TERSESAT DI KOTA KUCING
Haruki Murakami
Di stasiun Koenji, aku menaiki salah satu kereta cepat jalur
Chuo. Gerbong yang aku tempati kosong, dan aku satu-satunya penumpang di
gerbong tersebut. Hari ini aku tidak memiliki rencana atau kegiatan apapun sehingga
aku dapat pergi ke manapun dan melakukan apapun sesuka hatiku. Jam menunjukkan
pukul sepuluh pagi, dan karena sekarang adalah musim panas, udara di sekitarku
terasa sangat menyengat.
Kereta melaju melewati Shinjuku, Yotsuya,
Ochanomizu, dan akhirnya tiba di Stasiun Pusat Tokyo. Semua penumpang
berhamburan keluar kereta, begitu juga aku. Dengan langkah santai aku menuju ke
sebuah bangku yang berada di sudut taman stasiun. Aku duduk sambil menjulurkan
kedua kakiku yang terasa sangat penat karena lelah seharian dalam perjalanan panjang
dari sebuah tempat terpencil yang tenang bernama Shibuya menuju kota
metropolitan Tokyo.
Aku merenung sejenak dan mulai berpikir ke mana
selanjutnya akan pergi. “Aku dapat pergi kemana pun aku mau,” ucapku dalam
hati. “Sepertinya hari ini cuaca sangat panas. Mungkin aku harus pergi ke
pantai atau menemukan sebuah kafe kecil untuk makan siang.” Aku mendongakkan
kepala dan memperhatikan peta jalur kereta yang terlihat sangat rumit.
Pada saat itu juga aku menyadari apa yang
sedang aku lakukan.
Aku mencoba menggelengkan kepala beberapa
kali, namun pikiran-pikiran itu tidak mau pergi dari dalam kepalaku. Mungkin
secara tidak sadar aku telah memutuskan untuk melakukannya tepat pada saat aku
menaiki kereta di Koenji tadi pagi. Aku mendesah perlahan, lalu bertanya kepada
seorang petugas di stasiun agar dapat sampai ke Chikura. Petugas tersebut
segera membolak-balikkan halaman buku jadwal kereta yang tebal. Dia menyarankan
agar aku mengambil kereta ekspress ke Tateyama yang akan berangkat pada jam
11.30, kemudian transit ke kereta lokal. Dengan begitu aku akan tiba di Chikura
sekitar jam dua lewat. Aku membeli tiket pulang-pergi Tokyo-Chikura. Kemudian aku
pergi ke restoran di stasiun dan memesan menu makan siang yang sangat sederhana
yaitu sepiring nasi kari dan salad.
Mengunjungi ayah adalah sebuah rencana yang
tidak menyenangkan bagiku. Hubunganku dengan ayah tidaklah terlalu dekat, dan
ayah juga jarang memperlihatkan rasa mencintai layaknya seorang ayah kepada
putra semata wayangnya. Dia telah pensiun empat tahun yang lalu, namun saat ini
ia masuk ke sanatorium di Chikura yang khusus merawat pasien penderita gangguan
kognitif. Selama ini, aku hanya mengunjunginya tidak lebih dari dua kali dalam
setahun. Kunjungan pertama adalah pada saat ayah baru masuk ke sana, ketika aku,
sebagai satu-satunya anggota keluarga, harus berada di sana untuk mengurus
prosedur administrasi. Kunjungan yang kedua juga karena menyangkut masalah
administrasi. Hanya dua kali itu saja!
Sanatorium di mana ayah dirawat berdiri pada sebidang
tanah yang berada di dekat pinggir pantai kota Chikura. Bagunannya merupakan
kombinasi aneh dari bangunan tua elegan yang terbuat dari kayu, dan bangunan
tiga tingkat yang terbuat dari beton. Namun udara di sana segar dan selain
suara ombak yang menderu-deru, tempat itu selalu sunyi di sepanjang hari.
Barisan pohon pinus yang ditanam di pinggir
taman menghalau angin yang menerjang bangunan. Fasilitas kesehatan di sana
sangat baik. Dengan asuransi kesehatan, bonus pensiun, tabungan, dan uang
pensiun, ayah mungkin dapat menghabiskan seluruh sisa hidupnya di sana dengan
nyaman.
Meskipun ayah tidak akan meninggalkan harta
warisan yang besar, namun bagiku yang terpenting adalah agar ayah mendapat
perawatan yang terbaik. Aku tidak ingin mengambil sedikitpun hartanya, dan aku
juga tidak ingin memberikan atau membagi apapun kepadanya. Kami adalah dua
manusia yang berbeda, datang dan pergi ke tempat yang berbeda pula. Kami hanya
kebetulan saja pernah tinggal bersama dalam satu atap selama beberapa tahun.
Hanya itu saja! Sayang sekali kalau akhirnya harus begini, namun sama sekali
tidak ada hal yang dapat aku lakukan untuk mengubah ini semua.
Aku membayar makanan kepada kasir dan memberi
tips kepada pelayan lalu pergi ke platform untuk menunggu kereta ke Tateyama.
Satu-satunya teman seperjalananku kali ini adalah sebuah keluarga bahagia yang
akan berlibur selama beberapa hari di pantai.
Kebanyakan orang berpikir bahwa hari Minggu adalah
hari untuk beristirahat. Namun selama masa kecilku, aku tidak pernah menganggap
hari Minggu sebagai hari yang dapat dinikmati dengan sepuas hati. Bagiku, hari
Minggu sama seperti bulan yang hanya menampakkan sisi gelapnya saja. Karena
ketika hari Minggu tiba, badan ini mulai terasa lemas dan sakit, serta selera
makanku kadang-kadang hilang. Aku bahkan berharap agar hari Minggu tidak akan
pernah tiba, namun doaku ini tidak pernah terkabulkan.
Ketika aku masih kecil, ayah bekerja di NHK—sebuah
jaringan televisi dan radio pemerintah di Jepang—sebagai penagih biaya
langganan. Setiap hari Minggu dia akan mengajakku bersamanya untuk menemaninya menagih
pembayaran dari pintu ke pintu. Kami telah berkeliling seperti ini sejak
sebelum aku masuk TK dan masih berlanjut saat aku duduk di kelas lima SD. Aku tidak
tahu apakah penagih bayaran di NHK memang bekerja setiap hari termasuk hari Minggu,
namun seingatku, ayah selalu bekerja seperti itu. Ayah malah bekerja dengan
lebih antusias daripada biasanya, karena pada hari Minggu dia dapat menemui
orang-orang yang tidak dapat ditemuinya di hari - hari lain.
Ayahku mempunyai beberapa alasan kenapa dia
mengajakku. Alasan pertama adalah karena dia tidak ingin meninggalkan aku yang
masih kecil sendirian di rumah. Pada hari Sabtu dan hari - hari libur, aku dapat
pergi ke sekolah atau ke penitipan anak, namun tempat - tempat ini tutup pada
hari Minggu. Alasan yang lain, kata ayah, adalah karena menurutnya seorang ayah
harus menunjukkan kepada anaknya pekerjaan macam apa yang dilakukannya. Seorang
anak harus mengetahui pekerjaan apa yang menghidupinya selama ini, dan dia juga
harus dapat menghargai pentingnya bekerja. Semasa kecilnya, ayah sudah bekerja
di ladang milik kakek, bahkan di hari Minggu, begitu juga di hari - hari lain
pada waktu libur, dia bahkan harus libur sekolah pada saat - saat yang sibuk
seperti sedang musim panen. Kehidupan seperti itu merupakan sebuah anugerah
baginya hingga dia tumbuh dewasa.
