PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

Covenant


(Janji)

Pengarang: Crystal Arbogast
Penerjemah: Harum Wibowo


Ribuan helm bergerak dengan tiba-tiba ke belakang saat kapal tandu1 tersebut tercebur ke dalam gelapnya air. Percikan air laut berkilauan di permukaan manapun yang disentuhnya, menangkap cahaya tembakan artileri. Prajurit Eddie Hagen memandang sekilas pada wajah-wajah orang di sekitarnya. Beberapanya sedang berdoa, sementara yang lainnya memegang foto atau kenang-kenangan dari kekasih dan keluarga sebelum memasukkannya kembali dengan hati-hati ke dalam jaket mereka. Sisanya menatap dengan tatapan kosong entah ke arah mana, wajah mereka tidak memiliki ekspresi, tanpa mengkhianati perasaan di dalam hati.

“Ini dia, kawan!”


Eddie berhasil tersenyum untuk membalas tepukan lembut di pundaknya dan berputar ke belakang untuk mengakui pertemanannya.

“Akhirnya kita akan menendang beberapa bokong orang Nazi!” Vince DeLanzio menyeringai ke arah Eddie. “Ingatlah, nak, peraturannya sama seperti ketika masih di pemukiman dulu. Tetap bersamaku. Kita berdua akan baik-baik saja. Di samping itu, saudarimu tak akan mau menikahiku jika aku membiarkan sesuatu terjadi padamu.”

“Kau tahu Vinnie, itu sangat lucu. Malah dia yang memintaku untuk menjagamu.”

Tiba-tiba, kedua pria itu terperanjat oleh sebuah ledakan yang menghantarkan lebih banyak percikan lagi ke dalam kapal. Raungan suara mesin pesawat memenuhi langit. Ketika pesawat-pesawat itu melintas di atas kepala mereka, garis-garis ‘invasi’ hitam dan putih yang terlukis di bawah badan pesawatnya dapat terlihat. Tanda tersebut membuat pasukan aliansi mengetahui bahwa mereka adalah teman, untuk perlindungan melawan senjata anti-pesawat-tempur mereka. Para tentara memperhatikannya saat mereka melintas melewati tembakan anti-pesawat-tempur dan melewati karang-karang terjal.

“Keparat! Apa kau lihat garis pantai itu, Vince? Bagaimana mungkin kita bisa menaiki karang-karang terjal itu? Kita tidak akan bisa apa-apa2, hanya tinggal menunggu para Fritz3 itu meledakkan kita semua sampai berkeping-keping!”

“Mereka memang sedang meledaki kita sampai berkeping-keping sekarang, kawan! Secara pribadi, aku akan mengambil kesempatanku di pantai itu daripada berada di jebakan maut ini. Lihat ke arah sana! Paling tidak sudah dua kapal seperti ini yang tenggelam satu mil di depan!”

Eddie mencoba menyesuaikan perlengkapannya dan merperbaharui genggaman pada riffle-nya. Di tengah-tengah kekacauan dan tembakan artileri yang semakin bertubi-tubi tanpa henti, dia memikirkan kunjungan terakhirnya ke pantai yang lain, Coney Island. Semasa SMA-nya, saat cuaca semakin hangat, dia akan pergi membolos dengan Vince dan berbocengan ke pantai. Vince selalu menjadi yang lebih berani. Menjadi yatim piatu pada umur dini membuat dia dibesarkan oleh seorang bibi. Tanpa bimbingan seorang ayah, dia sudah tumbuh menjadi seseorang yang pandai berurusan dengan masalah kota dan sok hebat.

Di sisi lain, Eddie lebih beruntung karena dia mempunya keluarga yang lengkap dan penyayang. Ayahnya adalah orang yang baik dan penyayang. Dan temperamen ibunya yang khas seperti orang Irlandia telah membuatnya seperti sekarang4. Saudarinya, Tess, mempunyai semangat dan kecantikan yang sama seperti ibu mereka. Vince telah tertarik pada Tess selama bertahun-tahun. Kenyataannya, Eddie yakin bahwa temannya sedang jatuh cinta.

