(Sekedar Matahari Terbit)
Pengarang: James
Ross
Penerjemah: Harum
Wibowo
Kamarku menghadap ke arah sinar
matahari pagi dan pada pagi hari di musim panas yang cerah hal itu akan membangunkanku
dalam keadaan segar dan bugar, tak peduli sampai jam berapa aku bergadang
semalam; aku akan bangun dan membuat sarapan, menonton TV, mandi. Jika masih
jam enam pagi aku biasanya meminum segelas teh dan kembali ke kasur di mana aku
akan tidur sebentar sampai jam tujuh dan bangun dengan rambut acak-acakan.
Jika aku menginap di tempat
saudariku, aku tidur sampai anak-anak membangunkanku atau sampai dia datang,
menghambur dari belakang sebuah taxi, yang mana saja yang lebih dulu. Aku
memang gampang bangun dan penidur pulas.
Pagi ini aku bangun dengan
terkejut, seolah jam alarm di kepalaku telah memberikanku sengatan listrik; cuaca
di luar tidak cerah, kutarik korden dan langit terlihat berwarna abu-abu gelap,
sama halnya dengan warna laut dan kelihatannya matahari tidak akan muncul
sebelum besok.
Aku bangun dan turun ke bawah;
jam dinding memberitahukanku bahwa sekarang hampir jam setengah tujuh. Aku
membuat teh dan roti panggang, menuangkan sereal dan susu ke dalam mangkuk,
menaruh semuanya di nampan dan membawanya ke kasurku.
Saudaraku bangun untuk siap-siap
bekerja dan kudengar dia menabrak di sekitar kamar mandi, jadi aku turun ke
bawah untuk membuat segelas teh. Dia turun ke dapur sekitar lima menit
kemudian, mengenakan pakaian kerjanya, matanya hampir terpejam melawan pagi
hari, rambutnya entah tegak berdiri ke arah yang tidak seharusnya atau
tertempel ke bawah semalaman karena terhimpit bantal. Dia kebanyakan tidur di
sisi kirinya, dia punya bekas lipatan di sisi kiri wajahnya dan rambut di sisi
kepala tersebut kebanyakan berantakan.
“Pagi.” Kataku.
“Uh huh.”
Kutinggalkan dia untuk membuat
apa yang ingin dimakannya dan kembali ke kamarku di mana aku menghabiskan teh
dan roti panggangku, menyalakan radio dan kembali ke bawah selimut tipis.
Kadang-kadang aku suka berpikir dan di suatu waktu aku suka langsung beringsut
di kasur.
Pagi ini aku ingin berpikir
sebentar.
***
Hari ini adalah hari ulang tahun
ayahku; ibu tidak akan menyebutkannya. Saudaraku mungkin saja, hanya untuk
membuat kehebohan, jadi aku akan mengawasinya ketika dia pulang kerja. Setiap
tahun pada ulang tahun ayahku aku melukis wajahnya; tiap tahun dia terlihat
sedikit berbeda. Aku seorang seniman. Nah, sudah kukatakan. Bukannya aku
menggambar garis lebih lurus atau bundaran yang lebih realistis, seperti yang
mereka ajarkan pada kita di sekolah. Aku hanya menangkap pesannya lebih jelas
daripada orang lain. Lebih jujur. Aku tahu itu.
Aku membaca banyak buku juga,
kebanyakan tentang seniman, dan aku melalui tahap ketika aku suka seniman
tertentu atau sebuah gerakan. Dan aku mencoba melukis seperti mereka. Ketika
ayahku kembali aku akan bisa mengatakan “ini adalah ayah saat aku masih berumur
dua belas tahun dan aku sedang jatuh cinta dengan Monet” atau “ini adalah ayah
saat hari ulang tahun yang ke-tiga puluh delapan, ketika aku masih berumur
empat belas, dan ayah sudah pergi selama lima tahun, dan aku ingin melukis
seperti Dante Gabriel Rossetti.” Dan dia akan melihat setiap lukisan dan tahu
bahwa aku mencintainya dan tidak pernah melupakannya.