Alasan ketiga, dan juga yang terakhir,
merupakan alasan yang sangat egois, sehingga alasan ini meninggalkan bekas luka
yang dalam di hatiku. Sebenarnya ayah sadar bahwa keberadaan anak kecil dapat
membuat pekerjaannya menjadi lebih mudah. Bahkan orang yang telah memutuskan
untuk tidak akan membayar akhirnya akan merogoh kantongnya jika ditatap oleh
seorang anak kecil, oleh karena itulah ayah hanya berkeliling di rute yang
sulit di hari minggu.
Aku telah merasa sejak awal bahwa inilah
peran yang diinginkan ayah untukku, dan aku amat sangat membenci peran ini.
Namun aku juga merasa bahwa aku harus melakukannya dengan secerdik mungkin
untuk menyenangkan hatinya. Jika aku bisa membuatnya senang, maka dia akan
memperlakukanku dengan baik. Mungkin saja bagi ayah, aku tidak lebih dari
sekedar monyet yang terlatih.
Salah satu hal yang membuat hatiku lega
adalah daerah di mana kami berkeliling jauh dari rumah. Kami tinggal di daerah pinggir
kota Ichikawa, sementara kami selalu berkeliling di pusat kota. Paling tidak
dengan cara begini aku tidak akan bertemu dengan orang-orang yang kukenal.
Namun tak jarang ketika kami berkeliling di wilayah perbelanjaan, aku akan
melihat seorang temanku di sana. Jika ini terjadi, aku selalu bersembunyi di balik
punggung ayah agar tidak terlihat oleh temanku.
Pada hari Senin, teman - teman sekolahku akan
berbincang dengan semangat tentang apa yang mereka lakukan di hari Minggu.
Mereka pergi ke taman hiburan, kebun binatang, dan melihat pertandingan baseball. Di musim panas mereka
berenang, dan di musim dingin mereka bermain ski. Tapi tidak ada yang dapat aku
ceritakan. Pada hari Minggu, dari pagi sampai malam, aku dan ayah akan membunyikan
bel ke rumah orang – orang asing, menundukkan kepala, lalu mengambil uang dari
siapapun yang membukakan pintu. Jika ada yang tidak ingin membayar, ayah akan membujuk
atau mengancamnya. Jika mereka mengeluarkan banyak alasan, ayah akan
meninggikan suaranya. Terkadang dia akan mengucapkan sumpah serapah kepada
mereka yang bandel!
Tentu saja pengalaman seperti ini bukanlah
hal yang ingin aku ceritakan kepada teman - temanku. Aku merasa seperti orang
asing di tengah - tengah masyarakat ekonomi menengah. Aku hidup dengan cara
yang berbeda di dunia yang berbeda.
Untungnya nilai - nilai akademik dan olahragaku
sangat tinggi. Sehingga, walaupun terlihat berbeda, aku tidak pernah merasa
minder. Dalam banyak kesempatan, aku diperlakukan dengan hormat. Namun setiap
kali teman - teman mengajakku pergi ke suatu tempat atau mengundangku ke rumah
mereka di hari Minggu, aku akan menolak ajakan mereka dengan berbagai alasan. Ini
membuat mereka berhenti mengajakku.
Terlahir sebagai putra tunggal di keluarga
petani yang tinggal di wilayah Tohoku, ayah terkenal sangat keras, ia senang karena
berhasil keluar dari rumahnya secepat mungkin untuk bergabung dengan kelompok
perantau dan menempuh perjalanan sampai ke Manchuria pada tahun 1913. Mereka tidak
percaya dengan omongan pemerintah yang mengatakan bahwa Manchuria adalah surga
dengan tanah yang luas dan subur. Pada saat itu ayah sudah sadar bahwa ‘surga’
itu tidak ada. Keluarga ayah sangatlah miskin, dan tidak jarang dia merasa
sangat kelaparan. Kemungkinan terbaik jika dia tetap tinggal di rumahnya adalah
hidup menderita dan mati kelaparan. Di Manchuria, ayah dan perantau lainnya
diberikan sedikit peralatan untuk bertani, dan mereka bersama - sama bercocok
tanam di sana. Tanah di sana keras dan berbatu, dan pada waktu musim dingin
semuanya membeku. Terkadang mereka menangkap dan memakan anjing liar. Meski
begitu, dengan bantuan pemerintah selama beberapa tahun pertama, mereka
berhasil bertahan hidup. Lambat laun kehidupan mereka mulai stabil. Namun semua
berubah secara drastis ketika Uni Soviet menginvasi Manchuria dalam skala yang
besar pada bulan Agustus 1945. Ayah telah menduga hal ini akan terjadi, karena sebelumnya
seorang pejabat pemerintah yang telah menjadi temannya telah memberitahunya.
Begitu dia mendengar berita bahwa Soviet telah menerobos perbatasan, dia segera
menunggangi kudanya sampai ke stasiun kereta dan menaiki kereta terakhir ke
Daien. Dia satu - satunya diantara teman - teman petaninya yang berhasil
kembali ke Jepang sebelum akhir tahun.
Setelah perang berakhir, ayah merantau ke
Tokyo dan mencoba bekerja sebagai tukang kayu dan penyelundup di pasar gelap.
Namun penghasilannya amat sangat minim dan bahkan tidak cukup untuk makan
sehari - hari. Saat itu dia sedang bekerja sebagai pengantar di toko minuman alkohol
ketika dia bertemu dengan temannya yang dulu menjadi pejabat di Manchuria. Saat
dia mengetahui bahwa ayah sulit menemukan pekerjaan dengan penghasilan yang
pantas, dia menawarkan diri untuk merekomendasikan ayah pada temannya yang
bekerja di bagian pelanggan NHK. Ayah dengan senang hati menyetujuinya. Dia hampir
tidak mengetahui apa - apa tentang NHK, namun dia bersedia untuk mencoba apapun
yang dapat menjanjikannya penghasilan tetap.
Ayah menjalankan pekerjaannya dengan sangat
antusias. Kelebihannya yang paling menonjol adalah kekerasan hatinya di hadapan
para saingannya. Bagi seseorang yang telah susah mencari makan semenjak kecil,
menagih pembayaran di NHK bukanlah pekerjaan yang menyiksa. Ejekan dan cemooh
dari orang lain tidak berarti apa - apa baginya. Terlebih lagi, dia merasa puas
karena dapat menjadi bagian dari organisasi penting seperti NHK, walaupun hanya
sebagai anggota di tingkat yang paling rendah. Ketekunannya dalam bekerja
sangat luar biasa, sehingga setelah satu tahun bekerja sebagai penagih dengan
bayaran per komisi, dia segera diangkat menjadi pegawai penuh. Ini merupakan
sebuah pencapaian yang belum pernah dicapai oleh siapapun di NHK. Tidak lama
setelah itu dia pindah ke apartemen milik perusahaan dan mengambil asuransi
kesehatan dari perusahaan. Ini adalah runtutan keberuntungan terbesar yang
pernah terjadi dalam hidupnya.
