PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

Miss Brill

Pengarang: Katherine Mansfield 
Penerjemah: Harum Wibowo

Walaupun hari itu sangat cerah – langit biru bertabur dengan emas dan bintik-bintik cahaya menakjubkan seperti wine putih yang memercik di sepanjang Jardins Publiques1 – Miss Brill senang dia telah menentukan fur2-nya. Udara bergerak sangat lambat, namun ketika kalian membuka mulut, akan terasa udara dingin yang samar-samar, seperti yang berasal dari segelas air es sebelum kalian meminumnya, dan sekarang dan lagi sehelai daun gugur – dari antah berantah, dari langit. Miss Brill menaikkan tangannya dan menyentuh pakaiannya. Benda manis!3 Sekali lagi rasanya menyenangkan. Dia telah mengeluarkannya dari kotaknya siang itu, menggoyang-goyangkan bubuk kapur barusnya4, menggosoknya perlahan-lahan, dan menggosok-gosok matanya sampai terbuka lebar. “Apa yang sedang terjadi padaku?” ujar mata menyedihkan itu. Oh, manisnya melihat mereka marah padanya lagi dari selimut-angsa merahnya!…Tapi hidung itu, yang terdiri dari warna hitam, sama sekali tidak lurus. Hidung itu, entah bagaimana, pastilah sudah pernah terkena pukulan. Tidak perlu dipermasalahkan – secolek kecil dari lilin segel5 hitam ketika saatnya tiba – ketika itu benar-benar diperlukan… Anak nakal! Iya, dia benar-benar merasa seperti itu. Anak nakal yang menggigit ekornya sendiri tepat di pinggir daun telinga kanannya. Dia bisa saja melepaskannya dan menaruhnya di atas pangkuannya lalu menggosoknya. Dia merasakan sensasi geli di tangan dan lengannya, namun itu karena berjalan-jalan tadi, pikirnya. Dan ketika dia menghela nafas, sesuatu yang ringan dan menyedihkan – bukan, bukan menyedihkan, tepatnya – sesuatu yang lembut terasa bergerak di dadanya.


Ada banyak orang bepergian siang ini, jauh lebih banyak ketimbang hari Minggu lalu. Dan orkestranya terdengar lebih kencang dan lebih ceria. Itu karena musimnya telah tiba. Karena walaupun orkestranya bermain sepanjang tahun setiap hari Minggu, di luar musim, hal itu tidaklah sama. Seolah seseorang memainkan musik hanya kepada keluarganya sendiri; anggota keluarga mereka tidak akan peduli bagaimana itu dimainkan selama tidak ada satupun orang asing di sana. Bukankah dirigennya mengenakan jaket baru juga? Dia yakin itu baru. Dirigen itu bergelut dengan kakinya dan mengepakkan lengannya seperti seekor ayam yang akan berkokok, dan para anggota orkestra duduk di rotunda6 hijau sambil membunyikan peluit dengan keras dan menatap konser musik itu. Sekarang muncullah ‘bunyi peluit’ kecil – sangat indah! – bagian kecil dari suara yang nyaring7. Dia yakin bunyi itu akan diulangi. Ternyata benar; dia naikkan kepalanya dan tersenyum.

Hanya dua orang yang menawarkan kursi ‘spesial’ untuknya; lelaki tua dengan jaket beludru, tangannya menjepit tongkat-jalan yang besar, dan seorang wanita tua gendut, duduk tegap, dengan segulung sulaman di celemek sulamnya. Mereka tidak berbicara. Hal ini mengecewakan, karena Miss Brill selalu senang berbincang-bincang. Dia telah menjadi sangat ahli, pikirnya, dalam hal mendengarkan seolah-olah dia tidak mendengarnya, dalam hal duduk di kehidupan orang-orang selama semenit sementara mereka berbicara di sekelilingnya.

