PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

Sredni Vashtar


Pengarang: Saki
Penerjemah: Harum Wibowo

Conradin berumur sepuluh tahun, dan dokter telah mengemukakan pendapat profesionalnya bahwa dia tidak akan mampu hidup lebih dari 5 tahun. Sang dokter terlihat lemah gemulai dan tak berdaya, dan tidak terpandang, namun pendapatnya disahkan oleh Mrs. De Ropp yang sangat terpandang. Mrs. De Ropp merupakan sepupu dan juga walinya Conradin, dan di mata Conradin dia mewakili tiga per lima dari orang sedunia yang diperlukan, tidak menyenangkan, dan nyata; sisa dua per tiganya, dalam antagonisme berkelanjutan sampai dengan yang disebutkan sebelumnya, terangkum di dalam dirinya sendiri dan imajinasinya. Suatu hari Conradin mengira dia akan mengalah pada tekanan dari hal-hal yang melelahkan – seperti penyakit, batasan-batasan yang over-protektif, dan kejenuhan berkepanjangan. Tanpa imajinasinya, yang bisa merajalela jika dipicu oleh kesendirian, dia mungkin sudah menyerah dari dulu.

Mrs. De Ropp tidak akan mungkin, dengan jujur, mengakui pada dirinya sendiri bahwa dia tidak menyukai Conradin, walaupun dia mungkin sedikit menyadari bahwa manghalanginya ‘demi kebaikannya sendiri’ merupakan sebuah kewajiban yang tidak dianggapnya menjengkelkan. Conradin amat sangat membencinya dengan segenap perasaan yang mampu ditutupinya dengan baik. Kesenangan-kesenangan kecil seperti itulah, saat dia bisa menyusun rencana untuk dirinya sendiri, menambahkan kenikmatan dari kemungkinan bahwa itu tidak akan menyenangkan bagi walinya, dan dari dunia imajinasi di mana walinya terpenjara – sepupunya tersebut merupakan sebuah benda kotor yang tidak boleh menemukan jalan keluar.

Di taman yang menjemukan dan suram, tidak diperhatikan oleh banyaknya jendela yang siap membuka dengan pesan jangan melakukan ini atau itu, atau peringatan bahwa obat-obatan harus diminum, dia tidak terlalu tertarik. Beberapa pohon buah-buahan yang berada di dalamnya diatur dengan hati-hati terpisah dari jangkauannya, seakan-akan pohon-pohon itu adalah spesimen langka yang tumbuh di tanah gersang; mungkin sulit menemukan tukang kebun pasaran yang akan menawari sepuluh shilling1 sepanjang produksi tahunan mereka. Di sudut yang terabaikan, hampir tertutup di belakang semak belukar menyedihkan, terdapat gudang peralatan yang tak lagi digunakan, dan di balik dindingnyalah Conradin menemukan taman surga, sesuatu yang memiliki berbagai macam aspek sebagai ruang bermain dan katedral. Dia telah menyesakinya dengan sepasukan hewan peliharaan bayangan, dibangkitkan sebagian dari fragmen sejarah dan sebagian dari otaknya sendiri, namun mereka juga terdiri dari daging dan darah. Di sebuah sudut hiduplah seekor ayam Houdan2 berbulu kasar, di mana anak itu membuat jalan keluar yang lain. Jauh di belakang kesuraman berdirilah sebuah kandang besar, yang dibagi dalam dua ruang, salah satunya dipagari dengan batang-batang besi yang saling berdekatan. Tempat ini merupakan gubuk untuk seekor musang3 yang pernah diselundupkan oleh anak tukang daging yang baik hati, kandang dan semuanya, sampai markasnya yang sekarang, seharga sebuah perak kecil. Conradin amat sangat takut dengan hewan buas  bertaring tajam tersebut, namun itulah hal paling berharga miliknya. Terasa sangat kentara di gudang peralatan sebuah rahasia dan kesenangan mengerikan, yang dijaga dengan sangat hati-hari dari sepengetahuan Wanita tersebut, begitulah julukan dari Conradin untuk sepupunya. Dan suatu hari, hanya Tuhan yang tahu, dia memberikan hewan buas tersebut sebuah nama besar, dan mulai dari saat itu namanya telah menjadi Dewa dan sebuah aliran kepercayaan. Wanita tersebut rutin pergi ke gereja terdekat seminggu sekali untuk menaati agamanya, dan membawa serta Conradin bersamanya, namun bagi Conradin kebaktian gereja terasa seperti sebuah ritual alien di kuil Dewa Rimmon4. Setiap hari kamis, di gudang peralatan yang redup dan selalu hening, dia menyembah dengan menggelar upacara mistis dan panjang di depan kandang kayu yang dihuni Sredni Vashtar, sang Musang yang Maha Besar. Bunga-bunga yang mekar berwana merah pada musimnya dan buah berry berwarna merah tua pada musim dingin dipersembahkan di kuilnya, karena Dialah Dewa yang dapat meringankan stress, berbeda dengan ajaran agama Wanita tersebut, yang sejauh Conradin perhatikan, mengajarkan hal-hal yang sangat bertolak belakang dari ajaran Dewanya. Dan pada perayaan hari-hari besarnya, dipersembahkanlah bubuk buah pala yang ditaburi di depan kandangnya, sebuah syarat penting untuk ritual persembahan tersebut adalah buah palanya harus didapatkan dengan cara mencuri. Hari-hari besar ini dirayakan tidak menentu, dan terutama dimaksudkan untuk merayakan beberapa kejadian yang telah berlalu. Pada suatu kesempatan, ketika Mrs. De Ropp menderita sakit gigi parah selama tiga hari, Conradin tetap merayakan festivalnya selama tiga hari penuh, dan hampir berhasil mempengaruhi dirinya sendiri bahwa Sredni Vashtar mempunyai andil dalam kejadian tersebut. Jika penyakitnya berlanjut sampai hari lain, persediaan buah pala mungkin akan habis.

