PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

The Backward Fall

THE BACKWARD FALL
(Jatuh Ke Atas)
Pengarang: Jason Helmandollar

“Ayah?” dia bilang. “Sumpah, aku tidak bisa mengingat kata-kata yang ada pada lagu-laguku sendiri.” Wanita itu berumur enam puluh dua tahun dan sedang duduk di pinggiran dipan, gitar akustik tuanya bertengger di atas lututnya.
Suaminya yang telah berumur empat puluh tujuh tahun berjalan ke dalam ruang keluarga dari dapur. “Apa itu, Bu?” dia berkata. Selama bertahun-tahun, semenjak mereka mendapatkan anak ketiga mereka, dia sudah memanggilnya Ibu dan istrinya memanggil dia Ayah.
“Aku tidak bisa mengingat bagaimana memulai sajak keduanya.”
“Hm, apa yang sedang kau nyanyikan?”
“Kau pasti sedang mengabaikanku. Aku dari tadi sedang mencoba untuk menyanyikan lagu yang sama selama dua puluh menit terakhir.”
George, suaminya, melihat ke atas atap. “Hm, mari kita lihat,” katanya, sambil menggosok pangkal janggutnya. “Picking Flowers in the Rain?” (Memetik Bunga di Tengah Hujan)

 
Wanita itu tersenyum dan memetik gitarnya dengan mendayu-dayu. “Tebakan yang beruntung.”
“Sajak yang kedua adalah ketika itu mulai hujan. Aku yakin, sesuatu akan tertetes di atas daun bunga.”
“Tentu saja.” Dia menganggukkan kepalanya sekali. “Bagaimana bisa aku melupakan itu?”
Dia mulai memainkannya lagi, kord sederhana dengan gitar kayu, dan menyanyikan lagu yang dia tulis ketika dia jauh lebih muda. Itu adalah cerita tentang dua sejoli yang berjalan di ladang bunga-bunga liar. Sebuah hujan yang hangat mulai turun, dan ketimbang berlari ke tempat berlindung, mereka memetik bunga bersama-sama dan menyadari bahwa mereka saling jatuh cinta.
***
“Ayah?” dia berkata. Sekarang umurnya enam puluh empat. “Bisakah kau ke lemari yang ada di samping pintu dan…”
“Ada apa, Bu?” dia berkata. Dia segera tegak bersiap-siap, tetap tenang untuk memberikan pertolongan. “Apa yang kau ingin aku lakukan?”
Dia melihat pandangan pada wajah istrinya dan menurunkan dirinya kembali ke kursinya. Dia benci pandangan itu, walaupun dia sering melihatnya, itu sudah menjadi teman lamanya yang jahat. Itu adalah pandangan kebingungan, salah satu dari ketakutan yang membingungkan.
            “Aku lupa apa yang kumau.” Dia menggeleng-gelengkan kepalanya, duduk kembali ke kursinya.
“Tidak apa-apa. Sudah biasa.”
Dia menatap ke depan. Kursi mereka tersusun tepat di depan televisi, tapi wanita tua itu sudah jarang menonton lagi. Setelah beberapa saat, dia membalikkan kepalanya ke arah suaminya. “Apa yang akan kita lakukan ketika aku tidak dapat mengingat apapun?”
“Para dokter mengatakan bahwa itu mungkin tidak akan menjadi lebih parah. Kau tahu itu.”
“Tapi bagaimana kalau itu benar-benar menjadi lebih parah? Bagaimana kalau suatu hari nanti aku terbangun dan sudah melupakan segala hal?”
Suaminya meraih meja kecil yang ada di antara mereka dan menepuk tangannya. “Kalau begitu aku tinggal mengingatkanmu tentang semuanya.”