Ayah jarang mau menyanyikan lagu tidur
untukku di masa kecil, dia juga malas membacakan buku untukku saat aku hendak
tidur. Malahan, dia sering menceritakan tentang pengalaman hidupnya.
Dia handal dalam bercerita. Pengalaman masa
kanak - kanak dan mudanya memang tidak sarat akan makna, namun rincian
ceritanya terasa sangat nyata. Ada kisah lucu, mengharukan, namun tak jarang ia
gemar menceritakan pengalaman hidupnya yang keras.
Kehidupan ayah sungguh penuh dengan warna.
Namun ketika ceritanya sampai ke bagian dimana dia menjadi pegawai di NHK, tiba
- tiba ceritanya kehilangan daya tarik. Dia bertemu seorang wanita cantik,
menikahinya, lalu mempunyai anak, aku, Tengo Kawana. Beberapa bulan setelah
melahirkanku, ibu jatuh sakit lalu meninggal dunia. Sejak saat itu ayah
membesarkanku seorang diri sambil bekerja di NHK.
Ayah tidak pernah mau menceritakan tentang
bagaimana dia bertemu dan menikahi ibu, wanita seperti apa dia, apa yang
menyebabkan kematiannya, atau apakah dia menderita sebelum meninggal atau tidak?
Jika aku mencoba menanyakannya, maka ayah akan menghindari pertanyaanku. Sering
kali pertanyaan - pertanyaan ini membuat hatinya sangat kesal. Tidak ada
satupun foto ibu yang disimpannya.
Akhirnya aku memutuskan untuk tidak
mempercayai cerita ayah. Dia menyembunyikan cerita bahwa ibu tidak meninggal
beberapa bulan setelah aku lahir. Di dalam ingatanku saat masih berumur satu
setengah tahun, ibu sedang berdiri di samping tempat tidurku, dan seorang pria
yang aku tahu bukan ayah sedang memeluknya dengan penuh hasrat. Pelan – pelan ibu
melepaskan blus dan ikatan roknya, lalu membiarkan lelaki yang bukan ayahku itu
berbuat sesuka hatinya. Sementara itu aku sedang tidur di samping mereka, dengan
napas yang tidak terlalu keras. Namun di saat yang sama, aku tidak tertidur, aku
justru sedang memperhatikan ibu dan segala gerak - geriknya.
Itulah gambaran terakhir yang aku rekam.
Adegan berdurasi sepuluh detik tersebut telah melekat dengan jelas di dalam
kepala. Satu - satunya informasi konkrit yang aku miliki tentang ibuku. Aku dan ibu terhubung oleh ikatan tipis yang terlihat
seperti tali pusar seorang bayi. Ayah tidak mengetahui bahwa adegan ini ada
dalam ingatanku. Seperti seekor sapi di tengah padang rumput, aku melahap
informasi ini bagai rumput yang selanjutnya aku makan mentah - mentah. Ayah dan
anak, masing - masing terkurung di dalam kegelapan rahasia mereka sendiri yang
gelap dan begitu dalam.
Saat beranjak dewasa, aku sering bertanya - tanya
apakah pria yang bukan ayahku itu adalah ayah kandungku. Ini karena aku sama
sekali tidak mirip dengan ayahku yang sekarang. Aku memiliki tubuh yang tinggi,
kening yang lebar, hidung mancung, dan daun telinga yang bundar. Sedangkan ayah
bertubuh pendek, gemuk, dan sama sekali tidak menarik. Dia mempunyai kening
kecil, hidung pesek, dan daun telinga yang lancip seperti kuda. Aku selalu bisa
terlihat santai dan baik hati, sedangkan ayah cepat cemas dan tidak suka
menolong orang. Jika sedang membandingkan kami berdua, orang - orang selalu
membicarakan tentang perbedaan di antara kami.
Namun tetap saja, bukan perbedaan dalam hal
fisik yang membuat aku sulit untuk menerima ayah, tapi karena perbedaan
psikologis. Ayah sama sekali tidak menunjukkan tanda - tanda kecerdasan intelektual.
Memang benar, dia terlahir dan hidup dalam kemiskinan sehingga dia tidak pernah
mendapatkan pendidikan yang layak. Untuk hal ini, aku merasa sangat bersimpati
terhadap keadaannya. Namun hasrat dasar untuk menimba ilmu — yang aku pikir merupakan
sifat alamiah manusia — tidak terdapat di dalam dirinya. Dia memiliki
pengetahuan praktikal yang membuatnya dapat bertahan hidup, namun aku tidak
melihat adanya kemauan dalam diri ayah untuk memperdalam ilmu, dan melihat
dunia dengan sudut pandang yang lebih luas.
Meskipun begitu, ayah tidak pernah terlihat
menderita karena hidupnya yang sempit dan monoton. Aku tidak pernah melihatnya
membaca buku. Dia tidak tertarik dengan musik atau film, dan dia tidak pernah pergi
berlibur. Satu - satunya hal yang menarik baginya adalah rute berkelilingnya.
Dia akan membuat map area yang akan dilaluinya, menandainya dengan pena warna,
dan memeriksanya kapanpun dia ada kesempatan, layaknya seorang ahli biologi
yang mempelajari kromosom.
Sebaliknya, aku selalu ingin tahu akan semua
hal. Aku mempelajari dan memahami berbagai macam bidang studi dengan baik. Aku telah
diakui sebagai murid jenius dalam bidang matematika semenjak usia dini, dan aku
dapat menyelesaikan soal matematika untuk tingkat SMA saat aku duduk di kelas
tiga SD.
Bagiku, matematika merupakan alat terbaik
untuk melarikan diri dari dunia nyata. Dalam dunia matematika, aku dapat
berjalan di sepanjang koridor kota, dan membuka pintu - pintu angka. Setiap
kali aku menemui soal yang sulit, maka jejak buruk kenyataan dunia akan segera
menghilang dari hadapanku. Selama aku bisa membuat diri ini sibuk menjelajahi
dunia yang tak terbatas dan konsisten tersebut, aku akan merasa bebas.
Jika matematika merupakan bangunan khayalan
yang menakjubkan, maka sastra merupakan hutan luas yang penuh sihir. Matematika
menghampar naik ke atas surga, namun cerita sastra terhampar luas di depanku,
akar - akarnya menembus jauh ke dalam perut bumi. Tidak ada map maupun pintu di
sana. Semakin aku beranjak dewasa, hutan cerita mulai mencengkeram dan menarik
hati ini lebih kuat daripada dunia matematika. Tetap saja, membaca novel
hanyalah salah satu cara bagiku untuk melarikan diri, karena begitu aku menutup
buku, aku segera kembali ke dunia nyata. Namun begitu, aku merasa bahwa kembali
ke dunia nyata dari dunia novel tidak terlalu mengecewakan dibanding kembali
dari dunia matematika. Kenapa bisa begitu? Setelah berpikir keras, aku mencapai
sebuah kesimpulan.
Tidak peduli betapa jelasnya sebuah cerita,
namun tidak pernah ada solusi yang jelas di sana, tidak seperti ketika aku menjelajahi
dunia matematika. Peran sebuah cerita, dalam istilah yang paling luas, adalah
untuk mengubah sebuah masalah ke dalam bentuk yang lain. Sebuah solusi bisa
saja dapat ditarik dari naratifnya, tergantung dengan alamiah dan alur
masalahnya. Aku selalu kembali ke dunia nyata dengan pemahaman tersebut. Rasanya
seperti selembar kertas yang di atasnya tertulis mantra sihir yang tidak dapat dipecahkan.
