia bahkan disanjung
oleh sang menteri itu sendiri.
Dia
menari dengan mabuk kepayang, sangat bersemangat, dibuat mabuk oleh kenikmatan,
melupakan segala hal, dalam riuh kemenangan kecantikannya, dalam kesuksesannya,
dalam semua jenis awan kegembiraan yang terbentuk dari semua yang hadir di
sana, dari semua kekaguman, dari semua kedengkian, dan dari rasa kemenangan
penuh yang terasa sangat manis bagi hati wanita.
Dia
beranjak pergi jam empat pagi. Suaminya telah tertidur sejak tengah malam di
ruang depan kecil dengan tiga pria lain yang istrinya sedang bersenang-senang.
Suaminya
memakaikannya mantel hangat yang telah dibawanya, mantel sederhana yang
mencerminkan hidup orang biasa, yang cerminan kemiskinannya tampak kontras
dengan keangunan gaun pestanya. Istrinya menyadari hal ini dan ingin segera
berlari agar tidak dikomentari oleh wanita lain yang membungkus diri mereka
dengan mantel bulu yang mahal.
Namun
Loisel menahannya.
“Tunggu
sebentar. Kau akan kedinginan di luar. Aku akan mencarikan kita tumpangan.”
Tapi
dia tidak mendengarkan suaminya, dan dengan cepat berlari menuruni tangga.
Ketika mereka tiba di jalan, mereka tidak dapat menemukan kereta kuda; dan
mereka mulai mencari, berteriak kepada kusir yang mereka lihat sedang melintas
di kejauhan.
Mereka
berjalan menuju Seine, dengan putus asa, gemetar karena kedinginan. Akhirnya
mereka menemukan satu kereta kuda malam yang seolah tampak malu menunjukkan
penderitannya di siang hari sehingga tidak pernah tampak terlihat di sekitar
Paris sampai malam hari.
Kereta
itu membawa mereka sampai ke rumah mereka di Rue des Martyrs, dan sekali lagi,
malangnya, mereka harus mendaki agar dapat sampai ke rumah mereka. Semua telah
berakhir baginya. Sementara bagi suaminya, dia teringat bahwa dia harus tiba di
kantor besok jam sepuluh pagi.
Dia
melepaskan mantelnya yang menutupi pundaknya di depan pintu kaca agar dapat
sekali lagi melihat dirinya dalam kemenangan. Namun kemudian dia berteriak.
Kalung tersebut tidak ada di lehernya!
Suaminya
yang sudah melepaskan setengah pakaiannya, bertanya:
“Ada
apa denganmu?”
Dia
menoleh dengan liar ke arah suaminya.
“Aku
telah… aku telah… aku telah kehilangan kalung milik Mme. Forestier.”
Suaminya
segera berdiri.
“Apa!
Bagaimana bisa? Tidak mugkin!”
Dan
mereka mulai mencari di lipatan gaunnya, di lipatan mantelnya, di dalam
sakunya, di manapun.
Mereka
tidak dapat menemukannya. Suaminya bertanya:
“Kau
yakin kau masih mengenakannya saat meninggalkan pesta?”
“Iya,
aku masih dapat merasakannya di ruang depan Istana.”
“Tapi
kalau kau menghilangkannya di jalan, kita pasti sudah mendengarnya jatuh. Pasti
tertinggal di kereta.”
“Iya.
Mungkin. Apa kau ingat nomornya?”
“Tidak.
Dan kau, apa kau tidak melihatnya?”
“Tidak.”
Mereka
saling bertatapan, termangu menghadap satu sama lain. Kemudian Loisel
mengenakan pakaiannya.
“Aku
harus kembali dengan berjalan kaki,” ujarnya, “menelusuri kembali jalan yang telah
kita lewati tadi untuk mencarinya.”
Suaminya
pun pergi. Dia duduk menunggu di kursi, masih mengenakan gaun pestanya, tanpa
tenaga untuk pergi tidur, kebingungan, tanpa semangat, tanpa pikiran.