Tahun lalu aku menyetak kaos,
menjual hampir semuanya di sekolah, beberapanya karena aku membujuk Kendra
untuk menjualnya. Seseorang di pantai mengenakan baju yang berhasil kujual
padanya.
Tepat ketika aku terobsesi dengan
garis, garis sederhana. Itu merupakan pengembangan enam bulan obsesi yang
kumiliki terhadap kaligrafi, yang keluar bersamaan dengan tahap kartunku, yang
datang dari Liechtenstein dan Warhol, dan masih banyak lagi. Jadi kukeluarkan
arang lukisku, dan kugantungkan kertas besar abu-abu A3 di papan dan mendudukkannya
di lutut saat aku duduk di kasur.
Pada Sabtu pagi ketika ibuku berkerja,
ayah akan membawaku ke kota dan aku akan mengajaknya berkeliling toko. Pada
hari ulang tahunku yang ke delapan dia membelikanku sebuah mainan kuda-kudaan,
yang asli, bukan untuk anak-anak. Di hari ulang tahunku yang ke Sembilan dia
membelikanku kertas minyak. Di ulang tahunku yang ke enam dia membelikanku
sekotak 99 krayon.
“Gambar aku,” katanya.
“Ya ampun Ayah, aku tidak bisa.”
Suatu pagi aku terbangun dan
sudah ada sebuah buku di atas bantalku tentang Picasso atau Chagall.
Aku harus pergi ke sekolah, aku
benar-benar harus pergi. Aku bukan salah satu anak-anak itu yang takut pergi;
aku tidak phobia atau apapun. Aku tidak dijahili dan aku tidak dungu. Aku hanya
tidak menemukan alasan yang bagus untuk menyia-nyiakan hariku di kelas untuk belajar
fisika atau kewarganegaraan atau agama Budha. Aku bisa mempelajari semua omong
kosong itu di perpustakaan. Phil, pengawas kelas sebelas akan menyuruhku untuk
belajar keras besok, jika aku masuk. Dalam dua bulan aku sudah menghadapi
ujian. Kami membuat perjanjian, aku berjanji akan masuk sekolah dan dia berkata
bahwa dia akan melipatgandakannya dengan EWO1.
Aku akan mengatakan yang
sebenarnya kepada Phil, hari ini adalah hari ulang tahun ayahku dan aku akan
menghabiskan waktuku bersamanya.
Jadi aku menghabiskan beberapa
saat memikirkan rambutnya yang kupikir mungkin lebih abu-abu daripada tahun
lalu; aku tahu rambut tidak menua secara bersamaan setiap tahun, tapi aku membuat
rambutnya lebih panjang tahun ini. Dan di pikiranku, aku memberikannya tambahan
beberapa kilo juga. Tapi aku tetap menjaga senyumnya di kepalaku, mungkin
sedikit bisu, seperti ketika dia sedang senang tapi bingung, atau mencoba untuk
mengerti aku ketika aku berceloteh kepadanya.
Saatnya untuk melukis kepala dan
pundaknya, jadi aku akan menggambarkannya mengenakan kaos yang memperlihatkan
lehernya dan keringkongannya dan betapa kuatnya dia dan bagaimana matanya
berkilau dan bagaimana alisnya sangat lurus dan masih hitam.
Aku berpikir berapa banyak yang
ingin kutunjukkan dan berapa bayak yang ingin kukatakan padanya.
Lalu aku mengambil sebatang arang
lukis dan benar-benar melakukannya. Aku mengambil kapur untuk menambah kesan
warna matanya, lalu kapur lain untuk menggambar mulutnya.
Dan di sanalah dia.
Ayah.
Di sanalah ayah.
Catatan
Penerjemah:
1.
EWO; mungkin semacam ujian. (silahkan inbox saya
bila ada yang tahu mengenai hal ini. ^^)
Tanggal berapa cerpen ini terbit? Dan siapakah penerbitnya?
ReplyDelete