Mantra tersebut tidak mempunyai maksud secara langsung, namun masih mengandung makna
terselubung.
Satu - satunya solusi yang mampu aku pecahkan
berkat koleksi buku - buku bacaanku adalah; ayahku yang asli pasti berada di
suatu tempat. Seperti seorang anak kecil malang di dalam novel Dickens, aku mungkin,
entah karena situasi aneh macam apa, akhirnya dibesarkan oleh penipu yang
mengaku sebagai ayah. Kemungkinan tersebut terasa seperti mimpi buruk namun
juga harapan yang besar. Setelah membaca Oliver Twist, aku mulai membaca seluruh
karya Dickens yang dapat aku temukan di perpustakaan. Ketika aku berjalan –
jalan untuk mengarungi kisah - kisah dari Charles Dickens, aku mengubah
khayalan kehidupanku dan semakin membenci diri sendiri. Khayalan ini tumbuh
semakin panjang dan rumit. Khayalan yang tumbuh dengan satu bentuk, namun
memiliki variasi yang tak terhingga. Di dalam semua khayalanku, aku meyakinkan
diri sendiri bahwa aku hanya sekedar terjebak di dalam rumah ayah saja, dan
suatu saat nanti kedua orang tuaku yang asli akan menemukan dan menyelamatkanku.
Kemudian aku akan menikmati hari Minggu yang paling indah dan damai.
Ayah selalu bangga dengan nilai - nilai yang berhasil
aku capai di sekolah, dan dia selalu menunjukkan nilai hasil ujianku ke para
tetangga kami. Namun di saat yang sama, ayah juga menunjukkan tanda - tanda
ketidaksenangan terhadap kecerdasan dan bakatku.
Kadang - kadang, ketika aku tengah sibuk
belajar di kamar, ayah akan menggangguku, menyuruhku membersihkan rumah, dan
mengomeli sikapku yang dianggap lancang terhadapnya. Isi omelan ayah selalu
sama, ayah sedang sibuk bekerja keras, menempuh perjalanan yang jauh, dan
menahan amarah ketika orang - orang menyumpahinya, sedangkan aku hanya hidup
dengan bersantai – santai saja. “Ketika ayah seumuranmu, ayah sudah disuruh
bekerja banting tulang. Kakek dan pamanmu selalu memukuli ayah jika ayah
bersantai - santai. Mereka tidak pernah memberikan ayah makan yang cukup.
Mereka memperlakukan ayah seperti binatang. Ayah tidak mau kau merasa spesial hanya
karena nilai - nilaimu tinggi!”
Dia iri denganku, pikirku. Entah dia iri
denganku atau dengan kehidupanku. Tapi, apakah seorang ayah memang akan iri
dengan anaknya sendiri?
Bukannya aku mau menuduh ayah, tapi aku
memang merasakan adanya rasa cemburu dalam perkataan maupun perbuatannya. Ayah tidak membenci kehadiranku, tapi dia lebih
sering membenci sesuatu yang ada di dalam diriku, sesuatu yang tidak dapat
dimaafkannya.
Ketika kereta yang aku tumpangi bergerak
meninggalkan stasiun Tokyo, aku mengeluarkan buku yang aku bawa dari rumah.
Buku tersebut merupakan sebuah antologi cerita pendek dengan tema perjalanan,
dan di dalamnya terdapat cerita berjudul “Kota Kucing”, sebuah karya fantastis
yang ditulis oleh penulis Jerman yang tidak begitu kukenal. Berdasarkan kata
pengantar yang ada di halaman depan buku, cerita tersebut ditulis pada periode
antara dua Perang Dunia.
Dalam kisah tersebut, seorang pemuda
bepergian sendirian tanpa ada tujuan. Dia menumpangi kereta dan turun di
pemberhentian manapun yang menarik perhatiannya.
Dia menyewa sebuah kamar, berkeliling
menikmati pemandangan, dan tinggal selama yang dia inginkan. Ketika dia sudah
merasa puas, dia kembali menaiki kereta lain. Dia sangat menikmati liburannya
dengan cara seperti itu.
Suatu hari, dia melihat sebuah sungai yang
indah dari jendela kereta. Bukit - bukit hijau berbaris di sepanjang alirannya,
dan di kejauhan terlihat sebuah kota kecil yang indah dengan jembatan batu tua.
Kereta berhenti di stasiun di kota tersebut, dan dia turun membawa tasnya.
Tidak ada penumpang lain yang ikut turun, dan begitu dia turun, kereta segera
berangkat kembali.
Tidak ada seorangpun yang bekerja di stasiun.
Dia berpikir hal ini mungkin disebabkan karena tidak ada banyak kegiatan di
stasiun ini. Sang pemuda menyeberangi jembatan batu dan berjalan menuju kota.
Semua toko tutup, dan alun - alun kota terlihat kotor dan telah lama
terbengkalai. Hanya ada satu hotel di sana, dan tidak ada orang yang melayani
di meja penerima tamu. Tempat itu tampak tidak berpenghuni. Mungkin semua orang
sedang tidur siang di suatu tempat. Tapi sekarang baru jam setengah sebelas
pagi, masih lama sebelum waktu tidur siang.
Mungkin sesuatu telah terjadi dan membuat
semua orang meninggalkan kota ini. Walau bagaimanapun, kereta selanjutnya tidak
akan tiba sampai besok pagi, sehingga dia tidak punya pilihan selain bermalam
di sana. Dia berjalan berkeliling kota untuk menghabiskan waktu.
Sebenarnya, ini adalah kota kucing. Ketika
matahari mulai terbenam, banyak kucing liar — dengan jenis dan warna yang
berbeda — menyeberangi jembatan secara bergerombolan. Mereka memiliki ukuran
yang lebih besar daripada kucing biasa, namun mereka tetaplah kucing liar. Sang
pemuda terkejut melihat pemandangan ini. Dia segera berlari menuju menara
lonceng yang terdapat di tengah kota, lalu naik sampai ke puncaknya untuk
bersembunyi. Para kucing mulai berkeliaran di sekitar kota.
Ada yang membuka penutup toko, atau pergi ke
kantor untuk memulai kerja. Tidak lama berselang, muncul segerombolan kucing lain
dalam jumlah yang lebih banyak dan mereka mulai menyeberangi jembatan seperti
yang dilakukan oleh kelompok sebelumnya. Mereka masuk ke toko - toko untuk berbelanja,
pergi ke kantor pemerintahan untuk menyelesaikan urusan administrasi, makan di
restauran hotel, atau meminum bir di kedai dan menyanyikan lagu - lagu kucing
dengan semangat. Karena kucing dapat melihat dalam kegelapan, maka mereka hampir
tidak membutuhkan lampu sama sekali. Namun khusus malam hari itu, rembulan
bersinar terang dan cahayanya menerangi seluruh kota. Sang pemuda dapat melihat
kegiatan di kota dengan jelas dari tempat persembunyiannya di menara lonceng.
Ketika fajar menyingsing, para kucing menyelesaikan pekerjaan mereka, menutup
kembali pintu toko, dan berjalan teratur menyeberangi jembatan.