Suaminya
kembali jam tujuh pagi. Dia tidak menemukan apa-apa.
Suaminya
kemudian pergi ke kantor polisi, ke kantor surat kabar, untuk menawarkan
imbalan bagi yang menemukannya; dia pergi ke perusahaan angkutan—ke manapun,
sebenarnya, ke mana saja yang dapat memberikannya harapan walau hanya secuil.
Dia
menunggu sepanjang hari, dengan kondisi yang masih sama; ketakutan yang
menjadi-jadi akan bencana besar ini.
Loisel
kembali pada malam hari dengan wajah pucat dan hampa; dia tidak menemukan
apapun.
“Kau
harus menulis surat kepada temanmu,” sarannya, “katakan padanya kalau kau merusak
pengait kalungnya dan saat ini sedang diperbaiki. Itu akan mengulur waktu untuk
kita.”
Dia
menulis sesuai perintah suaminya.
Satu
minggu kemudian mereka telah kehilangan harapan.
Dan
Loisel yang telah tampak semakin menua berujar:
“Kita
mungkin harus mengganti perhiasan itu.”
Keesokan
harinya mereka membawa kotak penyimpan kalungnya, dan mereka pergi menemui
pembuat perhiasan yang namanya tercantum di dalamnya. Dia melihat buku
catatannya agar dapat mengingatnya kembali.
“Bukan
saya yang menjual perhiasan itu, Madame; saya hanya sekedar menghias kotaknya.”
Mereka
mencari dari satu pengrajin ke pengrajin yang lain, mencari kalung yang sama,
meminta mereka untuk mengingat-ingatnya, hal ini membuat mereka muak akan
kekecawaan dan penderitaan.
Mereka
menemukan sebuah toko di Palais Royal, serangkaian berlian yang terlihat sama
persis dengan yang sedang dicari mereka. Harganya empat puluh ribu franc. Namun
mereka dapat memilikinya hanya dengan tiga puluh enam ribu franc.
Kemudian
mereka memohon kepada pembuat perhiasan tersebut agar tidak menjualnya selama
tiga hari ke depan. Dan mereka pun membuat penawaran bahwa dia harus membelinya
kembali dengan harga tiga puluh empat ribu franc jikalau mereka menemukan
kalung yang hilang tersebut sebelum akhir Februari.
Loisel
memiliki delapan ribu franc dari peninggalan ayahnya. Dia akan meminjam
sisanya.
Dia
memang jadi meminjam uang, seribu franc dari seseorang, lima ratus dari yang
lain, lima louis di sini, tiga louis di sana. Dia mengeluarkan wesel, berhutang
banyak, berurusan dengan rentenir, dan semua jenis pemberi pinjaman. Dia
membahayakan sisa hidupnya dan tanda tangannya tanpa mengetahui apakah dia
dapat memenuhi itu semua; dan ketakutan akan kepedihan yang kunjung tiba, akan
penderitaan kelam yang sebentar lagi menimpanya, akan kemungkinan hidup melarat
dan semua siksaan moral yang akan dideritanya, dia pergi untuk membeli kalung
itu dengan menaruh tiga puluh enam ribu franc di meja kasir.
Ketika
Mme. Loisel mengembalikan kalungnya, Mme. Forestier berkata kepadanya dengan
sikap dingin:
“Seharusnya
kau segera mengembalikannya, mungkin aku membutuhkannya.”
Dia
tidak membuka kotaknya sebagaimana yang ditakutinya. Kalau dia mengetahui bahwa
kalungnya telah diganti, apa yang akan dipikirkannya, apa yang akan
dikatakannya? Apa dia tidak akan menganggap Mme. Loisel sebagai pencuri?
Mme.
