The Monkey's Paw
(Tapak Kaki Monyet)
Pengarang: W. W. Jacobs
"Hati-hati dengan apa yang kalian pinta, kalian mungkin akan
menerimanya." –
Anonymous
Bagian I
Tanpa ada apapun, malam itu terasa dingin dan lembab, tapi di ruang tamu kecil di villa Laburnum, tirai sudah ditutup dan api
menyala dengan terang. Ayah
dan anak itu sedang
bermain catur. Pemain pada giliran sebelumnya, yang tadinya memiliki ide untuk bermain itu menggunakan peluang-peluang radikal. Menempatkan bidak rajanya dalam resiko yang besar dan tidak perlu sehingga hal itu bahkan memancing komentar dari wanita tua
berambut putih yang
sedang merajut dengan tenang di samping perapian.
"Dengarkan hembusan anginnya1," kata Tuan White, setelah
melihat kesalahan fatal yang
telah terlanjur dilakukannya, dengan ramah berkeinginan mencegah
anaknya dari melihat kesalahannya
itu.
"Aku
mendengarkannya," kata pemain pada giliran setelahnya,
dengan wajah yang serius memperhatikan papan catur itu sambil mengulurkan
tangannya. "Skak!"
"Seharusnya aku tidak perlu berharap terlalu banyak kalau dia akan datang malam
ini," kata ayahnya, dengan tangannya yang telah siap di atas papan catur.
"Mat!" jawab
anak itu.
"Itulah hal terburuk dari
hidup di tempat yang begitu
jauh," timpal Tuan White dengan
tiba-tiba dan tanpa berkeinginan
untuk bermain kasar. "Dari semua tempat yang menjijikkan dan parah, di sini adalah yang terburuk. Jalannya berupa rawa-rawa dan rusak berat. Aku tidak tahu apa
yang orang pikirkan. Kurasa hanya karena
ada dua rumah saja yang dibiarkan berdiri di jalanan, sehingga mereka pikir semua ini tidak
masalah."
"Tidak
apa-apa, sayang,"
kata istrinya menghibur, "Mungkin kau akan
memenangkan yang berikutnya."
Tuan White
mendongak tajam, tepat pada saat dia terhenti sekilas dan melihat tatapan antara ibu dan anak itu. Kata-katanya tiba-tiba berhenti keluar dari
mulutnya, dan ia menyembunyikan senyum bersalah di jenggot
abu-abu tipisnya.
"Di situ kau rupanya," kata Herbert
White saat gerbang depan
dibanting dengan keras dan sebuah langkah berat terdengar menuju ke arah pintu.
Lelaki tua itu berdiri dengan
tergesa-gesa namun
tetap terlihat ramah dan membuka pintunya, ia
menyambut tamunya. Pendatang baru itu juga terlihat menyambutnya, sehingga nyonya White
mengatakan, "Tut, tut!" dan terbatuk-batuk lembut saat suaminya
memasuki ruangan diikuti oleh seorang pria, tinggi kekar, mata yang seperti manik-manik, dan wajah yang kemerah-merahan.
"Sersan Mayor
Morris," katanya, memperkenalkan dirinya.
Sang sersan mayor itu menjabat tangan dan
mengambil kursi yang
telah disodorkan kepadanya
di samping perapian, mengamati dengan expresi puas saat tuan rumahnya mengeluarkan wiski dan
gelas dan menaruh ketel tembaga
kecil di atas perapian.
Saat meminum gelas yang ketiga matanya menjadi cerah, dan ia
mulai berbicara, semua
anggota keluarga duduk melingkar dengan antusias mengelilingi pengunjung dari
jauh ini, sementara ia menegakkan
bahunya yang bidang di kursi dan berbicara mengenai kejadian-kejadian yang menegangkan dan
perbuatan-perbuatan
yang gagah berani; perang, wabah, dan masyarakat
yang aneh.
"Sudah dua puluh satu
tahun," kata tuan White,
mengangguk pada istri dan anaknya. "Ketika ia pergi ia hanyalah seorang pemuda tanggung di gudang2. Sekarang lihatlah dia."
"Dia tidak
terlihat seperti
orang yang telah melewati
banyak marabahaya." kata nyonya White dengan sopan.
"Aku ingin pergi ke
India sendirian," kata lelaki tua itu, “hanya untuk
melihat-lihat sedikit, kau tahu
kan."
