(Janji)
Pengarang:
Crystal Arbogast
Penerjemah:
Harum Wibowo
Ribuan helm bergerak dengan tiba-tiba ke belakang saat kapal
tandu1 tersebut tercebur ke dalam gelapnya air. Percikan air laut
berkilauan di permukaan manapun yang disentuhnya, menangkap cahaya tembakan
artileri. Prajurit Eddie Hagen memandang sekilas pada wajah-wajah orang di
sekitarnya. Beberapanya sedang berdoa, sementara yang lainnya memegang foto
atau kenang-kenangan dari kekasih dan keluarga sebelum memasukkannya kembali dengan
hati-hati ke dalam jaket mereka. Sisanya menatap dengan tatapan kosong entah ke
arah mana, wajah mereka tidak memiliki ekspresi, tanpa mengkhianati perasaan di
dalam hati.
“Ini dia, kawan!”
Eddie berhasil tersenyum untuk membalas tepukan lembut di
pundaknya dan berputar ke belakang untuk mengakui pertemanannya.
“Akhirnya kita akan menendang beberapa bokong orang Nazi!”
Vince DeLanzio menyeringai ke arah Eddie. “Ingatlah, nak, peraturannya sama
seperti ketika masih di pemukiman dulu. Tetap bersamaku. Kita berdua akan
baik-baik saja. Di samping itu, saudarimu tak akan mau menikahiku jika aku
membiarkan sesuatu terjadi padamu.”
“Kau tahu Vinnie, itu sangat lucu. Malah dia yang memintaku
untuk menjagamu.”
Tiba-tiba, kedua pria itu terperanjat oleh sebuah ledakan
yang menghantarkan lebih banyak percikan lagi ke dalam kapal. Raungan suara
mesin pesawat memenuhi langit. Ketika pesawat-pesawat itu melintas di atas
kepala mereka, garis-garis ‘invasi’ hitam dan putih yang terlukis di bawah
badan pesawatnya dapat terlihat. Tanda tersebut membuat pasukan aliansi
mengetahui bahwa mereka adalah teman, untuk perlindungan melawan senjata anti-pesawat-tempur
mereka. Para tentara memperhatikannya saat mereka melintas melewati tembakan
anti-pesawat-tempur dan melewati karang-karang terjal.
“Keparat! Apa kau lihat garis pantai itu, Vince? Bagaimana
mungkin kita bisa menaiki karang-karang terjal itu? Kita tidak akan bisa
apa-apa2, hanya tinggal menunggu para Fritz3 itu meledakkan kita
semua sampai berkeping-keping!”
“Mereka memang sedang meledaki kita sampai berkeping-keping
sekarang, kawan! Secara pribadi, aku akan mengambil kesempatanku di pantai itu
daripada berada di jebakan maut ini. Lihat ke arah sana! Paling tidak sudah dua
kapal seperti ini yang tenggelam satu mil di depan!”
Eddie mencoba menyesuaikan perlengkapannya dan merperbaharui
genggaman pada riffle-nya. Di tengah-tengah kekacauan dan tembakan artileri
yang semakin bertubi-tubi tanpa henti, dia memikirkan kunjungan terakhirnya ke
pantai yang lain, Coney Island. Semasa SMA-nya, saat cuaca semakin hangat, dia
akan pergi membolos dengan Vince dan berbocengan ke pantai. Vince selalu
menjadi yang lebih berani. Menjadi yatim piatu pada umur dini membuat dia dibesarkan
oleh seorang bibi. Tanpa bimbingan seorang ayah, dia sudah tumbuh menjadi
seseorang yang pandai berurusan dengan masalah kota dan sok hebat.
Di sisi lain, Eddie lebih beruntung karena dia mempunya
keluarga yang lengkap dan penyayang. Ayahnya adalah orang yang baik dan
penyayang. Dan temperamen ibunya yang khas seperti orang Irlandia telah
membuatnya seperti sekarang4. Saudarinya, Tess, mempunyai semangat
dan kecantikan yang sama seperti ibu mereka. Vince telah tertarik pada Tess
selama bertahun-tahun. Kenyataannya, Eddie yakin bahwa temannya sedang jatuh
cinta.
Vince dan Eddie sudah mendaftarkan diri mereka untuk menjadi
anggota Angkatan Laut di saat bersamaan. Setelah menjalani latihan dasar,
mereka berdua telah menjadi besar kepala layaknya burung merak di hadapan
keluarga dan teman-temannya. Sebagai pejuang resmi5, mereka sekarang
akan bergabung dalam pertempuran melawan orang-orang Jerman6. Ketika
tiba saatnya untuk mengucapkan salam perpisahan, Eddie menghindari tatapan pada
kedua mata orang tuanya. Namun, dia tidak bisa menghindari tatapan mata Tess.