Istrinya tersenyum pada saat itu juga dan pandangan jahat itu perlahan menghilang. Di atas televisi adalah sebuah mantel yang penuh dengan gambar. Seluruh keluarganya, mulai dari kakek-neneknya sampai cicit-cicitnya, bertengger di mantel itu. Dia mengabaikan televisi itu dan menatap ke gambar-gambar tersebut, walaupun itu sangat jauh untuk dapat benar-benar dilihat. Setelah beberapa menit, dia berkata, “Kakiku kedinginan. Maukah kau mengambilkan aku selimut dari lemari yang ada di samping pintu itu?”
***
“Apa kau sudah mengisi tangki seperti yang sudah kukatakan kepadamu?” dia bertanya. Sekarang umurnya enam puluh lima tahun. Dia juga berumur empat puluh delapan tahun. “Saat kita di jalan, aku tidak ingin berhenti untuk mengisi bensin.”
Suaminya melihat kepadanya selama beberapa saat, memendekkan kepalanya, dan berbalik menuju televisi.
“Tidakkah kau akan menjawabku?”
“Aku bahkan tidak tahu dengan apa yang kau bicarakan, Bu.”
“Tangkinya. Apa kau sudah mengisi tangki bensinnya?”
Sambil menghela napas, dia mematikan volume suara program TV yang sedang ditontonnya tentang orang-orang purba di Peru. Dia selalu ingin melihat reruntuhan suku Incan dari Machu Pichu. Beberapa tahun sebelumnya, dia pasrah dengan kenyataan bahwa dirinya tidak akan pernah bisa kesana. “Kenapa aku harus mengisi bensin mobilnya? Kita tidak akan pernah pergi ke manapun melainkan ke toko grosir sekali dalam seminggu.”
Istrinya tertawa dan menggeleng-gelengkan kepalanya. “Kau bisa menjadi pikun kadang-kadang. The Grand Canyon!”
“Grand Canyon?”
“Kita akan pergi ke sana besok.”
“Ibu, kita pernah pergi ke Grand Canyon lebih dari lima belas tahun yang lalu. Tidakkah kau ingat?”
Istrinya mengangkat jarinya untuk membenarkannya, berhenti sebentar, melihat ke arah yang tidak jelas dengan matanya yang tidak fokus. Jarinya berpindah ke bibir bawahnya. “Tapi, aku…”
Dia memperhatikannya sebentar sementara wajah istrinya menampakkan kekosongan – tanpa emosi, semua bukti yang pernah dipikirkan. Dia memikirkan Grand Canyon, yang mereka kunjungi segera setelah dia pensiun dari pabrik karena cacat. Pada hari pertamanya tanpa pekerjaan, dia mencairkan semua cek mereka dan membawa pulang sebuah motor. Mereka mengendarainya mengitari pedesaan – namun pertama-tama, ke Grand Canyon. Mereka menyebutnya Petualangan Besar, pelayaran pesiar mereka selama tiga tahun dari satu benua ke benua yang lain lalu kemali lagi. Mereka merasa sangat muda pada masa itu.
Suaminya menaikkan volume suara program TV-nya, dan seperti yang biasanya dia lakukan setiap menit di setiap harinya, dia mencoba bernapas melalui jantungnya yang berdetak kencang.
“Kudengar mereka punya anak keledai yang bisa kau naiki untuk turun menyusuri tebing,” isrinya berkata. “Apa kau pikir itu benar?”
Tangan istrinya beristirahat di atas meja yang berada di antara mereka. Suaminya meraih dan menggenggam tangan istrinya. Di dalam pikiran matanya, dia melihat badan istrinya bergoyang-goyang ke depan dan ke belakang saat anak keledai itu melewati jalan yang berbatuan, rambut abu-abu-nya yang kemerah-merahan bersinar dari belakang oleh sinar matahari di gurun.
“Ya, aku yakin itu,” suaminya berkata.
***
Sebuah tangan di pundaknya membangunkannya dari tidur. Suaminya menyangga dirinya sendiri di tempat tidur dan melihat ke arah jam dinding. Hampir jam empat pagi. “Ada apa. Bu? Ada masalah apa?”