Saat matahari telah terbit, tidak ada satupun
kucing yang terlihat di sana, dan kota tersebut kembali sunyi. Sang pemuda
turun dari menara lonceng, lalu tidur di salah satu kamar di hotel. Jika dia
merasa lapar, dia memakan roti dan ikan yang tersisa di dapur hotel. Ketika
malam mendekat, dia kembali bersembunyi di menara lonceng dan memperhatikan
kegiatan para kucing sampai fajar.
Beberapa kali kereta berhenti di stasiun
sebelum siang dan sore hari. Tidak ada penumpang yang turun maupun naik ke
kereta. Namun tetap saja, kereta selalu berhenti tepat selama satu menit,
kemudian kembali berangkat. Dia bisa saja naik ke salah satu kereta, dan
meninggalkan kota kucing yang aneh ini. Tapi dia memutuskan untuk tidak
melakukannya. Karena dia masih muda, rasa ingin tahunya sangat menggebu - gebu
dan dia selalu siap melakukan petualangan apapun. Dia masih ingin melihat
peristiwa aneh ini lebih lama. Dia ingin mengetahui sejak kapan dan bagaimana
tempat ini berubah menjadi kota kucing.
Pada malam ketiga, sebuah keributan terjadi
di alun - alun di bawah menara. “ Hey, apa kau mencium bau manusia? ” tanya seekor
kucing.
“Ya,
aku rasa memang ada bau aneh beberapa hari ini,” sahut kucing lain sambil
mengendus dengan hidungnya. “Aku juga,” jawab yang lain. “Aneh. Padahal tidak
ada manusia yang tinggal di sini,” tambah seekor kucing. “Tentu saja tidak.
Tidak mungkin ada manusia yang bisa masuk ke kota ini.” “Lalu kenapa ada bau
manusia di sini?”
Para kucing mulai menyisir seluruh kota
secara berkelompok. Mereka hanya membutuhkan waktu sebentar saja untuk
memastikan bahwa menara lonceng merupakan sumber dari bau manusia. Sang pemuda
mendengar langkah kaki kucing menaiki tangga. Mereka telah menemukanku! Pikirnya.
Sepertinya baunya telah memicu amarah para kucing.
Manusia tidak diperbolehkan memasuki kota
tersebut. Para kucing memiliki cakar dan taring yang besar dan tajam. Pemuda
itu tidak tahu apa yang akan terjadi padanya jika para kucing berhasil
menangkapnya, tapi dia yakin bahwa mereka tidak akan membiarkannya meninggalkan
kota dalam keadaan hidup.
Tiga ekor kucing memanjat sampai ke puncak menara
dan mengendus udara. “ Aneh, ” ujar seekor kucing dengan kumis bergoyang - goyang,
“ Aku mencium bau manusia, tapi tidak ada seorangpun di sini. ” “ Ya, ini aneh,
” sahut kucing lain. “ Tapi memang tidak ada seorangpun di sini. Ayo pergi dan
cari di tempat lain. ”
Para kucing memiringkan kepala mereka,
kebingungan, kemudian kembali turun ke bawah. Sang pemuda mendengar langkah
kaki mereka perlahan menghilang di kegelapan malam. Dia menghembuskan nafas
lega, tapi dia tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Mereka tidak dapat
menemukannya. Tapi entah kenapa, mereka tidak dapat melihatnya. Walau bagaimanapun,
dia memutuskan bahwa dia akan segera pergi ke stasiun begitu pagi menjelang dan
naik kereta meninggalkan kota. Keberuntungannya tidak akan mungkin bertahan
selamanya.
Namun esoknya, tidak ada kereta yang berhenti
di stasiun. Semua kereta hanya melaju melewatinya tanpa menurunkan kecepatan.
Begitu juga dengan kereta sore. Dia dapat
melihat seorang kondektur di gerbong kendali. Tapi kereta - kereta tersebut
tidak menunjukkan tanda - tanda akan berhenti. Seolah tidak ada yang melihat
seorang pemuda menunggu di stasiun — atau bahkan stasiun itu sendiri. Ketika
kereta sore menghilang di ujung rel, tempat itu menjadi lebih sunyi daripada
biasanya. Matahari mulai terbenam. Waktunya bagi para kucing memasuki kota.
Sang pemuda sadar bahwa dia telah tersesat. Tempat tersebut merupakan dunia
lain yang disiapkan secara khusus untuknya. Dan tidak akan ada lagi kereta yang
berhenti di stasiun ini untuk membawanya kembali ke dunia asalnya.
Aku membaca kisah tersebut dua kali. Frasa ‘tempat di mana dia ditakdirkan untuk
tersesat’ menarik perhatiannya. Dia menutup bukunya dan membiarkan matanya
menerawangi pemandangan area industri yang terlihat dari jendela kereta. Tidak
lama kemudian dia tertidur — bukan tidur panjang namun tidur yang sangat dalam.
Dia terbangun bersimbah keringat. Kereta sedang berjalan melewati pesisir
selatan semenanjung Boso.
Dulu, saat aku duduk di kelas lima, aku memutuskan
untuk berhenti berkeliling dengan ayah di hari Minggu. Aku mengatakan pada ayah
bahwa aku ingin menghabiskan waktu luang dengan belajar, membaca buku, dan
bermain bersama anak - anak yang lain. Aku ingin hidup normal seperti orang
lain.
Aku hanya mengatakan apa yang perlu aku katakan
dengan ringkas dan mudah dimengerti.
Di luar dugaanku, ayah naik pitam. Dia tidak
peduli dengan apa yang dilakukan oleh keluarga lain.
“ Kita punya cara hidup sendiri, nak. Dan
jangan kau berani berkata padaku tentang ‘kehidupan normal’, Tuan Sok Tahu. Apa
yang kau tahu tentang ‘kehidupan normal’?” Aku sama sekali tidak mencoba
membantahnya. Aku hanya balik menatapnya dengan hening, sadar bahwa semua perkataanku
tidak akan bisa dimengerti olehnya. Akhirnya, ayah mengatakan bahwa jika aku tetap
tidak mau mematuhinya, maka dia akan berhenti memberiku makan. Dengan kata
lain, aku harus angkat kaki dari rumah.
Aku mematuhi apa yang dikatakan ayah. Aku
telah membulatkan tekad. Daripada takut, aku malah merasa lega, karena akhirnya
aku diberikan izin untuk meninggalkan kurungan ini. Namun tidak mungkin seorang
anak berusia sepuluh tahun dapat hidup sendiri. Ketika kelas telah berakhir, aku
mengungkapkan semua kemalangan yang kualami kepada guruku.
Dia adalah seorang guru wanita berumur tiga
puluhan dan hidup lajang. Dia juga guru yang baik hati dan berpikiran terbuka.
Dia mendengarkan kisahku dengan penuh simpati. Malam harinya dia berkunjung ke
rumah kami untuk berdiskusi dengan ayah.
Aku disuruh meninggalkan ruang tamu, sehingga
aku tidak tahu apa yang mereka katakan, namun akhirnya ayah mengalah. Tidak
peduli seberapa marahnya dia kepadaku, dia tetap tidak boleh membiarkan anak
berumur sepuluh tahun berkeliaran di jalan sendirian. Kewajiban orang tua untuk
menghidupi anaknya diatur oleh hukum.