"Tempat Anda yang sekaranglah yang
lebih baik," kata sang sersan mayor, menggelengkan kepalanya. Dia
meletakkan gelas kosongnya dan mengeluh dengan lembut, lalu menggelengkan kepalanya lagi.
"Aku ingin melihat
kuil-kuil tua, para fakir3, dan akrobat di sana," kata lelaki tua itu. "Apa
yang mau kau ceritakan waktu lalu tentang kaki
monyet atau apalah itu, Morris?"
"Tidak
ada." kata prajurit itu buru-buru. "Setidaknya, tidak layak untuk didengarkan."
"Kaki monyet?" kata nyonya White ingin tahu.
"Yah, bagi kalian itu mungkin sedikit terdengar
seperti sihir." kata sang sersan mayor dengan terbuka.
Ketiga pendengarnya membungkuk ke
depan dengan penuh semangat. Pengunjung itu dengan tatapan yang hampa meletakkan
gelas kosong itu ke bibirnya
dan kemudian meletakkannya lagi
di atas meja. Sang tuan rumah mengisi gelas untuknya lagi.
"Kalau dilihat-lihat," kata sang sersan mayor sambil meraba-raba isi dalam sakunya,
"Itu hanya sebuah kaki kecil biasa yang dikeringkan seperti mumi."
Dia mengambil
sesuatu dari sakunya dan menyodorkannya. Nyonya White kembali ke posisi duduknya yang
semula dengan menyeringai, tapi anaknya,
mengambil itu, mengamatinya dengan rasa penasaran.
"Dan apa
yang khusus dengan benda ini?" tanya tuan White saat ia
mengambil benda itu dari tangan anaknya, dan
setelah memeriksanya, meletakkannya kembali di atas meja.
"Benda itu telah dimantrai oleh seorang Fakir
tua," kata sang
sersan mayor,
"seseorang yang
sangat suci. Dia ingin
menunjukkan bahwa
takdirlah yang menentukan kehidupan
manusia, dan orang-orang yang ingin mengubah ketentuan takdir yang telah ditetapkan akan
mendapatkan kesengsaraan dalam hidup mereka. Ia memantrai benda itu sehingga tiga
orang yang berbeda masing-masing
bisa memiliki tiga keinginan dari itu."
Sikapnya begitu
mengesankan sehingga
para pendengarnya menyadari bahwa tertawa ringan mereka kini telah menjadi agak bergetar.
"Nah, lalu kenapa kau tidak meminta ketiga perminataan itu, Pak?"
kata Herbert White dengan cerdik.
Tentara itu menanggapinya dengan pandangan seperti seorang tua yang tidak akan menanggapi serius omongan pemuda lancang.
"Sudah kulakukan," katanya
pelan, dan wajahnya
yang berjerawat berubah
menjadi putih pucat.
"Dan
apakah ketiga permintaanmu benar-benar dikabulkan?"
tanya Nyonya White.
"Iya," kata sang sersan mayor, dan gelasnya
mengetuk gigi-giginya yang kuat.
"Dan apakah sudah ada orang lain yang meminta pada benda itu?" desak wanita tua itu.
"Pria yang pertama telah mendapatkan tiga permintaannya. Berarti iya." Adalah jawabannya, "Aku tidak tahu apa
dua permintaan pertamanya, tapi yang
ketiga adalah agar dia
bisa mati. Begitulah ceritanya sampai kaki
itu ada padaku sekarang."
Nada bicaranya sangat mengerikan sehingga menimbulkan kesenyapan pada para pendengarnya.
"Jika kau sudah mendapatkan tiga keinginanmu itu, maka benda itu tidak ada gunanya lagi untukmu sekarang, Morris,"
kata lelaki tua itu pada akhirnya.
"Untuk apa kau menyimpannya?"
Prajurit itu
menggeleng. "Karena
terlihat keren pikirku," katanya pelan "Aku ingin menjualnya,
tapi kurasa tidak akan kulakukan. Benda ini telah
menyebabkan cukup
banyak kemalangan pada hidupku. Selain itu, orang tidak akan membeli.
Beberapa orang pikir itu hanyalah cerita dongeng; dan mereka
yang berpikir macam-macam
ingin mencobanya terlebih
dahulu dan membayarku sesudahnya."
"Jika kau bisa memiliki
tiga permintaan lagi," kata lelaki tua itu, menatapnya dengan tajam, "Apa kau masih mau memilikinya?"
"Aku tidak
tahu," kata sang
sersan mayor. "Aku tidak
tahu."