“Aku perlu memberitahumu sesuatu.” Sekarang dia berumur enam puluh tujuh tahun. Dia juga berumur tiga puluh satu tahun.
Suaminya duduk dan menyalakan lampu.
“Wendell Thurber menciumku di mulut hari ini,” katanya.
"Wendell Thurber?"
“Kami sudah sering makan siang bersama akhir-akhir ini dan hari ini dia menciumku.” Dia merendahkan matanya ke arah selimut. “Dia melakukan itu sebelum aku tahu apa yang sedang terjadi.”
George ingat pembicaraan ini. Itu sudah bertahun-tahun lamanya, pada saat ketika istrinya bekerja di pabrik selama beberapa bulan untuk membantunya menabung membeli rumah pertama mereka. Suaminya menatap ke arahnya tapi tidak mengatakan apa-apa.
“Begini, George,” dia berkata. “Hal-hal sudah mulai tidak benar dengan kita berdua selama ini. Kau tidak terlihat menghargaiku lagi.”
“Aku menghargaimu.”
“Kau tidak bertingkah seperti itu.”
Pada saat itu, dia tidak bertindak seperti itu. Untuk beberapa alasan, dia sudah mulai mengabaikan istrinya, untuk menerima istrinya apa-adanya, tanpa menyadari dia sedang melakukan itu. Ini adalah percakapan ketika istrinya memanggilnya.
“Aku sudah jatuh cinta pada Wendell Thurber selama beberapa saat,” katanya. “Hari ini, dia menunjukkan bahwa dia juga merasakan hal yang sama.” Dia mencengkeram selimut itu ke arahnya. “Aku mengatakan ini karena aku mencintaimu. Aku hanya ingin kau tahu bahwa di luar sana ada banyak pria lain yang mungkin memperlakukanku dengan selayaknya.”
Itu benar-benar kesempatannya. Suaminya mungkin saja dapat marah, dan memanggilnya perempuan jalang. Dia bisa saja pergi. Istrinya mempertaruhkan semua nyawanya pada reaksi suaminya pada sebuah ciuman dari seorang pria lain. Dan itu berhasil. Ketimbang menjadi marah, suaminya merangkulnya di pelukannya. Dia berubah. Dia mulai menjadi baik lagi kepada istrinya.
Lau kemudian, sebuah hal yang ajaib terjadi. Semakin dia baik kepada istrinya, dan melakukan hal-hal yang membuatnya senang, semakin banyak pula istrinya melakukan hal yang sama kepada suaminya. Langsung saja itu menjadi seperti sebuah kontes untuk melihat siapa yang dapat menjadi pasangan terbaik, siapa yang dapat memberikan cinta paling banyak.
Dengan tersenyum, dia menarik istrinya ke pelukannya. “Aku akan berubah,” katanya. “Aku berjanji.”
“Apa yang kau bicarakan?” kata istrinya.
Dia melihat ke bawah dan mendapati mata istrinya terpaku menatap jam dinding.
“Sekarang jam empat pagi,” katanya. “Kenapa kau bangun?”
“Aku… tidak bisa tidur.”
“Hm, matikan lampunya dan cobalah berusaha lebih keras.” Dia berbaring lagi dan berbalik ke arahnya.
Dia melihatnya untuk waktu yang lama. Lalu dia mematikan lampunya dan menutup matanya dalam kegelapan.
***
“Aku tahu kau mencuri cincinku,” kata wanita itu. “Dimana itu?” matanya menyipit tetapi berapi-api. Sekarang dia berumur dua puluh tiga dan enampuluh delapan tahun.
“Aku tidak tahu dimana itu, Bu.” Dia berdiri di dapur, pecahan gelas rusak dari teko kopi itu berserakan di sekeliling kakinya.
“Kau pembohong.”