Setelah ibu guru selesai berbicara dengan
ayah, aku diizinkan untuk menghabiskan hari Minggu sesuka hati. Ini merupakan
hak pertama yang pernah aku peroleh dari ayah. Kini aku telah selangkah lebih
jauh menuju kebebasan dan kemerdekaan.
Di meja resepsionis sanatorium, aku memberikan
nama dan nama ayah.
Perawat yang kebetulan sedang bekerja saat
itu bertanya, “ Apa anda telah memberi tahu bahwa Anda akan berkunjung hari
ini? ” suaranya terdengar serak. Perawat tersebut berperawakan kecil, dia
mengenakan kacamata dengan bingkai besi, dan rambutnya yang pendek mulai tampak
beruban.
“ Tidak, tiba - tiba saja aku ingin berkunjung
pagi ini dan segera berangkat dengan kereta, ” jawabku apa adanya.
Sang perawat menatapku dengan ekspresi
setengah jijik. Kemudian dia berkata,
“ Pengunjung seharusnya memberi tahu kami
terlebih dahulu sebelum menjenguk pasien. Kami mempunyai jadwal sendiri, dan
keinginan pasien juga harus dipertimbangkan. ”
“ Maaf, aku tidak tahu. ”
“ Kapan terakhir kali Anda berkunjung ? ”
“ Dua tahun lalu. ”
“ Dua tahun lalu, ” ulangnya sambil memeriksa
daftar pengunjung dengan pena di tangannya. “Maksudnya Anda tidak pernah
berkunjung sekalipun selama dua tahun ini? ”
“ Benar. ” jawabku.
“ Menurut catatan kami, Anda adalah satu - satunya
kerabat Tuan Kawana. ”
“ Ya, benar. ”
Dia melihatku sepintas, tapi tidak mengatakan
apa - apa. Dia tidak sedang menghakimiku, dia hanya mengkonfirmasi fakta.
Lagipula, kasus seperti keluargaku ini bukanlah yang pertama kali.
“ Saat ini ayah Anda sedang mengikuti
kelompok rehabilitasi, dan akan selesai dalam setengah jam. Kemudian barulah anda
dapat menemuinya. ”
“ Bagaimana keadaannya? ”
“ Secara fisik, dia sehat. Namun kondisinya
yang lain belum stabil, ” jawab sang perawat sambil mengetuk - ngetuk dahinya
dengan jari telunjuk.
Aku mengucapkan terima kasih kemudian
beranjak pergi dan menunggu di ruang santai yang berada di dekat pintu masuk sambil
melanjutkan membaca buku. Angin semilir masuk melalui jendela, membawa terbang aroma
laut dan pinus dari luar. Jangkrik musim panas bertengger di pepohonan,
mengeluarkan suara sekencang - kencangnya. Musim panas kini sampai pada
puncaknya, tapi para jangkrik seolah tahu bahwa musim panas tidak akan bertahan
selamanya.
Setelah menunggu cukup lama, seorang perawat
berkacamata datang memberitahu bahwa aku dapat menemui ayah sekarang. “ Akan
saya tunjukkan kamar ayah Anda, ” ucapnya. Aku berdiri dari sofa, dan ketika aku
melewati cermin besar yang digantung di dinding, aku baru sadar betapa semrawut
pakaian yang aku kenakan, selembar kaos Tur Jeff Beck yang dibalut kemeja
dengan kancing terbuka dan tidak sesuai, celana Chinos dengan noda saos pizza
di dekat lutut, dan topi baseball — sungguh pakaian yang tidak mungkin
dikenakan oleh putra berumur tiga puluh tahun yang mengunjungi ayahnya untuk
pertama kalinya dalam dua tahun belakangan. Ditambah lagi aku tidak membawa
apapun yang dapat dijadikan buah tangan untuk ayah. Pantas saja perawat tadi
memandangku dengan jijik.
Ayahku berada di dalam kamarnya, dia sedang
duduk di kursi dekat jendela yang terbuka dengan tangan di lututnya. Di atas
meja di dekatnya terdapat pot bunga yang diisi dengan bunga - bunga indah
berwarna kuning. Lantainya dibuat khusus dengan bahan lunak untuk mencegah agar
pasien tidak terluka jika terjatuh.
Pada awalnya aku tidak menyadari bahwa lelaki
yang duduk di dekat jendela adalah ayah. Dia telah mengecil, atau lebih
tepatnya ‘mengerut’. Rambutnya kini lebih pendek dan seputih halaman rumah yang
ditutupi salju. Pipinya mencekung, dan mungkin karena itulah bola matanya
terlihat lebih besar dibanding dahulu. Tiga garis kerutan terlihat jelas di
keningnya. Alis matanya sangat panjang dan tebal, dan daun telinganya lebih
lancip daripada sebelumnya sampai terlihat seperti sayap kelelawar. Dari
kejauhan dia tidak terlihat seperti manusia, malah dia lebih terlihat seperti
makhluk lain, tikus atau tupai — pokoknya makhluk yang terlihat licik. Walau
bagaimanapun dia adalah ayahku, atau paling tidak dia adalah versi hancur dari
ayahku. Seingatku, ayah selalu terlihat kuat, dan bekerja keras. Introspeksi
dan imaginasi merupakan hal yang asing baginya, tapi dia mempunyai aturan
moralnya sendiri dan tujuan hidup yang jelas. Lelaki yang kini ada di hadapanku
tidak lebih dari sepotong cangkang kepiting yang sudah kosong.
“ Tuan Kawana! ” teriak sang perawat. “ Tuan
Kawana! Lihat siapa yang datang! Dia putramu yang datang dari Tokyo! ”
Ayah berbalik memandangku. Matanya yang tidak
menunjukkan ekspresi sama sekali membuat aku teringat dengan dua sarang burung
kosong yang menggantung di cabang pohon.
“ Hallo, ” sahutku.
Ayah tidak menjawab. Dia malah melihat lurus
kepadaku seolah dia sedang membaca majalah yang ditulis dalam bahasa asing.
“ Makan malam akan dihidangkan jam setengah
tujuh,” kata sang perawat kepadaku. “ Silahkan mengobrol dengan pasien sampai
jam segitu. ”
Aku sedikit ragu - ragu ketika perawat telah
meninggalkan ruangan. Pelan – pelan aku memberanikan diri untuk mendekati ayah,
aku duduk di kursi di depannya. Mata ayah mengikuti semua gerakanku.
“ Bagaimana keadaan ayah? ” tanyaku.
“ Saya baik-baik saja, ” jawabnya dengan nada
resmi.
Aku tidak tahu harus berkata apa lagi. Aku
memainkan kancing ketiga di kemejaku sambil mengalihkan perhatian pada pohon –
pohon pinus di luar, lalu aku kembali memandangnya.
“ Kau datang dari Tokyo, ya? ” tanya ayah.
“ Ya, dari Tokyo. ”
“ Dengan kereta ekspress? ”
“ Ya, ” jawabku. “ Hanya sampai Tateyama.
Setelah itu aku pindah ke kereta lokal sampai ke Chikura. ”
“ Kau datang untuk berenang di sini? ”
“ Aku
Tengo, Tengo Kawana. Putramu! ”
Kerutan di wajah ayah mulai menebal. “ Banyak
orang berbohong karena mereka tidak mau membayar biaya langganan di NHK. ”
“ Ayah! ” teriakku padanya. Sudah sangat lama
aku tidak menyebut kata itu.