Vince dan Eddie sudah mendaftarkan diri mereka untuk menjadi anggota Angkatan Laut di saat bersamaan. Setelah menjalani latihan dasar, mereka berdua telah menjadi besar kepala layaknya burung merak di hadapan keluarga dan teman-temannya. Sebagai pejuang resmi5, mereka sekarang akan bergabung dalam pertempuran melawan orang-orang Jerman6. Ketika tiba saatnya untuk mengucapkan salam perpisahan, Eddie menghindari tatapan pada kedua mata orang tuanya. Namun, dia tidak bisa menghindari tatapan mata Tess. Dengan mata berlinang, Tess meyuruhnya berjanji untuk menjaga dirinya sendiri, juga Vince. Lalu dia berbalik menghadap temannya, menempatkan tangan di pundaknya, dan menciumnya untuk yang pertama kali. Vince melihatnya berlari naik ke atas menuju kamarnya, meninggalkannya yang sudah tak sanggup lagi untuk berdiri7. Sambil mencoba untuk tetap tegar, dia menyampaikan salam perpisahannya dan berjalan ke luar pintu.

Tiba-tiba, teriakan perintah dari pemimpin pasukan menghentikan lamunan Eddie. Dinding belakang kapal menabrak air dan segerombolan orang-orang berjalan ke depan. Menjatuhkan diri ke permukaan es, para Angkatan Laut tersebut terengah-engah bersamaan dengan dinginnya es yang menusuk menembus pakaian mereka. Kedalaman yang hijau dan gelap membuat kebanyakan dari mereka menggelepar, terjatuh keberatan dengan perlengkapan berlebihan. Ini, ditambah dengan bom mortir yang mengarah pada mereka dari puncak bukit, membuat mereka percaya bahwa mereka telah melihat hari terakhir mereka.

Saat Eddie berupaya maju ke bibir pantai, sebuah peluru menembus pria di depannya, membuatnya jatuh ke belakang. Dia sempat melihat ke dalam matanya yang sudah tidak memiliki sinar kehidupan sebelum laut menutup wajah tentara tersebut dan menjadi bersemangat.

Sedetik kemudian, Eddie merasakan rasa perih yang begitu menusuk di sebelahnya. Sebelum kehilangan keseimbangan, dia merasakan sebuah lengan kokoh menariknya ke atas.

“Apa kau baik-baik saja kawan?”

Eddie menggelengkan kepalanya saat Vince berusaha menenangkan dirinya. Perairan menjadi lebih dangkal, namun gulungan kawat-kawat berduri menjadi masalah baru. Yang lainnya menangis kesakitan ketika mereka terjatuh atau terpeleset ke dalam barikade. Akhirnya, keduanya melihat sebuah peluang dan berlari tak beraturan ke arah pesisir, dengan cepat diikuti oleh yang lainnya.

“Di mana kau tertembak, Ed?” kekhawatiran terlihat pada wajah Vince saat matanya mencari sumber dari noda merah yang secara perlahan-lahan mengalir ke bawah.

“Tepat di bawah pundak. Ya ampun, mulanya terasa sangat sakit sekali. Sekarang rasanya kebas.” Eddie terengah-engah dan menjatuhkan kepalanya di atas pasir basah.

“Berikan peralatanmu.”

Eddie mengangkat kepalanya saat dia merasakan temannya membuka perlengkapannya, dan mengendurkan tali pengikat dari pundaknya.

“Apa yang kau lakukan Vince?”

“Aku mau kau mulai merangkak ke arah bukit itu. Apa kau melihat celah di sana? Pergilah ke sana. Kau tidak akan bisa mencapainya dengan keadaanmu yang sekarang dan semua perlengkapan ini. Aku akan tetap di belakangmu. Sekarang pergilah!”

Tembakan semakin manjadi-jadi, tapi Eddie mengucapkan doa dengan pelan dan merangkak menuju dinding karang. Mayat-mayat dan orang-orang sekarat bergelimpangan di sekitar. Ironisnya, mereka dapat digunakan sebagai pelindung. Saat dia mencapai tempat tujuannya, sebuah lengan menggapai dan menangkap kerah jaketnya, menariknya ke dalam tempat yang aman. Di dalam karang perlindungan tersebut, Eddie dapat melihat yang lainnya di dalam celah.

“Apa kau melihat temanku?”

“Aku tidak banyak melihat apapun yang bisa bergerak sekarang, kawan.”

Eddie mengamati ke dalam sudut gelap dan menyadari seragam tentara Inggris. Suara gemelutuk memenuhi telinganya, dan dia menyadari bahwa itu adalah suara giginya. Sadar bahwa dia tidak dapat menahan ketakutannya, dia ingin, paling tidak, dapat menahan rasa mengigilnya. Memandang sekilas pria di sebelahnya, dia melihat bahwa dia juga sedang gemetaran.

Kabut dari laut perlahan mulai naik, hanya untuk bercampur dengan asap dari bom mortir. Eddie duduk bersandar pada dinding karang, merasa lemah dan tak berdaya. Lebih banyak lagi orang yang datang ke pesisir, dan berusaha untuk bertahan hidup. Mereka membuat kemajuan. Dia bertanya-tanya berapa lama lagi pertempuran ini akan berakhir, dan tentang keberadaan Vince.