Sang sersan mayor kemudian mengambil kaki monyet itu, dan menaruhnya di antara jari telunjuk dan
ibu jarinya, lalu dengan tiba-tiba
melemparkannya ke
perapian. Tuan
white, dengan sedikit kecewa, membungkuk
dan menyambar ke
perapian untuk mengambilnya kembali.
"Lebih
baik biarkan benda itu
terbakar," kata prajurit itu sungguh-sungguh.
"Jika kau tidak menginginkannya lagi, Morris,"
kata lelaki tua itu, "berikan ini padaku."
"Tidak
akan." kata temannya itu
dengan tabah. "Aku telah melemparkannya ke dalam api. Jika kau ingin menyimpannya,
jangan salahkan aku atas apa yang akan terjadi. Jadi, lemparkan itu ke dalam api seperti
orang yang berakal
sehat."
Lelaki tua itu menggeleng dan
memeriksa barang baru
miliknya itu dari dekat.
"Bagaimana kau
melakukannya?" tanyanya.
"Pegang
itu di tangan kananmu, dan memintalah dengan suara keras,"
kata sang sersan mayor, "Tapi kuperingatkan kau akan
konsekuensinya."
"Kedengarannya
seperti cerita '1001 Malam'", kata nyonya White, sambil berdiri dan mulai
mengatur jamuannya. "Tidakkah kau berpikir untuk meminta empat pasang
tangan untukku?"
Suaminya
menarik jimat itu dari dalam sakunya, dan ketiganya tertawa terbahak-bahak saat sang
sersan mayor, dengan ekspresi cemas di wajahnya, meraih lengannya.
"Jika kau benar-benar ingin berharap," katanya
dengan kasar, "mintalah untuk sesuatu
yang masuk akal
dan bijaksana."
Tuan White
menjatuhkannya kembali di sakunya, dan menempatkan kursi, memberi isyarat agar temannya duduk. Saat makan malam, jimat itu hampir dilupakan dan tidak diperbincangkan lagi, setelah itu mereka bertiga duduk
mendengarkan dalam mode terpesona dengan bagian kedua dari cerita petualangan
prajurit itu di India.
"Jika
kisah tentang kaki monyet ini tidak seperti apa yang telah ia ceritakan pada kita,"
kata Herbert, saat pintu tertutup
di belakang tamu mereka, tepat pada waktunya untuk naik kereta
terakhir, "kita tidak akan bisa terlalu banyak memanfaatkannya."
"Apakah kau memikirkan sesuatu tentang benda itu,
ayah?" tanya nyonya White
ke arah suaminya dengan
erat.
"Hanya hal yang sepele,"
katanya, sedikit
bercanda, "Dia tidak menginginkannya, tapi aku membuatnya mengambilnya. Dan dia memaksaku lagi untuk
membuangnya."
"Mungkin,"
kata Herbert, dengan pura-pura ngeri. "Tentu saja, kita akan menjadi kaya, terkenal, dan
bahagia. Mintalah agar menjadi kaisar, ayah, sebagai permulaan. Sehingga ayah tidak akan dikuasai oleh istri lagi."
Dia melesat
mengitari meja, dikejar oleh nyonya White yang telah bersenjatakan sehelai kain dari kursi4.
Tuan White
mengambil kaki monyet
itu dari sakunya dan menatapnya
dengan ragu. "Aku tidak tahu apa yang harus kuminta, dan itulah faktanya," katanya
pelan. “Bagiku seolah-olah aku sudah punya semua
yang aku inginkan.
"
"Jika ayah hanya ingin membereskan rumah, ayah akan cukup
senang kan!" kata Herbert, dengan tangannya di bahunya. "Yah, minta saja dua ratus
pound, itu sudah cukup."
Ayahnya,
tersenyum dengan
wajah malu pada kecenderungannya
yang mudah percaya pada sesuatu, mengangkat jimat itu, sementara anaknya,
dengan wajah serius, merasa
agak dirusak suasananya oleh kedipan mata ibunya,
duduk dan membuat beberapa nada yang mengesankan.
"Aku berharap agar diberikan dua ratus
pound," kata lelaki
tua itu dengan jelas.
Sebuah suara dentuman dari piano menyambut kata-katanya,
terganggu oleh teriakan gemetar dari lelaki tua itu. Istri dan anaknya berlari ke arahnya.