Loisel tidak menyadari keparahan dari kemelaratan hidupnya. Bagaimanapun dia siap
melakukan tugasnya dengan sikap kepahlawanan. Hutang mengerikan itu harus
dibayar. Dia akan membayarnya. Mereka memberhentikan pelayannya; mereka pindah
rumah; mereka menyewa sebuah kamar loteng.
Dia
akhirnya menyadari betapa lelahnya mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan
berurusan dengan urusan di dapur yang menjengkelkan. Dia mencuci piring,
menggunakan kukunya yang elok bak mawar untuk membersihkan mangkuk dan panci
yang berminyak tebal. Dia mencuci kain linen yang kotor, pakaian, dan kain lap
makan, lalu dijemurnya dengan berjajar; dia membawa air sisa cuciannya melewati
jalanan setiap pagi, dan mengangkat air bersih, berhenti sebentar-sebentar
untuk bernapas di setiap undakan tangga. Dan berpakaian seperti wanita biasa,
dia pergi menuju penjual buah, grosir, tukang daging dengan keranjang di
lengannya, menawar, dihina, mempertahankan hidupnya sou demi sou[5].
Setiap
bulan mereka harus membayar beberapa tagihan wesel, memperbaharui yang lain
untuk mendapatkan waktu lebih.
Suaminya
bekerja sampai malam membuat salinan akun pedagang, dan saat larut malam dia
sering membuat salinan manuskrip dengan imbalan lima sou per halaman.
Dan
kehidupan seperti ini berjalan selama sepuluh tahun.
Setelah
sepuluh tahun, akhirnya mereka dapat melunasi semuanya, semuanya, dengan
tingkat bunga yang ditetapkan oleh sang rentenir, dan akumulasi dari bunga per
bulannya.
Mme.
Loisel terlihat tua sekarang. Dia telah menjadi wanita melarat—kuat, keras, dan
kasar. Dengan rambut berantakan, roknya miring, dan tangannya berwarna merah,
dia berbicara dengan suara nyaring sambil mengepel lantai dengan desiran air
yang keras. Namun terkadang, ketika suaminya di kantor, dia duduk di dekat
jendela, dan dia mengingat kembali malam ceria yang telah lama berlalu, saat
pesta di mana dia terlihat sangat cantik dan bahagia.
Apa
yang akan terjadi jika dia tidak menghilangkan kalung itu? Siapa yang tahu?
Siapa yang tahu? Betapa hidup ini sangat aneh dan selalu berubah-ubah! Betapa
kecilnya hal yang dapat membuat kita tersesat atau terselamatkan!
Namun
pada suatu kesempatan di hari minggu, saat sedang berjalan-jalan di Champs
Elysées untuk menyegarkan dirinya setelah bekerja keras seminggu penuh, dia
tiba-tiba melihat seorang wanita yang sedang menggandeng seorang anak. Dia
adalah Mme. Forestier, masih terlihat muda, cantik, dan menawan.
Mme.
Loisel merasa tergerak hatinya. Apakah dia akan berbicara kepadanya? Iya, tentu
saja. Dan sekarang dia telah melunasi hutangnya, dia akan menceritakan yang
sebanarnya kepadanya. Kenapa tidak?
Dia
berjalan ke arahnya.
“Selamat
siang, Jeanne.”
Wanita
tersebut tercengang karena disapa dengan familiar oleh ibu rumah tangga
sederhana ini, karena tidak mengenalnya sama sekali dia bertanya dengan
tergagap:
“Tapi—madame!—aku
tidak kenal—Anda pasti salah orang.”
“Tidak.
Aku Mathilde Loisel.”
Temannya
mengeluarkan teriakan kecil.
“Oh,
Mathilde-ku yang malang! Kau terlihat sangat berbeda!”
“Iya,
aku mengalami hari-hari yang cukup keras sejak terakhir kali kita bertemu, hari-hari
yang cukup malang—dan itu karena kau!”
“Karena
aku! Bagaimana bisa?”
“Apa
kau masih ingat dengan kalung berlian yang kau pinjamkan kepadaku agar dapat
kupakai di pesta kementerian?”