“Kau pasti sudah menyembunyikan itu lagi. Tenang saja dan kita akan mencarinya.”
Dia meraung, sebuah suara yang tak disangka-sangka oleh suaminya bahwa istrinya dapat melakukannya, dan dia mengambil mangkuk buah.
Menarik tangannya di atas wajahnya, dia berkata, “Tolong jangan lemparkan apapun kepadaku, Bu.”
“Berhenti memanggilku seperti itu! Aku bukan ibumu. Kau hanyalah seorang lelaki tua yang kotor.”
“Apa kau tidak sadar siapa aku? Ini aku, George.”
Dia menghempaskan mangkuk itu kembali ke rak, cukup keras untuk membuatnya retak. “Kau bukanlah George-ku. Kau adalah lelaki tua. Kau membuatku terperangkap di sini. Kau mencuri semua uangku, dan sekarang kau mengambil cincin pernikahanku.”
“Itu sama sekali tidak benar.”
Dia tidak mengatakan apa-apa selama beberapa saat, bernapas kencang.
“Aku memberikanmu cincin itu,” kata suaminya. “Tidak mungkin aku mengambilnya darimu.”
Dia bernapas dengan lebih kencang, hampir terengah-engah. Air mata mengelilingi matanya dan itu menggesek pada hati suaminya lebih dari apapun.
“Tolonglah,” kata suaminya.
Tiba-tiba, istrinya berbalik dan berlari keluar dapur. Dia mendengar hantaman layar pintu depan, dan dengan pikiran istrinya di jalanan, hilang, terluka, dia melangkah melintasi gelas pecah itu dan berlari mengejar istrinya. Dia sudah tidak pernah berlari selama bertahun-tahun. Hatinya terasa luas, menggembung di dadanya. Dia membawa istrinya di lelumpuran di pinggir jalan, jari-jarinya yang terkilir, encok karena radang sendi, menarik gaun malam istrinya. Istrinya menampar wajahnya, mendentumkan dadanya. Dia hanya punya tenaga untuk mengatakan dimana istrinya sekarang, menggeliat kesakitan di lumpur yang dingin.
Segera dia berhenti meronta-ronta. Badannya menggulung dan gemetaran. Suaminya membujuknya untuk berdiri lalu berjalan ke rumah. Ketika air hangat dari shower mengguyur, suaminya berdiri di bak mandi di sebelahnya dan memindahkannya di bawah percikan air. Lumpurnya bergulung dari rambut istrinya yang putih dan kulitnya yang putih dan bercampur dengan darah yang berputar-putar membentuk spiral pink dari kakinya.
***
Sekarang dia enam belas tahun. Lelaki tua itu menatapnya lagi, tapi dia mengabaikannya seperti yang biasa dia lakukan. Dia punya hal yang lebih penting untuk dipikirkan daripada lelaki tua yang selalu cemas dan menangis.
George akan datang hari ini. Dia tahu bahwa dia akan datang untuk menanyakan jika dia bisa memacarinya. Dia memacari saudara perempuannya selama beberapa minggu, tapi itu tidak mengarah kemana-mana. Saudara perempuannya cantik, tapi George tidak bisa berhenti melihat melampaui pundaknya pada seorang gadis yang lebih muda dengan rambut hitam yang panjang. Hari ini, dia akan datang untuknya.
Gadis itu melangkah keluar ke beranda depan. Sebuah jalan setapak yang kotor berada di depan rumahnya, turun bukit sampai ke permukaannya, lalu kemudian mengitari belokan dimana itu menghilang ke dalam lautan kecil pohon cemara. Di sisi lain cemara-cemara itu terdapat jembatan kayu yang membentang sungai Sandy dan kemudian ada lintasan kereta api.
Gadis itu memutar kepalanya dan melihat bahwa lelaki tua itu berada di luar beranda sekarang, duduk dengan kedua tangannya menyilang di pahanya.