"Benda itu bergerak," ia
berseru, dengan lirikan jijik pada benda itu
saat berbaring di lantai. "Ketika aku berharap, benda itu memutar di
tanganku seperti ular."
"Yah, aku tidak melihat
uangnya," kata
putranya, saat ia mengambil
kaki monyet itu dan meletakkannya di atas meja, "dan aku yakin aku tidak akan pernah melihatnya."
"Pasti hanya khayalanmu saja, ayah,"
kata istrinya pada
suaminya dengan cemas.
Dia
menggelengkan kepalanya. "Sudahlah, lupakan saja, lagipula tidak ada bahaya yang terjadi, tapi semua itu sama-sama mengejutkanku."
Mereka duduk kembali di samping perapian sementara dua
pria itu menghabiskan rokok pipa mereka. Di
luar, angin lebih kencang dari
sebelumnya, dan lelaki tua itu mulai gugup
saat mendengar benturan
pintu di lantai atas. Keheningan yang tidak biasa dan menyedihkan menangkap ketiga orang itu, yang
berlangsung beberapa lama sampai
pasangan lanjut usia itu beranjak naik ke lantai atas untuk istirahat di sisa malam itu.
"Kuharap kalian akan menemukan
uang tunainya diikat dalam
tas besar di tengah-tengah tempat tidur kalian," kata Herbert, sambil mengucapkan selamat malam
pada mereka, "dan sesuatu yang mengerikan berjongkok di atas
lemari pakaian kalian, memperhatikan kalian selagi kalian mengantongi uang kotor itu."
Dia duduk
sendirian dalam kegelapan,
menatap api yang sudah
mulai padam, dan melihat wajah-wajah di dalamnya. Wajah terakhir yang dilihatnya begitu
mengerikan dan sangat
mirip seekor monyet sehingga ia menatapnya dengan takjub. Bayangan itu menjadi sangat jelas sehingga dengan tertawa
yang sedikit gelisah, ia berlari ke arah meja untuk mendapatkan segelas air lalu menumpahkannya
di atas api. Tangannya menggenggam kaki monyet itu, dan dengan
sedikit gemetar ia mengusap tangannya di mantelnya dan pergi ke tempat tidur.
Bagian II
Dalam kecerahan
matahari musim dingin keesokan harinya, saat
cahaya mengalir di atas meja
sarapan ia menertawakan ketakutannya. Ada suasana menjemukan tentang ruangan itu yang mana telah
kekurangan pada malam sebelumnya, dan kaki monyet yang sedikit kotor dan keriput itu terlempar di sisi papan karena tidak dipedulikan yang mengisyaratkan bahwa tidak ada yang
percaya dengan kekuatan pada benda itu.
"Kurasa semua prajurit
tua sama saja," kata nyonya White. "Salah kita karena mendengarkan omong kosong seperti itu!
Zaman sekarang bagaimana
mungkin sebuah permintaan dapat dikabulkan. Dan kalaupun benar, bagaimana mungkin
dua ratus pound dapat menyakitimu, ayah?"
"Mungkin karena uangnya terjatuh dari langit dan mengenai kepalanya,"
kata Herbert dengan
asal.
"Morris
mengatakan bahwa hal-hal itu akan terjadi secara
alami," kata ayahnya, "sehingga jika itu benar-benar terjadi sesuai permintaanmu,
kau akan menganggapnya sebagai kebetulan."
"Yah, jangan habiskan uangnya sebelum aku pulang," kata
Herbert saat ia bangkit dari meja. "Aku takut itu akan mengubah ayah menjadi
seorang pria jahat yang tamak, sehingga kami terpaksa harus tidak mengakui ayah sebagai anggota keluarga
lagi."
Ibunya tertawa,
dan mengikutinya sampai
ke pintu,
menyaksikan dia turun ke
jalan, dan
kembali ke meja sarapan.
Ia tertawa karena rasa mudah percaya
suaminya. Semua itu
tidak mencegahnya untuk bergegas menuju ke pintu karena ada ketukan dari tukang pos,
atau mencegah dia merujuk pada
kebiasaan mabuk sang sersan mayor ketika ia mengetahui bahwa tukang pos itu hanya membawa tagihan dari penjahit.
"Saat pulang, kuharap Herbert
akan memiliki lebih banyak lagi komentar-komentar lucu," katanya saat mereka
duduk untuk makan malam.