“Iya.
Lalu?”
“Well,
aku menghilangkannya.”
“Apa
maksudmu? Kau membawanya kembali.”
“Aku
membawakanmu yang sama persis dengan itu. Dan oleh karenanya kami harus membayar
hutang kami selama sepuluh tahun. Kau pasti mengerti betapa sulitnya itu untuk
kami, kami yang tidak memiliki apa-apa. Akhirnya semuanya berakhir, dan aku
sangat senang.”
Mme.
Forestier bergeming.
“Kau
bilang kau membeli sebuah kalung berlian untuk mengganti milikku?”
“Iya.
Jadi kau tidak pernah menyadarinya! Mereka sangat mirip.”
Kemudian
temannya tersenyum dengan nada riang yang terdengar bangga dan naïf.
Mme.
Forestier, dengan sangat terharu, menggenggam kedua tangan Mathilde.
“Oh,
Mathilde-ku yang malang. Kalungku tentu saja hanya imitasi. paling mahal harganya
lima ratus franc!”
[Selesai]
Catatan Penerjemah:
[1] Bodouir; (berasal dari bahasa Prancis) kamar tidur atau ruang
pribadi wanita.
[2] Pot-au-feu; Sup daging
asal Prancis. Biasanya memakai daging sapi dan sayur-sayuran dan dimasukkan
dalam mangkuk besar.
[3] M. dan Mme.; singkatan untuk Monsieur dan Madame dalam bahasa
Prancis. Sama seperti Mr. dan Mrs. Dalam bahasa Inggris.
[4] Franc; mata uang Prancis.
[5] Sou; satuan uang yang pernah dipakai di Prancis. Berbentuk uang
logam. Merupakan satuan terkecil dalam mata uangnya. Sama seperti sen dalam
dolar.
thanks ya
ReplyDeletenyesek banget baca nya
ReplyDeleteAh lemes, udah dibela-belain ternyata hanya imitasi.....
ReplyDeleteUnfortunately girl
ReplyDeleteThanks😍
ReplyDeleteMathilda I know that feel sis
ReplyDeletemin maaf ini karyanya diterjemahkan oleh penerjemah siapa ya namanya?
ReplyDeleteWkwk
ReplyDeletenyesek, tapi ini pembelajaran untuk apa-apa harus terbuka.
ReplyDeleteharusnya temennya kembalikan kalung berlian ke mme lioel untuk ditukar uang ganti kalung imitasinya, jadi sisa waktu tua mereka bisa bersenang-senang.
I'm Bangladeshi...I like this story very much..
ReplyDeleteI'm Bangladeshi...I like this story very much..
ReplyDeleteI'm Bangladeshi...I like this story very much..
ReplyDeleteThank you so much for making easy for me with your translation
ReplyDeleteWhere did mathilde and her husband live?
ReplyDeletewho translate this story? i need the writer name for a proposal
ReplyDeletemantep bet ceritanya, yang nerjemahin juga keren, i love it. thanks a lots;
ReplyDeleteSaya ingin baca cerpen Guy de Maupasant tapi tak tahu judulnya apa, bisa bantu saya ?
ReplyDeletethe neckles
Deletehttps://americanliterature.com/
Dalam cerpenitu ada kalimat :"Aku telah meniduri anak ku"
ReplyDeleteSaya ingin kembali membaca cerpen itu yang pernah saya baca tahun 1977.
ReplyDeletejumlah uang Mr. Louis dari ayahnya 18 ribu french, bukan 8 ribu french.
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDeleteAnjay plot twist
ReplyDeleteanjay
ReplyDeletelier sirah pak
ReplyDeleteYtta
ReplyDeleteHalo ngab, ig||@dilanaprezaa
ReplyDeleteI LOVE YOU😍🥰
ReplyDelete#mfzyzz
Mabar ml bg id 350590326
ReplyDelete