Dengan mata berlinang, Tess meyuruhnya berjanji untuk menjaga dirinya sendiri,
juga Vince. Lalu dia berbalik menghadap temannya, menempatkan tangan di
pundaknya, dan menciumnya untuk yang pertama kali. Vince melihatnya berlari
naik ke atas menuju kamarnya, meninggalkannya yang sudah tak sanggup lagi untuk
berdiri7. Sambil mencoba untuk tetap tegar, dia menyampaikan salam perpisahannya
dan berjalan ke luar pintu.
Tiba-tiba, teriakan perintah dari pemimpin pasukan
menghentikan lamunan Eddie. Dinding belakang kapal menabrak air dan segerombolan
orang-orang berjalan ke depan. Menjatuhkan diri ke permukaan es, para Angkatan
Laut tersebut terengah-engah bersamaan dengan dinginnya es yang menusuk menembus
pakaian mereka. Kedalaman yang hijau dan gelap membuat kebanyakan dari mereka
menggelepar, terjatuh keberatan dengan perlengkapan berlebihan. Ini, ditambah
dengan bom mortir yang mengarah pada mereka dari puncak bukit, membuat mereka
percaya bahwa mereka telah melihat hari terakhir mereka.
Saat Eddie berupaya maju ke bibir pantai, sebuah peluru
menembus pria di depannya, membuatnya jatuh ke belakang. Dia sempat melihat ke
dalam matanya yang sudah tidak memiliki sinar kehidupan sebelum laut menutup
wajah tentara tersebut dan menjadi bersemangat.
Sedetik kemudian, Eddie merasakan rasa perih yang begitu
menusuk di sebelahnya. Sebelum kehilangan keseimbangan, dia merasakan sebuah
lengan kokoh menariknya ke atas.
“Apa kau baik-baik saja kawan?”
Eddie menggelengkan kepalanya saat Vince berusaha
menenangkan dirinya. Perairan menjadi lebih dangkal, namun gulungan kawat-kawat
berduri menjadi masalah baru. Yang lainnya menangis kesakitan ketika mereka
terjatuh atau terpeleset ke dalam barikade. Akhirnya, keduanya melihat sebuah
peluang dan berlari tak beraturan ke arah pesisir, dengan cepat diikuti oleh
yang lainnya.
“Di mana kau tertembak, Ed?” kekhawatiran terlihat pada
wajah Vince saat matanya mencari sumber dari noda merah yang secara
perlahan-lahan mengalir ke bawah.
“Tepat di bawah pundak. Ya ampun, mulanya terasa sangat
sakit sekali. Sekarang rasanya kebas.” Eddie terengah-engah dan menjatuhkan
kepalanya di atas pasir basah.
“Berikan peralatanmu.”
Eddie mengangkat kepalanya saat dia merasakan temannya
membuka perlengkapannya, dan mengendurkan tali pengikat dari pundaknya.
“Apa yang kau lakukan Vince?”
“Aku mau kau mulai merangkak ke arah bukit itu. Apa kau
melihat celah di sana? Pergilah ke sana. Kau tidak akan bisa mencapainya dengan
keadaanmu yang sekarang dan semua perlengkapan ini. Aku akan tetap di
belakangmu. Sekarang pergilah!”
Tembakan semakin manjadi-jadi, tapi Eddie mengucapkan doa
dengan pelan dan merangkak menuju dinding karang. Mayat-mayat dan orang-orang
sekarat bergelimpangan di sekitar. Ironisnya, mereka dapat digunakan sebagai
pelindung. Saat dia mencapai tempat tujuannya, sebuah lengan menggapai dan
menangkap kerah jaketnya, menariknya ke dalam tempat yang aman. Di dalam karang
perlindungan tersebut, Eddie dapat melihat yang lainnya di dalam celah.
“Apa kau melihat temanku?”
“Aku tidak banyak melihat apapun yang bisa bergerak
sekarang, kawan.”
Eddie mengamati ke dalam sudut gelap dan menyadari seragam
tentara Inggris. Suara gemelutuk memenuhi telinganya, dan dia menyadari bahwa
itu adalah suara giginya. Sadar bahwa dia tidak dapat menahan ketakutannya, dia
ingin, paling tidak, dapat menahan rasa mengigilnya. Memandang sekilas pria di
sebelahnya, dia melihat bahwa dia juga sedang gemetaran.
Kabut dari laut perlahan mulai naik, hanya untuk bercampur
dengan asap dari bom mortir. Eddie duduk bersandar pada dinding karang, merasa
lemah dan tak berdaya. Lebih banyak lagi orang yang datang ke pesisir, dan berusaha
untuk bertahan hidup. Mereka membuat kemajuan. Dia bertanya-tanya berapa lama
lagi pertempuran ini akan berakhir, dan tentang keberadaan Vince.