"Pastinya," kata tuan White,
menuangkan bir untuk
dirinya sendiri, "tetapi dari semua kekonyolan
itu, benda itu memang benar-benar bergerak di
tanganku, sumpah."
"Kau hanya berpikir benda itu bergerak," kata
wanita tua itu menenangkan suaminya.
"Tidak, benda itu benar-benar
bergerak," sahut pria tua itu. "Bukan hanya karena pikiranku saja, aku baru saja -
Ada apa?"
Istrinya tidak
menjawab. Dia sedang mengamati gerakan misterius dari seorang pria di luar, yang mengintip dengan ragu-ragu ke dalam rumah,
tampaknya sedang
berpikir untuk mencoba masuk. Terpikir lagi olehnya tentang dua ratus
pound itu, dia menyadari
bahwa orang asing itu berpakaian dengan rapi, dan mengenakan topi sutra yang masih mengkilap. Tiga
kali ia berhenti di depan
pintu gerbang,
dan kemudian berjalan lagi. Yang
keempat kalinya, ia berdiri
dengan tangannya di
atas pagar, dan kemudian, tiba-tiba,
dengan langkah yang pasti ia
membukanya
lebar-lebar dan berjalan menyusuri jalan setapak. Nyonya White pada saat yang
sama meletakkan tangannya di belakang punggungnya, dan buru-buru membuka kancing string
celemeknya, lalu meletakkannya di
bawah bantal
kursinya.
Dia membawa masuk orang asing itu, yang
tampaknya merasa tidak nyaman dengan kondisi ruangannya. Dia menatap wanita tua itu diam-diam, dan
mendengarkan dengan
seksama saat wanita tua itu meminta maaf atas keadaan ruangannya, dan mantel suaminya, pakaian yang biasanya ia pakai untuk berkebun. Wanita tua itu menunggu dengan sabar
sampai lawan jenisnya itu meminta izin untuk menyampaikan maksud kedatangannya, tapi pria itu pada awalnya diam dan terlihat aneh.
"Saya -
diminta untuk menemui
Anda," kata
pria itu pada akhirnya, lalu membungkuk dan
mengambil sepotong kapas dari celananya. "Saya datang dari 'Maw and Meggins’”
Wanita tua itu memulai, "Apakah
ada masalah?" tanyanya terengah-engah. "Apakah sesuatu terjadi pada
Herbert? Apa itu? Apa itu?”
Suaminya pun menyela. "Tenanglah, bu," katanya buru-buru.
"Duduklah, dan jangan
langsung mengambil kesimpulan. Anda sedang tidak membawa kabar buruk, iya ‘kan Pak?" Dan
menatap istrinya dengan sendu.
"Saya minta
maaf -" kata si tamu.
"Apakah
dia terluka?" tanya wanita itu dengan tatapan liar.
Tamu itupun membungkuk mengiyakan. "Terluka sangat parah," katanya
pelan, "tapi dia tidak sakit."
"Oh terima
kasih, Tuhan!"
kata wanita tua itu, menggenggam
tangannya. "Terima kasih, Tuhan untuk
itu. Terima
-!"
Dia berhenti saat semua ketenangan menghilang dari raut wajahnya dan dia melihat sebuah pertanda dari kepastian
terhadap sesuatu yang telah ditakutkannya dari wajah tamu yang kelihatan
menghindari pandangannya itu. Dia menahan napas, dan beralih melihat ke suaminya yang cerdas namun lambat. Dia meletakkan
tangannya yang telah
gemetar di atas tangan suaminya. Muncullah keheningan
panjang
yang melanda ruangan itu.
"Dia terperangkap di mesin." kata
pengunjung itu,
singkat dengan suara rendah.
"Terperangkap
dalam mesin," ulang tuan White, dengan bingung.
"Iya."
Dia duduk
memandang ke luar jendela, dan menggenggam tangan
istrinya dengan
kedua tangannya, menekannya seperti hal
biasa yang telah dilakukannya di masa-masa pacaran mereka, hampir empat
puluh tahun sebelumnya.
"Dia adalah
satu-satunya keluarga
kami yang tersisa," katanya, berpaling dengan lembut ke arah si
pengunjung.
"Sulit untuk
menerima ini."
Pengunjung itu berdeham, dan berdiri, berjalan dengan perlahan ke
jendela. "Perusahaan menginginkan saya untuk menyampaikan
simpati yang tulus kepada Anda sekalian atas kecelakaan ini,"
katanya, tanpa melihat ke
belakang. "Saya harap Anda mengerti bahwa saya hanyalah pelayan mereka dan hanya mematuhi
perintah."