Dia menoleh ke samping, pada pasangan manula. Mungkin mereka akan segera pergi. Minggu lalu, juga, tidak semenarik biasanya. Seorang pria Inggris dan istrinya; suaminya mengenakan topi Panama yang mengerikan dan istrinya mengenakan sepatu boot berkancing. Dan dia sepanjang saat telah mengeluh bahwa dia seharusnya mengenakan kacamata; dia yakin bahwa dia memerlukannya; namun kenyataannya itu bukanlah ide yang bagus; mereka yakin akan bertengkar dan mereka tidak akan tahan. Dan suaminya sudah sangat sabar. Dia telah mengusulkan semuanya – bingkai emas, yang dapat melekuk di sekitar telinga, bantalan kecil di bawah tonjolan tulang hidung8. Tidak, tidak ada yang dapat menyenangkan hatinya. “Benda itu akan selalu merosot ke bawah hidungku!” Miss Brill sudah gregetan melihatnya.

Para manula duduk di bangku, tidak bergerak bagai patung. Tidak masalah, selalu ada keramaian untuk ditonton. Mondar-mandir, di depan taman bunga dan panggung orkestra, para pasangan dan sekelompok orang berbaris, berhenti berbicara, menyapa, membeli segenggam bunga dari pengemis tua yang nampannya telah mantap di pagar terali. Anak-anak kecil berlarian di antara mereka, saling menyambar dan tertawa; anak-anak lelaki dengan sutera putih besar membungkuk di bawah dagunya, anak-anak perempuan, bak boneka Prancis, berpakaian beludru dan berenda. Dan kadang-kadang seseorang yang berjalan agak sempoyongan tiba-tiba datang memaksa masuk ke dalam bagian yang terbuka di bawah pohon, berhenti, menatap, lalu dengan tiba-tiba duduk ‘flop’, sampai ibunya yang berperawakan kecil namun cekatan, seperti seekor ayam betina muda, buru-buru datang memarahi sambil menolongnya. Orang lain duduk di bangku dan kursi hijau, tapi mereka hampir tidak sama, Minggu demi Minggu, dan – Miss Brill telah sering memperhatikan – ada sesuatu yang aneh tentang hampir mereka semua. Mereka aneh, diam, hampir semuanya tua, dan dari cara mereka memandang, mereka terlihat seakan-akan mereka baru saja datang dari ruangan gelap kecil atau bahkan – bahkan lemari!

Di belakang rotunda, pohon-pohon kecil dengan daun kuning berguguran, dan melalui mereka ada sebuah garis laut, dan di luar itu semua ada langit biru dengan awan keemaasan.

Tum-tum-tum tiddle-um! Tiddle-um! Tum tiddle-um tum ta! Suara orkestra menggebu-gebu.

Dua gadis muda berpakaian merah mendekat dan dua prajurit muda dengan setelan biru mendekati mereka, dan mereka tertawa dan berpasang-pasangan dan pergi bergandengan tangan. Dua petani wanita dengan topi jerami aneh lewat, dengan kesal, menuntun keledai berwarna abu-abu yang cantik. Seorang biarawati dengan wajah pucat dan dingin berlalu dengan cepat. Seorang wanita cantik mengikutinya dan menjatuhkan bunga-bunganya, kemudian seorang anak laki-laki berlari mengejar untuk menyerahkannya kepadanya dan diambilnya bunga-bunga itu lalu dibuangnya seolah-olah mereka telah diracuni. Malangnya aku! Miss Brill tidak tahu apakah harus mengaguminya atau tidak! Dan sekarang seorang wanita dengan topi cerpelai9 dan seorang pria dengan setelah abu-abu bertemu di depannya. Yang laki-laki tinggi, kaku, terhormat, dan wanitanya mengenakan topi cerpelai yang dibelinya ketika rambutnya berwarna kuning. Sekarang semuanya; rambutnya, wajahnya, bahkan matanya, berwarna sama seperti topi cerpelai lusuhnya, dan tangannya yang dalam balutan sarung tangan bersih, diangkat untuk mencolek bibirnya, terlihat seperti telapak tangan kecil kekuningan. Oh, dia sangat senang bertemu dengan pria itu – bahagia! Dia malah berpikir bahwa mereka akan bertemu siang itu. Dia mendeskripsikan di mana dia selama itu – di mana saja, di sini, di sana, di sepanjang laut. Hari itu sangat memukau – tidakkah pria itu setuju? Dan mungkinkah dia akan setuju?… tapi pria itu menggelengkan kepalanya, menyalakan sebatang rokok, dengan pelan mengepulkan asap ke wajah wanita itu, bahkan ketika dia masih berbicara dan tertawa, mengibaskan koreknya kemudian berlalu pergi. Wanita bertopi cerpelai itu kini sendirian; dia tersenyum lebih lebar daripada biasanya. Tapi bahkan orkestra seperti mengetahui apa yang sedang dirasakannya dan bermain dengan lebih lembut, bermain dengan gemulai, dan dentuman drumnya, “The Brute! The Brute!” lagi dan lagi. Apa yang harus dilakukannya? Apa yang akan terjadi sekarang? Namun saat Miss Brill sedang bertanya-tanya, wanita bertopi cerpelai itu berbalik, mengangkat tangannya seolah-olah dia telah melihat orang lain, jauh lebih baik, tepat di sebelah sana, dan berlalu dengan cepat. Dan orkestranya berganti lagi dan bermain dengan lebih cepat, lebih ceria daripada biasanya, dan pasangan paruh baya di bangku Miss Brill berdiri kemudian berbaris pergi, dan lelaki tua aneh tersebut, dengan janggut panjang yang terikat sesuai irama musik, hampir jatuh tertabrak empat gadis muda yang berjalan berbaris di depannya.