Saat menoleh ke ujung pantai, dia melihat punggung dari
sosok yang dikenalnya. Dengan tentara-tentara berlarian ke sana kemari, Eddie
sadar dia tidak bisa melepaskan tatapan matanya pada sosok satu-satunya itu.
Perlahan, orang tersebut berbalik, dan menghadap tatapan heran Eddie. Sisi kiri
wajahnya telah hancur terkena ledakan peluru meriam. Lengannya bergelantungan
di sampingnya. Bahkan dengan setengah badan yang tercabik-cabik, Eddie tahu
bahwa itu adalah Vince. Kedua pria itu saling bertatapan. Eddie tidak dapat berucap
atau bergerak sama sekali. Dia hanya bisa menatap wajah temannya. Akhirnya,
Vince berbalik, dan menghilang ke dalam asap dan kekacauan pertempuran.
“Aku menyesal tentang kawanmu, Yank8. Dia mungkin
berbalik menyusuri bibir pantai, ke tempat di mana kita seharusnya berada
sekarang.”
Suara tersebut menyadarkan diri Eddie, dan menariknya ke
belakang. Tetap saja dia tidak dapat berkata-kata. Tatapan pada mata Vince
sebelum dia menghilang berkelebatan di pikiran Eddie. Itu mungkin tatapan puas
karena mengetahui temannya selamat, dan bahwa dia telah menjaga janjinya kepada
orang yang dicintainya. Itu mungkin juga sebuah salam perpisahan terakhir.
Beberapa saat kemudian, saat petugas medis mengobati
lukanya, Eddie mendapati dirinya sedang berbaring di antara ratusan tentara
yang sekarat dan mati. Semarak kemenangan bergema di mana-mana. Bercak-bercak darah
menodai pasir, dan ledakan-ledakan berkelanjutan dari pertempuran terdengar di
kejauhan. Bagaimanapun, untuk sekarang, rintihan dan teriakan para tentara
memenuhi udara.
“Ini, kawan, merokoklah.”
Eddie melihat wajah petugas medis tersebut dan menggumamkan
‘terima kasih’ saat dia menerima tawarannya. Masih gemetaran, dia mengangkat
sebatang rokok ke bibirnya dan menghirupnya pelan-pelan. Sambil bersandar, dia
hanya bisa memikirkan kenyataan bahwa dia sedang berada di pantai. Udaranya
dingin, sama seperti Coney Island saat musim semi. Coney Island.
Dia menoleh saat beberapa tentara Inggris berjalan di antara
barisan jasad-jasad yang berserakan. Seseorang berhenti untuk menggeser beban
yang dibawa di pundaknya, sebelum melanjutkan perjalanan. Eddie dapat melihat
bahwa itu adalah jasad seorang Prajurit, kedua lengannya bergelantungan dan tak
bernyawa.
Petugas medis tersebut menghentikannya, dan mengangkat
kepala anak itu.
“Kau membuang-buang waktu, Bung. Orang ini sudah mati.”
Sambil tetap lanjut berjalan, tentara tersebut menjawab dari
balik pundaknya. “Aku berjanji pada ibunya bahwa aku akan menjaganya.”
Sambil menggelengkan kepalanya, petugas medis tersebut
mengalihkan perhatiannya9.
“Berjanji pada ibunya.” Kata-kata tersebut berputar-putar di
kepala Eddie. Janji. Seluruh pantai dipenuhi oleh janji yang tak dapat
ditepati, namun Vince telah berhasil menjaga janjinya. Rokoknya jatuh ke pasir
melewati jarinya. Matahari sekarang bersinar melewati kabut, menirukan Komidi
Putar di kejauhan sana. Air memukul-mukul di bibir pantai, dan pekikan
burung-burung camar, di suatu tempat, beralih menjadi gelak tawa anak-anak.
Eddie menutup matanya lalu menangis.
[selesai]
Catatan Penerjemah:
1.
“Landing Craft”, kapal kecil yang
digunakan untuk membawa para tentara ke bibir pantai.
2.
“We’ll be sitting duck”
3.
“Fritz”, sebutan oleh orang Inggris
untuk orang Jerman khususnya para tentara pada perang dunia pertama.
4.
“… which had kept him on his toes”
5.
“As full-fledged fighting men …”
6.
“Hun”, sebutan untuk menghina orang
Jerman.
7.
“… leaving him weak in the knees”
8.
kependekan dari ‘Yankee’; sebutan untuk
orang Amerika khususnya orang New England yang tinggal di bagian utara Amerika
Serikat.
9.
“… the medic turned his attention to
the next link in an endless chain.”
No comments:
Post a Comment