Tidak ada
jawaban, wajah wanita tua
itu terlihat pucat, matanya menatap kosong, dan napasnya nyaris tak terdengar. Wajah suaminya terlihat seperti wajah temannya, sang
sersan, saat melakukan misi pertamanya.
"Saya
mengatakan bahwa Maw and Meggins menyakal bahwa ini semua adalah tanggung jawab mereka," lanjut tamu itu. "Mereka tidak mengakui ada kewajiban sama
sekali, tetapi menimbang pelayanan dan kerja keras anak Anda selama ini, mereka ingin memberikan sesuatu kepada Anda dengan
jumlah tertentu sebagai kompensasinya."
Tuan White
menjatuhkan tangan istrinya, dan bangkit berdiri, menatap dengan ekspresi ngeri
ke arah tamunya.
Bibirnya yang kering membentuk kata-kata,
"Berapa banyak?"
"Dua ratus
pound," adalah jawabannya.
Tak Sadar akan jeritan
istrinya, pria tua itu tersenyum
samar, mengulurkan tangannya seperti orang buta, dan jatuh ke lantai seperti sebatang
kayu.
Bagian III
Di tempat pemakaman baru
yang besar, sekitar dua mil jauhnya, pasangan lansia itu menguburkan jasad
anak mereka, dan kembali ke rumah diikuti dengan bayang-bayang pekat dan keheningan. Semua ini terjadi dengan begitu cepat sampai pada awalnya
mereka tidak bisa menyadari hal itu, dan tetap dalam keadaan berharap
seolah-olah sesuatu yang lainlah
yang terjadi - sesuatu yang lain yang dapat meringankan beban ini, terlalu berat untuk
ditanggung oleh hati yang telah renta.
Tetapi
hari-hari pun berlalu, dan
harapan memberi jalan untuk menyerah –
keputusasaan orang-orang tua, yang
terkadang salah disebut sebagai sikap apatis5. Kadang-kadang
mereka tidak bertukar kata,
sekarang tidak ada yang dapat mereka bicarakan, dan hari-hari
mereka masih panjang untuk merasa kelelahan.
Seminggu setelahnya, pria tua itu tiba-tiba
terbangun di malam hari, mengulurkan tangannya dan menyadari bahwa dirinya
sendirian. Ruangan itu
dalam kegelapan, dan suara seperti
tangisan tenang
datang dari jendela. Dia mengangkat dirinya dari tempat tidur dan mulai mendengarkan.
"Ayo
kembali," katanya lembut. "Kau bisa kedinginan di sana."
"Lebih dingin bagi anakku," kata
wanita tua itu, dan menangis
lagi.
Suara isak
tangis istrinya tidak lagi terdengar. Tempat tidur itu masih hangat, dan
matanya masih terasa berat. Dia tertidur
nyenyak, dan masih
tertidur sampai sebuah jeritan
keras tiba-tiba terdengar
dari istrinya dan langsung membuatnya terbangun.
"KAKI ITU!" dia berteriak liar. "KAKI MONYET ITU!"
Suaminya mulai panik. "Dimana? Dimana itu? Ada
apa?"
Istrinya datang dengan tertatih-tahih ke ruang sebelah, ke arah suaminya. "Aku
menginginkannya," katanya pelan. "Kau belum menghancurkannya ‘kan?"
"Benda itu ada di ruang tamu,
di atas keranjang," jawabnya terheran-heran.
"Kenapa?"
Dia menangis
dan tertawa bersamaan, lalu membungkuk dan mencium pipi suaminya.
"Aku baru saja terpikirkan hal itu,"
katanya histeris. "Mengapa aku tidak memikirkan itu sebelumnya? Kenapa kau
tidak memikirkan itu?"
"Pikirkan
apa?" ia bertanya.
"Dua permintaan lainnya,"
jawabnya dengan
cepat. "Kita baru memohon satu permintaan."
"Apa itu belum cukup?" tuntutnya dengan keras.
"Tidak,"
serunya penuh kemenangan, "Kita akan memohon satu permintaan lagi. Turunlah dan cepat ambil benda itu, mintalah agar anak kita
hidup kembali."
Pria itu duduk
di tempat tidur dan melemparkan seprai dari tubuhnya dengan gemetar.
"Ya Tuhan, kau
sudah gila!" teriaknya
karena terkejut mendengarnya.