Ayam Houdan tidak pernah ditarik untuk masuk ke aliran kepercayaan Sredni Vashtar. Conradin sejak dulu sudah menetapkan bahwa ayam itu adalah seorang Anabaptis5. Dia tidak berpura-pura mengetahui sedikitpun apa arti seorang Anabaptis, namun dia sendiri berharap bahwa hal itu tidak terlalu terhormat. Mrs. De Ropp adalah penyebab dia menghina dan membenci semua rasa hormat.

Setelah beberapa lama, kegiatan Conradin di gudang peralatan mulai mearik perhatian walinya. “Tidak baik bagi dirinya bermain-main di sana setiap saat.” Sepupunya spontan membuat keputusan, dan di suatu pagi pada saat sarapan dia mengumumkan bahwa ayam Houdannya telah dijual dan dibawa semalam. Dengan matanya yang rabun jauh dia memperhatikan Conradin, menunggu sebuah ledakan amarah dan kesedihan yang sudah siap dibalasnya dengan rentetan ajaran-ajaran mulia dan alasan. Namun Conradin tidak mengatakan apapun; tak ada hal yang ingin dikatakannya. Sesuatu di wajah pucat Conradin memberikannya perasaan cemas sekejap, ada roti panggang di meja untuk jamuan minum teh siang itu, makanan lezat yang biasanya dilarang oleh sepupunya dengan alasan bahwa makanan itu buruk bagi kesehatannya; juga karena proses pembuatannya membuat ‘repot’, sebuah penghinaan besar bagi mata feminis kelas menengah.

“Kupikir kau suka roti panggang,” serunya, dengan nada kecewa, memperhatikan kalau Conradin tidak menyentuhnya.

“Kadang-kadang.” Kata Conradin.

Sore harinya di gudang tersebut diadakan sebuah perubahan pada caranya menyembah Dewa-Gubuk. Conradin enggan melantunkan puja-pujinya, malam ini dimintanya sebuah anugerah.

“Lakukan sesuatu untukku, Sredni Vashtar.”

Hal yang tidak dikhususkan. Karena Sredni Vashtar adalah seorang Dewa, Dia pasti sudah memahami maksudknya. Dan menangis tersedak saat dia melihat kandang kosong yang lain, Conradin kembali ke dunia yang sangat dibencinya.

Dan setiap malam, dalam kegelapan yang menyambut di kamarnya, dan setiap malam di gudang peralatan yang temaram, serangkaian doa-doa menyakitkan dari Conradin menggema; “Lakukan sesuatu untukku, Sredni Vashtar.”

Mrs. De Ropp memperhatikan bahwa kunjungannya ke gudang peralatan tidak berhenti, dan suatu hari dia mengambil langkah untuk melakukan inspeksi lebih jauh.

“Apa yang kamu simpan di gubuk tertutup itu?” Tanya Mrs. De Ropp. “Kuyakin itu pasti kelinci percobaan. Akan kulenyapkan mereka semua.”

Conradin menutup bibirnya rapat-rapat, namun Wanita itu mengobrak-abrik kamarnya sampai dia menemukan kunci yang telah disembunyikannya dengan hati-hati, dan dengan segera berjalan menuju gudang untuk menyelesaikan pemeriksaannya. Siang itu terasa dingin, dan Conradin dikurung di dalam rumah. Dari jendela terjauh di ruang makan, pintu gudang tersebut bisa dilihat melewati sudut semak belukar, dan di sanalah Conradin menyiagakan dirinya. Dia melihat Wanita itu masuk, dan membayangkan Mrs. De Ropp membuka pintu gubuk keramat dan memperhatikan langkahnya dengan mata yang rabun jauh menuju kasur jerami tebal, tempat di mana Dewanya bersemayam. Mungkin dia akan mengobrak-abrik jeraminya dengan tidak sabaran. Dan Conradin menghembuskan doanya dengan semangat untuk yang terakhir kalinya. Tapi dia sadar saat dia berdoa bahwa dia sendiri tidak yakin. Dia tahu bahwa Wanita itu, pada akhirnya, akan keluar dengan senyum mengkerut yang sangat dibencinya, dan dalam waktu satu atau dua jam tukang kebun akan membawa Dewanya yang Maha Besar, bukan lagi Dewa, tapi hanya seekor musang coklat biasa di gubuk. Dan dia tahu kalau Wanita itu akan selalu merasa penuh kemenangan seperti saat ini, dan dia akan menjadi lebih muak; hidup di bawah gangguannya, sifatnya yang sok berkuasa, dan kebijaksanaannya yang lebih mumpuni, sampai suatu hari nanti tidak akan ada lagi yang lebih dipermasalahkannya, dan dokter akan terbukti benar. Dan dalam kekalahannya yang begitu pedih dan sengsara, dia mulai mulai melantunkan himne untuk sesembahannya yang sedang terancam dengan kencang dan lantang;