“ Aku Tengo. Putramu. ”
“ Aku tidak punya anak, ” sahut ayah dengan
gamblang.
“ Ayah tidak punya anak, ” ulangku.
Ayah hanya membalas dengan anggukan kepala
kecil.
“ Jadi, siapa aku? ” tanyaku.
“ Kau bukan siapa - siapa, ” jawab ayah
dengan gelengan kepala.
Aku menghembuskan napas dalam - dalam. Aku
tidak tahu harus berkata apa. Ayah juga tidak melanjutkan perkataannya. Kami
duduk dengan diam, mencari - cari kata di dalam pikiran yang kusut. Hanya para
jangkrik yang dapat bersuara dan bernyanyi dengan kencang.
Mungkin saja dia ingin mengatakan yang
sebenarnya, pikirku. Ingatannya mungkin memang telah hancur, namun perkataannya
mungkin saja benar.
“ Apa maksud ayah? ” tanyaku.
“ Kau bukan siapa - siapa, ” ulangnya tanpa
menunjukkan perasaan apapun.
“ Kau tidak pernah menjadi siapapun, dan tidak akan pernah menjadi siapapun. ”
Aku ingin segera bangkit dari kursi, pergi ke
stasiun, dan segera kembali ke Tokyo sekarang juga. Tapi aku tidak dapat
berdiri. Aku seperti pemuda yang berjalan seorang diri ke kota kucing. Penasaran
dan ingin sebuah penjelasan. Tentu saja aku tahu ada bahaya di depanku. Tapi
jika aku melepaskan kesempatan ini, maka aku tidak akan pernah tahu rahasia
tentang diriku. Aku mulai menjalin kata - kata di kepala. Ini adalah pertanyaan
yang dari dulu
hendak aku tanyakan padanya, “ Maksud ayah, kau bukanlah ayahku?
Dan tidak ada ikatan darah diantara kita, benar begitu? ”
“ Mencuri gelombang radio adalah sebuah
kejahatan dan dapat dijerat dengan hukum,” jawab ayah dengan mata tertuju lurus
pada mataku. “ Karena tidak ada bedanya dengan mencuri uang atau barang
berharga lainnya. ”
“ Mungkin iya, ” aku memutuskan untuk
mengikuti pembicaraannya.
“ Gelombang radio tidak jatuh dari langit
dengan cuma - cuma seperti hujan atau salju, ” lanjutnya.
Aku menatap tangan ayah. Tangannya yang kecil
dan sedikit gelap karena banyak bekerja di luar, berbaris dengan rapi di atas
lututnya.
“ Ibu tidak meninggal karena sakit saat aku
masih kecil, iya kan ? ” tanyaku dengan perlahan.
Ayah tidak menjawab. Ekspresi wajahnya juga
tidak berubah, dan tangannya tidak bergerak sama sekali. Matanya masih berfokus
padaku seolah sedang melihat sesuatu yang aneh.
“ Ibu meninggalkanku. Dia pergi dan
meninggalkan kita berdua. Dia pergi bersama pria lain. Benar kan? ”
Ayah mengangguk. “ Mencuri gelombang radio
adalah perbuatan yang tercela. Kau tidak boleh melakukan hal sesuka hatimu. ”
Dia memahami pertanyaanku dengan jelas. Hanya
saja dia tidak mau menjawabnya secara langsung, pikirku.
“ Ayah, ” ujarku. “ Ayah mungkin bukanlah
orang tua kandungku, tapi aku akan tetap memanggilmu ayah sementara ini karena aku
tidak tahu lagi dengan apa aku harus memanggilmu selain dengan kata ayah. Jujur
saja, aku tidak pernah menyukai ayah. Mungkin sepanjang hidupku aku telah
membenci ayah. Ayah pasti telah mengetahui ini. Dan walaupun mungkin tidak ada
ikatan darah di antara kita, aku tidak lagi punya alasan untuk membenci ayah.
Mungkin aku tidak akan pernah menyukai ayah, tapi setidaknya aku ingin dapat lebih
memahami ayah sekarang. Aku selalu ingin tahu kebenaran tentang siapa aku dan
siapa orang tuaku yang sebenarnya. Hanya itu saja. Jika ayah ingin
mengatakannya sekarang, aku akan berhenti membenci ayah. Malah, aku akan
senang, karena aku tidak akan lagi mempunyai alasan untuk membenci ayah. ”
Dia masih menatapku dengan tatapan kosong,
tapi entah bagaimana, aku merasa melihat ada cahaya kecil yang berkilau jauh di
dalam matanya yang tampak seperti sarang burung kosong.
“ Aku memang bukan siapa - siapa, ” lanjutku.
“ Ayah benar tentang itu. Aku bagaikan seseorang yang dibuang ke lautan pada
malam hari, dan mengambang sendirian. Aku mencoba memanggil seseorang, namun
tidak ada siapapun yang menyahut. Aku tidak punya hubungan dengan apapun. Satu -
satunya orang yang dapat kuanggap sebagai keluarga, adalah ayah. Tapi ayah
lebih memilih untuk menyembunyikan sebuah rahasia dariku. Sementara itu ingatan
ayah semakin memburuk, dan sedikit demi sedikit ingatan tentang diriku juga
ikut terhapus. Aku bukanlah siapa - siapa, dan tidak akan pernah menjadi
siapapun. Ayah juga benar tentang itu.”
“ Pengetahuan adalah harta yang paling
berharga, ” jawab ayah dengan nada datar, namun suaranya terdengar lebih pelan
daripada sebelumnya, seolah seseorang telah menurunkan volume suaranya. “ Pengetahuan
adalah harta yang harus diraih sebanyak - banyaknya, dan digunakan dengan sangat
hati - hati. Dan karena alasan itu pulalah NHK membutuhkan biaya langganan dari
anda dan — “
Aku dengan cepat menginterupsinya. “ Orang
seperti apa ibu? Kemana dia pergi? Apa yang terjadi dengannya? ”
Ayah segera bungkam, dan bibirnya tertutup
rapat.
Aku lanjut bertanya dengan nada yang lebih halus,
“ Ada sebuah ingatan yang selalu terlintas di benakku. Kurasa itu adalah
ingatan tentang apa yang terjadi sebenarnya. Saat itu aku masih berumur satu
setengah tahun, dan ibu berdiri di sampingku. Dia dan seorang pemuda sedang
berpelukan. Lelaki tersebut bukan ayah. Aku tidak tahu siapa dia, tapi jelas
dia bukan ayah. ”
Ayah tetap bungkam, namun matanya jelas
sedang melihat sesuatu — sesuatu yang tidak ada di ruangan ini.
“ Bisakah kau membacakan sesuatu untuk ayah?,
” tanyanya dengan nada resmi setelah diam agak lama. “ Mata ayah telah sangat
memburuk sampai - sampai ayah tidak lagi dapat membaca. Ada buku di dalam rak
di sana. Pilih yang mana saja. ”
Aku berdiri dan melihat - lihat buku yang ada
di sana. Kebanyakan buku - buku di sana adalah novel, dan buku sejarah yang
berlatar belakang zaman ketika masih ada para samurai. Aku tidak ingin
membacakan buku dengan bahasa kuno kepada ayah saat ini.