"Ambil itu," istrinya terengah-engah,
"Cepat ambil benda itu, dan mintalah - Oh anakku,
anakku!"
Suaminya bergegas mengambil korek dan
menyalakan lilin. "Kembalilah ke tempat
tidur” katanya dengan goyah. "Kau tidak
tahu apa yang sedang kau katakan."
"Permintaan pertama kita benar-benar
dikabulkan," kata wanita tua itu, tergesa-gesa, "jadi, kenapa tidak untuk mencoba yang
kedua?"
"Itu hanyalah sebuah kebetulan,"
kata orang tua itu terbata-bata.
"Pergi ambil benda itu dan mintalah," teriak
istrinya, bergetar dengan girang.
Orang tua itu
berbalik dan memandangnya, dan suaranya bergetar. "Dia sudah meninggal
sepuluh hari yang lalu, dan disamping itu, dia - aku tidak akan
memberitahumu yang lain, tapi
- aku hanya bisa mengenali dia karena pakaiannya. Jika saat itu dia terlihat terlalu
mengerikan bagimu, bagaimana dengan sekarang?"
"Bawa dia
kembali," teriak wanita tua itu, dan menyeretnya ke arah pintu. "Apa kau pikir aku akan takut dengan
anak yang telah kurawat sendiri?"
Ia turun ke bawah dalam
kegelapan, dan meraba-raba
jalannya ke arah ruang tamu, lalu ke tempat perapian. Jimat itu ada di sana, dan muncullah sebuah ketakutan yang luar biasa di benaknya tentang keinginan yang tak bisa terucapkan jika mungkin anaknya yang telah termutilasi muncul di hadapanya sebelum dia bisa melarikan
diri dari ruangan
yang mengurung dirinya
itu. Kemudian ia menarik napas saat ia sadar bahwa ia telah kehilangan arah menuju pintu. Alisnya dingin karena keringat, ia meraba-raba jalannya mengitari sekeliling
meja, dan meraba-raba di
sepanjang
dinding sampai ia menemukan dirinya berada di jalan kecil dengan benda yang jahat itu di tangannya.
Bahkan wajah
istrinya tampak berubah ketika ia memasuki ruangan. Wajahnya terlihat pucat namun penuh
dengan harapan, dan bagi
suaminya yang sedang ketakutan,
wajah istrinya tampak memiliki tampilan yang tak wajar. Dia takut padanya.
"MINTALAH!" serunya
dengan suara yang kuat.
"Ini
adalah tindakan yang bodoh dan salah," katanya dengan tersendat-sendat.
"MINTALAH!" ulang istrinya.
Suaminya mengangkat
tangannya. "Aku berharap anakku hidup
kembali."
Jimat itu jatuh ke
lantai, dan ia melihatnya
dengan ketakutan. Lalu ia menghilang
di balik kursinya, sementara istrinya, dengan mata berapi-api, berjalan ke arah jendela dan
mengangkat tirai yang
menutupinya.
Suaminya duduk sampai
ia gemetar karena kedinginan, melirik
sesekali pada sosok wanita
tua itu yang sedang mengintip
melalui jendela. Ujung
lilin yang telah terbakar sampai ke tepi
bawah tempat
lilin Cina itu membuat bayangan yang bergoyang-goyang di
langit-langit dan dinding
ruangan, sampai dengan kerlipan yang lebih besar daripada sebelumnya, lilin itu padam. Lelaki tua itu dengan rasa
lega yang tak terkirakan
karena kegagalan jimatnya, merayap
kembali ke tempat tidurnya, dan satu menit kemudian wanita tua itu datang dengan pelan dan dengan rasa enggan tidur di samping suaminya.
Tidak ada yang berbicara, namun mereka hanya berbaring dengan
tenang sambil mendengarkan detak jam di dinding. Sebuah anak tangga berderit, dan seekor tikus bergegas masuk ke dalam celah di dinding
dengan ributnya. Kegelapan itupun mulai mencekam, dan setelah berbaring selama beberapa
lama untuk menggugah keberaniannya,
ia mengambil kotak korek api, dan menyalakan satu, lalu turun ke bawah untuk mencari lilin.
Di kaki tangga korek apinya padam, dan ia
berhenti untuk menyalakan
satunya lagi, dan pada saat yang sama sebuah ketukan dari arah pintu depan terdengar samar-samar dan halus sehingga hampir tidak dapat didengar.