Sredni Vashtar datanglah.
Pikiran-Nya merah padam, dan gigi-Nya putih.
Musuh-musuh-Nya datang untuk berdamai, tapi dia membawakan mereka kematian.
Sredni Vashtar yang Maha Agung.

Dan kemudian tiba-tiba ia menghentikan lantunan doanya dan menarik diri untuk lebih dekat ke kaca jendela. Pintu gudang masih terbuka sedikit, masih seperti tadi, dan menit-menit pun berlalu. Terasa lama sekali, tapi tetap saja berlalu. Dia melihat burung-burung jalak berlarian dan terbang dalam kelompok-kelompok kecil di seberang halaman; dia menghitung mereka berulang kali, dengan satu mata tetap terfokus pada pintu yang berayun. Seorang pelayan dengan wajah masam masuk untuk menaruh meja hidangan minum teh, dan Conradin tetap berdiri dan menunggu dan memperhatikan. Harapan mulai merangkak naik dalam hatinya, dan sekarang tatapan penuh kemenangan mulai membara di matanya yang hanya mengetahui kesabaran dari kekalahan pahit. Dalam hembusan nafasnya, dengan sembunyi-sembunyi merasakan kegembiraan yang meluap-luap di dalam hati, dia sekali lagi mulai menyanyikan puja-puji kemenangan dan kehancuran. Dan akhirnya matanya dianugerahi; jauh di pintu masuk gudang muncullah seekor hewan buas bertubuh panjang, pendek, dan berwarna kuning dan coklat, dengan matanya yang mengerjap-ngerjap pada sinar matahari yang mulai sirna, dan noda hitam basah di sekitar bulu rahang dan tenggorokannya. Conradin terjatuh di lututnya. Musang Agung tersebut berjalan menuju ke sebuah selokan kecil di kaki taman, minum sebentar, kemudian menyeberangi sebuah jembatan papan dan menghilang di semak belukar. Begitulah Sredni Vashtar berlalu.

“Teh sudah siap,” kata pelayan berwajah masam. “di mana nyonya?”

Dia pergi menuju gudang beberapa saat yang lalu,” kata Conradin. Dan sementara pelayan pergi untuk memanggil nyonya besarnya untuk menikmati hidangan teh, Conradin mengambil garpu6 dari laci samping lemari dan mulai membuat roti panggang untuk dirinya sendiri. Dan selama proses pemanggangan dan pengolesan mentega dengan banyak mentega dan melahap pelan-pelan sambil menikmatinya, Conradin mendengarkan keributan dan keheningan yang dengan cepat berubah menjadi ketegangan di luar pintu ruang makan. Teriakan bodoh dan keras si pelayan, seruan penasaran dari arah dapur, langkah yang tergesa-gesa dan perintah cepat untuk meminta bantuan orang lain, dan kemudian, setelah mereda, muncullah suara isak tangis keramat dan langkah kaki yang terseok-seok dari orang-orang yang menanggung beban berat masuk ke rumah.

“Siapa yang tega melakukannya terhadap anak malang ini? Sumpah, aku tidak akan sanggup!” seru sebuah suara yang melengking. Dan sementara mereka berdebat mengenai masalah itu di antara mereka, Conradin membuat lagi roti panggang untuk dirinya sendiri.

[Selesai]


Catatan penerjemah:
  1. ‘shilling’, adalah koin yang dulu dipakai di Inggris. Setara dengan seperduapuluh dari satu poundsterling. Atau satuan uang dasar yang digunakan di Kenya, Tanzania, dan Uganda. Setara dengan 100 sen.
  2. ‘a houdan hen’; ayam keturunan Prancis. Dinamai berdasarkan kota Houdan yang berada di dekat Paris. 
  3. polecat-ferret’; hewan hasil persilangan antara polecat Eropa dan musang. 
  4. ‘House of Rimmon’ 
  5. Anabaptist; seseorang yang percaya pada doktrin bahwa pembaptisan seharusnya dijalankan pada orang dewasa taat, diadakan oleh sebuah sekte Protestan pada abad ke-16. 
  6. ‘toasting-fork’; garpu panjang yang digunakan untuk membuat roti bakar di depan perapian.

No comments:

Post a Comment