Oh, betapa menyenangkannya hal itu! Betapa dia menikmatinya! Betapa dia menyukai duduk di sini, menonton itu semua! Semua itu seperti pertunjukan drama. Benar-benar seperti pertunjukan. Siapa yang percaya kalau langit di belakang tidak dicat? Tapi tidak, sampai seekor anjing kecoklatan berderap dengan khidmat dan kemudian dengan pelan berderap pergi, seperti anjing ‘teater’ kecil, anjing kecil yang telah diberi obat, sehingga Miss Brill tahu apa yang membuatnya sangat menarik. Mereka semua berada di atas panggung. Mereka bukan hanya para penonton, tidak hanya sedang melihat-lihat; mereka sedang berakting. Bahkan dia pun ambil bagian dan datang setiap hari Minggu. Pantas saja seseorang akan langsung menyadari jika dia tidak berada di sana; ternyata dia adalah bagian dari pertunjukan. Betapa anehnya dia tidak pernah berpikir seperti itu sebelumnya! Namun itu menjelaskan kenapa dia membuat titik awal dari rumah di saat yang sama setiap Minggu – sehingga dia tidak akan terlambat untuk pergi ke pertunjukan – dan itu juga menjelaskan kenapa dia merasa sangat ganjil, perasaan malu-malu saat menceritakan kepada murid Bahasa Inggrisnya bagaimana dia menghabiskan hari Minggu siang. Pantas saja! Miss Brill hampir tertawa keras. Dia berada di atas panggung. Dia memikirkan pria tua cacat yang kepadanya dia membacakan koran empat kali seminggu, setiap siang, sementara dia tidur di kebun. Dia telah sangat terbiasa dengan kepala yang terkulai lemah di atas bantal kapas itu, mata yang kosong, mulut terbuka, dan hidung kurus panjang. Jika pria itu meninggal dia mungkin tidak akan menyadarinya selama berminggu-minggu; dia tidak akan keberatan. Namun tiba-tiba pria itu tahu dia sedang dibacakan koran oleh seorang aktris! “Seorang aktris!” kepala tua itu naik; dua titik cahaya bergetar di mata tua itu. “Kau, seorang aktris, ‘kan?” dan Miss Brill merapikan korannya seolah itu adalah manuskrip bagian perannya dan mengatakan dengan lemah lembut; “Benar, aku sudah menjadi seorang aktris cukup lama.”