“ Jika ayah mau, aku akan membacakan cerita
tentang kota kucing, ” ujarku. “ Aku
membawa bukunya. ”
“ Cerita
tentang kota kucing, ” ulang ayah. “ Tolong bacakan itu untuk ayah, jika kau
tidak keberatan. ”
Aku melihat jam tangan. “ Tidak sama sekali.
Masih ada banyak waktu sebelum keretaku berangkat. Ini adalah kisah yang aneh.
Aku tidak tahu apa ayah akan menyukainya atau tidak. ”
Aku mengeluarkan bukuku dan mulai membaca
dengan pelan. Suaraku terdengar jelas. Aku memandang wajah ayah di sela-sela
jeda membaca, namun wajahnya tidak menunjukkan reaksi apapun. Aku tidak tahu
apakah dia menyukai cerita ini atau tidak.
“ Apakah ada TV di kota kucing ? ” tanya ayah
ketika aku selesai membaca.
“ Cerita ini ditulis di Jerman sekitar tahun
1930-an. Mereka belum menciptakan TV saat itu. Tapi mereka punya radio. ”
“ Apakah para kucing yang membangun kota
tersebut? Atau apakah manusia yang membangunnya sebelum para kucing datang dan
tinggal di sana? ” tanya ayah, seolah sedang bertanya pada dirinya sendiri.
“ Entahlah, ” jawabku. “ Tapi sepertinya
dibangun oleh manusia. Mungkin entah karena apa manusia meninggalkan kota
tersebut — mungkin mereka semua mati karena wabah atau sejenisnya — kemudian
para kucing datang dan tinggal di sana. ”
Ayah mengangguk – anggukkan kepala. “ Ketika
kehampaan tercipta, harus ada sesuatu yang mengisinya. Itulah yang dilakukan
semua orang. ”
“ Benarkah? ”
“Ya. ”
“ Kalau begitu, kehampaan apa yang ayah isi? ”
Ayah terlihat kesal. Kemudian dia berkata
dengan nada sarkasme, “Oh, kau tidak tahu?”
“ Aku tidak tahu, ” jawabku.
Ayah menghembuskan napas dengan keras. Satu
alisnya sedikit terangkat. “ Jika kau tidak dapat memahaminya tanpa penjelasan,
maka kau tetap tidak akan dapat memahaminya walau dengan penjelasan. ”
Aku menyipitkan mata, mencoba membaca
ekspresi ayah. Ayah tidak pernah sama sekali berkata dengan nada dan bahasa
seaneh ini. Dia selalu berbicara secara konkrit dan praktis.
“ Oh, aku mengerti. Ayah mengisi sebuah kehampaan,
” ujarku. “ Baiklah, kalau begitu, siapa yang akan mengisi kehampaan yang ayah
tinggalkan? ”
“ Kau, ” kata ayah. Jari telunjuknya menunjuk
lurus ke arahku. “ Bukankah itu sudah jelas? Aku telah mengisi kehampaan yang
ditinggalkan seseorang, jadi kau akan mengisi kehampaan yang kubuat. ”
“ Seperti ketika para kucing mengisi kota
setelah ditinggalkan manusia. ”
“ Benar, ” sahut ayah. Kemudian dia menatap
jari telunjuknya sendiri yang menunjuk padaku dengan tatapan kosong seolah
melihat benda misterius.
Aku menghela napas. “ Jadi, siapa ayahku yang
sebenarnya? ”
“ Hanya ruang hampa. Ibumu menyatukan
tubuhnya dengan sebuah kehampaan dan melahirkan dirimu. Dan aku mengisi
kehampaan itu. ”
Setelah berkata sebanyak itu, ayah menutup
mata dan mulutnya rapat-rapat.
“ Dan ayah membesarkanku setelah ibu pergi.
Apa itu maksud ayah? ”
Setelah berdeham – deham yang tampak disengaja,
ayah lanjut berkata, seolah mencoba menjelaskan sesuatu yang sederhana pada
anak yang berpikir lambat, “ Karena itulah kukatakan tadi, jika kau tidak dapat
memahaminya tanpa penjelasan, maka kau tetap tidak akan dapat memahaminya walau
dengan penjelasan.”
Aku menaruh tangan di atas lutut dan menatap
lurus wajahnya. Dia bukan cangkang yang kosong, pikirku. Dia manusia utuh
dengan daging dan darah, dan jiwa yang keras. Dia terpaksa harus hidup dengan
kehampaan yang perlahan membesar di dalam dirinya. Pada akhirnya nanti,
kehampaan tersebut akan menghisap semua ingatan yang tersisa dalam dirinya.
Hanya soal waktu saja sampai hal itu terjadi.
Aku berpamitan dengan ayah tepat sebelum jam
enam sore. Sambil menunggu taxi, kami duduk berseberangan di dekat jendela
tanpa berkata apa - apa. Masih banyak yang ingin aku tanyakan, tapi aku sadar
bahwa aku tidak akan mendapatkan jawaban apapun karena aku melihat bibir ayah
telah tertutup rapat. Seperti yang telah dikatakannya, tadi, “ Jika kau tidak
dapat memahaminya tanpa penjelasan, maka kau tetap tidak akan dapat memahaminya
walau dengan penjelasan. ”
Ketika hampir tiba waktunya untuk berangkat, aku
berkata, “ Banyak yang ayah katakan padaku hari ini. Semuanya dikatakan secara
tidak langsung dan kadang sulit untuk dimengerti, tapi mungkin ayah mengatakan
dengan sejujur - jujurnya. Terima kasih. ”
Ayah masih saja bungkam, matanya terpaku
melihat pemandangan luas, seperti seorang prajurit yang sedang berjaga dan
tidak ingin melewatkan sinyal api yang dikirimkan oleh suku liar di kejauhan. Aku
mencoba melihat ke arah yang sedang dilihat ayah, tapi di sana hanya ada
deretan pohon pinus yang dibayangi oleh cahaya matahari yang mulai terbenam.
“ Maaf
karena telah berkata seperti itu, tapi memang tidak ada yang dapat aku lakukan
untuk ayah selain berharap proses penghampaan di dalam diri ayah tidak
menyakitkan. Aku yakin ayah telah banyak menderita. Ayah juga pasti sangat
mencintai ibu. Tapi dia sudah pergi, dan kepergiannya pasti menyakitkan bagi
ayah —seperti hidup di kota kosong. Namun ayah tetap membesarkanku di kota
kosong itu. ”
Sekumpulan burung gagak terbang melintasi cakrawala,
dan menggaok – gaok di kejauhan. Aku pun berdiri, berjalan mendekati ayah, dan
menaruh kedua tanganku di pundak ayah. “ Selamat tinggal, ayah. Nanti aku akan
datang lagi. ”
Dengan tangan berada di gagang pintu, aku berbalik
untuk terakhir kalinya dan terkejut mendapati ada air mata di kedua pipi ayah.
Air matanya bersinar dengan warna keperakan. Air mata itu perlahan membasahi
pipinya dan jatuh ke pangkuannya. Aku membuka pintu dan meninggalkan kamar
ayah. Aku naik taksi menuju stasiun dan menumpangi kereta untuk kembali ke
dunia asalku.
[selesai]
Cek kumpulan cerkak bahasa jawa disini juga ya gan
ReplyDeletehttp://kumpulan-cerkak.blogspot.co.id
ReplyDeleteNovel Bagus