Korek itu jatuh dari
tangannya dan berceceran
di jalan. Dia berdiri tak bergerak, napasnya tertahan sampai ketukan
itu terdengar lagi. Lalu ia
berbalik dan berlari
dengan cepat kembali ke kamarnya, dan menutup pintu di belakangnya. Ketukan ketiga
terdengar sampai ke
dalam rumah.
"APA ITU?"
teriak wanita tua
itu, terkejut.
"Tikus,"
kata orang tua itu
dengan nada
gemetar - "tikus itu melewatiku di tangga."
Istrinya duduk
di tempat tidur mendengarkan. Sebuah ketukan keras bergema melalui rumah.
"Ini Herbert!"
Istrinya berlari menuju ke pintu, tapi
suaminya mengejar dirinya, dan
menangkap lengannya, memeluknya erat-erat.
"Apa yang
akan kau lakukan?"
bisiknya serak.
"Itu anakku, itu
Herbert!" dia menangis, meronta-ronta
agar dilepaskan. "Aku lupa kalau itu dua mil jauhnya. Untuk apa kau menahanku? Lepaskan aku. Aku harus
membukakan pintunya."
"Demi
Tuhan! Jangan biarkan itu masuk," teriak pria tua itu dengan gemetaran.
"Kau takut
dengan anakmu sendiri,"
serunya sambil berjuang melepaskan tangannya. "Biarkan
aku pergi. Aku ke sana, Herbert. Aku
datang."
Muncul sebuah ketukan, dibarengi dengan ketukan berikutnya. Wanita tua itu tiba-tiba memilinkan tangannya dan berhasil melepaskan dirinya, lalu berlari dari ruangan itu. Suaminya mengejarnya, dan
memanggilnya dengan panggilan
sayang sambil bergegas turun. Dia mendengar suara rantai pengunci pintu yang bergoyang-goyang dan gerendelnya ditarik
perlahan dan kaku dari pangkalnya. Lalu suara
wanita tua itu menjadi tegang dan terengah-engah.
"Gerendelnya," seru istrinya dengan keras.
"Turunlah. Aku tidak bisa menggapainya."
Tapi suaminya merangkak meraba-raba dengan liar di lantai
untuk mencari kaki
monyet itu. Kalau saja ia bisa menemukannya sebelum hal yang ada di luar sana masuk ke dalam. Sebuah rentetan ketukan bergema ke dalam rumah, dan ia
mendengar suara derit kursi saat istrinya
meletakkannya di balik
pintu. Dia perlahan
mendengar kembali suara deritan gerendelnya, dan pada saat
yang sama ia menemukan kaki monyet itu, dan dengan
panik menghembuskan keinginannya yang ketiga dan
terakhir.
Ketukan itu
berhenti tiba-tiba, meskipun gema itu masih berada di rumah. Dia mendengar
kursi yang ditarik ke
belakang, dan pintu pun terbuka. Angin dingin dengan cepat menyusuri tangga, dan
raungan keras kekecewaan dan penderitaan yang panjang dari istrinya memberinya
keberanian untuk lari ke
bawah, ke sisi
istrinya, dan kemudian berlari menuju ke gerbang luar. Lampu jalan berkedip-kedip
berlawanan, bersinar di
jalan yang tenang dan sepi.
˜
The End ™
Catatan
Penerjemah (T/L Notes):
Gunakan
tombol kombinasi ‘CTRL+F’ lalu ketik nomor menurut catatan di bawah ini.
Contoh: untuk mengetahui kata/kalimat yang mana membutuhkan penjelasan nomer
dua, gunakan ‘CTRL+F’ lalu ketik ‘2’.
1) “Hark
at the wind!” (perhatikan/ dengarkan anginnya). Frase ini digunakan dalam
bahasa informal Inggris-Inggris untuk mendapatkan/mengalihkan perhatian lawan
bicara.
2) “a
slip of a youth in the warehouse” (pemuda tanggung di gudang). Ini adalah suatu
ungkapan yang artinya kurang lebih seperti “bocah ingusan dari desa/dusun”
3) Fakir
adalah orang yang mempunyai ilmu sihir seperti kekebalan, dll.
4) Kain
yang dimaksud adalah “Antimacassar”. Tapi saya tidak tahu istilahnya dalam
bahasa Indonesia.
5) Sikap
apathy adalah sikap ‘enggan-engganan’ atau ‘kurang bergairah’.
No comments:
Post a Comment