“Apa maumu?” katanya kepada lelaki itu.
Mengangkat lengannya dengan berlagak tidak bersalah, dia menjawab, “Kenapa, tidak ada, Bu. Aku hanya menonton TV.”
Lelaki tua itu gila. Gadis itu susah mengerti maksud dari perkataannya.
Wanita itu berbalik ke jalan. Dan di sanalah lelaki itu muncul dari antara cemara-cemara, mengenakan jeans dan kaos putih menggantung dengan bebas di perawakannya yang kurus namun terlihat kokoh. Lelaki itu berjalan dengan gayanya yang santai, kakinya sedikit bengkok ke dalam, saat dia membuat belokan dan kemudian merendahkan kepalanya untuk perjalanan panjang ke atas bukit. Setelah beberapa saat, dia melihat ke atas dan gadis itu melambaikan tangannya. Ini adalah seorang lelaki yang terlalu angkuh untuk melambai, tetapi tidak terlalu angkuh untuk memetik seikat bunga-bunga liar yang sekarang gadis itu lihat tercengkeram di genggaman lelaki itu. Bunga-bunga itu membuatnya tersenyum, dan dalam pikirannya kata-kata untuk sebuah lagu mulai terbentuk. Gadis itu tahu tanpa ragu sedikitpun bahwa inilah lelaki yang akan dia cintai selama masa hidupnya.
“Kau melambaikan tangan pada siapa, Bu?” lelaki itu berkata.
“Suamiku,” katanya.
“Hm, aku tepat ada disini. Kau melambai pada dinding.”
Lelaki tua yang malang. Dia gila, tapi baik. Wanita itu berputar dan melambai padanya.
Mengangkat tangannya sebagai balasan, lelaki itu berkata, “Hallo, sayang.”
***
Wajah-wajah itu berada di sekelilingnya, mengitarinya. Wanita itu tidak dapat bergerak, tapi dia bisa memperhatikan mereka. Wajah-wajah itu tidak punya nama. Di dalam dirinya, tidak ada ingatan dia adalah seorang bayi. Dia punya indra yang tidak jelas bahwa sesuatu sudah dilucuti darinya, dirobek melawan kehendaknya, tapi ini tidak membuatnya marah. Wajah-wajah itu membuatnya merasa nyaman. Walaupun mereka tidak punya nama, dia tahu bahwa mereka menyayanginya, dan dia juga mencintai mereka.
Dia merasakan dirinya bernapas. Dengan pelan. Menarik napas dan mengeluarkannya.
Wajah-wajah itu memudarkan penglihatannya, pada suatu saat. Kata-kata yang tidak diketahui keluar dari bibirnya. Air mata jatuh dari matanya yang sedih. Dia bernapas pada setiap wajah dan itu menenangkannya. Yang terakhir adalah wajah yang terlihat familiar. Bentuknya familiar – teksturnya yang berpasir saat sebuah pipi menekan pipinya. Bibir yang familiar menyentuh keningnya. Dia memperhatikan wajah ini dan sadar bahwa saat semua informasi sudah dilucuti darinya, sebuah perasaan masih bertahan. Tidak tersentuh.
Wajah-wajah itu memenuhinya dengan rasa aman, dan dia menemukan dirinya mempunyai tenaga untuk jatuh kebelakang untuk terakhir kalinya.
***
Dia sekarang berada di dalam rahim, dikelilingi oleh air yang hangat. Di air itu, tidak perlu bernapas. Jadi dia berhenti. Matanya mulai menutup.
Dia melihat George di depannya. Dia sangat jauh, tapi dia sudah berbelok. Dia tahu bahwa mereka tidak akan bersama-sama untuk beberapa waktu, tapi itu tidak apa-apa. Kepala lelaki itu menunduk ke bawah dan dia sudah mulai mendaki ke atas bukit yang tinggi.

(Untuk Joann and Clyde)

No comments:

Post a Comment