Saat menoleh ke ujung pantai, dia melihat punggung dari sosok yang dikenalnya. Dengan tentara-tentara berlarian ke sana kemari, Eddie sadar dia tidak bisa melepaskan tatapan matanya pada sosok satu-satunya itu. Perlahan, orang tersebut berbalik, dan menghadap tatapan heran Eddie. Sisi kiri wajahnya telah hancur terkena ledakan peluru meriam. Lengannya bergelantungan di sampingnya. Bahkan dengan setengah badan yang tercabik-cabik, Eddie tahu bahwa itu adalah Vince. Kedua pria itu saling bertatapan. Eddie tidak dapat berucap atau bergerak sama sekali. Dia hanya bisa menatap wajah temannya. Akhirnya, Vince berbalik, dan menghilang ke dalam asap dan kekacauan pertempuran.

“Aku menyesal tentang kawanmu, Yank8. Dia mungkin berbalik menyusuri bibir pantai, ke tempat di mana kita seharusnya berada sekarang.”

Suara tersebut menyadarkan diri Eddie, dan menariknya ke belakang. Tetap saja dia tidak dapat berkata-kata. Tatapan pada mata Vince sebelum dia menghilang berkelebatan di pikiran Eddie. Itu mungkin tatapan puas karena mengetahui temannya selamat, dan bahwa dia telah menjaga janjinya kepada orang yang dicintainya. Itu mungkin juga sebuah salam perpisahan terakhir.

Beberapa saat kemudian, saat petugas medis mengobati lukanya, Eddie mendapati dirinya sedang berbaring di antara ratusan tentara yang sekarat dan mati. Semarak kemenangan bergema di mana-mana. Bercak-bercak darah menodai pasir, dan ledakan-ledakan berkelanjutan dari pertempuran terdengar di kejauhan. Bagaimanapun, untuk sekarang, rintihan dan teriakan para tentara memenuhi udara.

“Ini, kawan, merokoklah.”

Eddie melihat wajah petugas medis tersebut dan menggumamkan ‘terima kasih’ saat dia menerima tawarannya. Masih gemetaran, dia mengangkat sebatang rokok ke bibirnya dan menghirupnya pelan-pelan. Sambil bersandar, dia hanya bisa memikirkan kenyataan bahwa dia sedang berada di pantai. Udaranya dingin, sama seperti Coney Island saat musim semi. Coney Island.

Dia menoleh saat beberapa tentara Inggris berjalan di antara barisan jasad-jasad yang berserakan. Seseorang berhenti untuk menggeser beban yang dibawa di pundaknya, sebelum melanjutkan perjalanan. Eddie dapat melihat bahwa itu adalah jasad seorang Prajurit, kedua lengannya bergelantungan dan tak bernyawa.

Petugas medis tersebut menghentikannya, dan mengangkat kepala anak itu.

“Kau membuang-buang waktu, Bung. Orang ini sudah mati.”

Sambil tetap lanjut berjalan, tentara tersebut menjawab dari balik pundaknya. “Aku berjanji pada ibunya bahwa aku akan menjaganya.”

Sambil menggelengkan kepalanya, petugas medis tersebut mengalihkan perhatiannya9.

“Berjanji pada ibunya.” Kata-kata tersebut berputar-putar di kepala Eddie. Janji. Seluruh pantai dipenuhi oleh janji yang tak dapat ditepati, namun Vince telah berhasil menjaga janjinya. Rokoknya jatuh ke pasir melewati jarinya. Matahari sekarang bersinar melewati kabut, menirukan Komidi Putar di kejauhan sana. Air memukul-mukul di bibir pantai, dan pekikan burung-burung camar, di suatu tempat, beralih menjadi gelak tawa anak-anak. Eddie menutup matanya lalu menangis.

[selesai]



Catatan Penerjemah:
1.      “Landing Craft”, kapal kecil yang digunakan untuk membawa para tentara ke bibir pantai.
2.     “We’ll be sitting duck”
3.     “Fritz”, sebutan oleh orang Inggris untuk orang Jerman khususnya para tentara pada perang dunia pertama.
4.     “… which had kept him on his toes”
5.     As full-fledged fighting men …”
6.     “Hun”, sebutan untuk menghina orang Jerman.
7.     “… leaving him weak in the knees”
8.     kependekan dari ‘Yankee’; sebutan untuk orang Amerika khususnya orang New England yang tinggal di bagian utara Amerika Serikat.
9.     “… the medic turned his attention to the next link in an endless chain.”

No comments:

Post a Comment