Orkestranya sudah selesai beristirahat. Sekarang mereka mulai bermain lagi. Dan apa yang mereka mainkan terasa hangat, cerah, namun ada secuil hawa dingin – sesuatu, apa itu? – bukan kesedihan – bukan, bukan kesedihan – sesuatu yang membuatmu ingin bernyanyi. Nadanya naik, naik, lampu-lampu menyala; dan bagi Miss Brill di saat yang lain semuanya, semua kerumunan itu, akan mulai bernyanyi. Para muda-mudi, yang tertawa-tawa dan bergerak bersamaan, mereka akan memulainya, dan suara kaum pria, terdengar sangat pasti dan berani, akan bergabung dengan mereka. Dan kemudian dia juga, dia juga, dan yang lainnya di bangku – mereka akan bergabung menemani – sesuatu yang pelan, yang kadang-kadang naik atau turun, sesuatu yang sangat indah – bergerak… dan mata Miss Brill dibanjiri dengan air mata dan dia terlihat tersenyum kepada anggota kelompok yang lain. Benar, kami mengerti, kami mengerti, dia berpikir – berpikir apa yang mereka mengerti namun tidak diketahuinya.

Tepat saat itu seorang anak lelaki dan perempuan datang dan duduk di tempat pasangan tua sebelumnya. Mereka berpakaian dengan indah; mereka sedang jatuh cinta. Sang pahlawan dan pasangannya, tentu saja, baru tiba dari yacht10 ayahnya. Dan sambil tetap bernyanyi pelan, tetap dengan senyuman bergetar, Miss Brill bersiap-siap untuk mendengarkan.

“Tidak, jangan sekarang,” ujar gadis itu. “Jangan di sini, aku tidak mau.”

“Tapi kenapa? Karena benda tua bodoh di ujung sana?” Tanya anak lelaki itu. “Lagipula kenapa wanita itu datang ke sini – siapa yang menginginkannya? Kenapa dia tidak menjaga mug tua bodohnya di rumah?”

“Itu karena fu-ur nya yang sangat aneh,” kikih gadis itu. “Benda itu benar-benar sama seperti ikan kering11.”

“Ah, pergi saja kau!” kata anak lelaki itu dengan bisikan marah. Kemudian; “Katakan, kekasih keci--12

“jangan, jangan di sini,” sahut gadis itu. “Belum saatnya.”

Saat berjalan pulang, dia biasanya membeli sepotong kue madu di toko roti. Itu adalah makanan hari Minggunya. Kadang-kadang dengan almond di potongannya, kadang-kadang tidak. Itu membuat perbedaan besar. Jika ada almond, rasanya seperti membawa pulang hadiah kecil – sebuah kejutan – sesuatu yang biasanya tidak ada di sana. Dia berlalu cepat di hari Minggu almondnya dan menyalakan korek api untuk memasak air di ceret dengan sangat cepat.

Tapi hari ini dia hanya melewati toko roti itu, naik tangga, masuk ke kamar kecil gelap – kamarnya seperti lemari – dan duduk di atas selimut bulu angsa. Dia duduk di sana cukup lama. Kotak tempat asal fur tersebut berada di atas kasur. Dia lepaskan pengait furnya dengan cepat; dengan cepat, tanpa melihatnya lagi, lalu menaruhnya di dalam. Tapi ketika dia menutupnya dia pikir dia mendengar ada yang menangis.

[selesai]


Catatan penerjemah:
1.      ‘Jardins Publiques’, nama taman bunga di salah satu kota di Prancis.
2.     ‘fur’, pakaian yang terbuat dari bulu hewan.
3.     “dear little thing.”
4.     ‘Moth-powder’
5.     Lilin yang dipakai tuk menyegel amplop surat.
6.     ‘rotunda’, seperti gedung tempat konser. Atau sekedar ruangan/gedung bundar.
7.     “a little chain of bright drops”
8.     “little pads inside the bridge”
9.     ‘ermine toque’
10.   ‘yacht’, kapal layar berukuran sedang yang dilengkapi peralatan untuk berlayar atau balapan.
11.    ‘fried whiting’
12.   “ma petite chere—“ Sepertinya hendak mengatakan ‘kekasih kecilku’

No comments:

Post a Comment