PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

My Beloved Edith


Pengarang: Tom Gillespie
Penerjemah: Harum Wibowo

Arthur berdiri di depan gerbang dan menunggu kedatangan seseorang. Dia bangun sangat pagi hari ini, bersemangat untuk memulai harinya. Digosok tangannya bersamaan untuk menstimulasi peredaran darah dan memperhatikan apa yang ada di balik pagar terali. Akhirnya seorang lelaki tiba dan membuka kunci gerbangnya. Ditariknya bingkai besi berat tersebut dan perlahan terbuka.
“Pagi Albert, bagaimana perasaanmu hari ini?”
“Beruntung.”
“Yang ini mungkin orangnya, iya kan?” kata lelaki itu dengan antusias.
“Ya. Ah, mungkin kau benar!” Albert tersenyum dan lelaki tersebut kembali ke pondoknya di dekat gerbang. Albert berjalan dengan perlahan di jalan masuk dan kemudian berhenti. Dia tidak dapat mengingat di mana dia berhenti terakhir kali kemarin. Ingatannya tidak sama seperti dulu. Dia meraih kantong jaketnya dan mengeluarkan mapnya. Dia mengecek daftar terakhir. John Macleod, 23 September. Tiga hari yang lalu. Dia mungkin telah lupa untuk memperbaharui daftarnya atau memang tidak pernah sama sekali.

“Kau amat sangat bodoh, Arthur.” Dia mengedikkan bahunya. “Oh baiklah, aku akan mulai dari Mr. Macleod.” Menggunakan map sebagai panduan, dia berjalan ke tempat yang dituju dan mulai mencari.
Setelah dia selesai mencari di satu baris, pinggangnya mulai tidak bisa diajak berkompromi. Dia duduk di bangku terdekat dan menggosok-gosokkan kakinya.
“Saatnya untuk minum sedikit penambah tenaga.” Pikirnya. Dia melepaskan jaketnya dan mengeluarkan setengah botol dari kantong bajunya. Dia meminum beberapa teguk dan menutupnya kembali.
“Lebih baik aku tidak minum ini terlalu banyak,” katanya, “kalau tidak aku akan lupa lagi.” Kemudian dia membuka bekal makan siangnya. Itu adalah menu kesukaannya, seiris daging domba dengan bawang dan mustard. Sambil dia menggigit sandwichnya, dia mulai mengingat masa-masa lalu. Kadang-kadang dia bisa mengingat wajah wanita tersebut dengan jelas, wajahnya di depan pikirannya, mata, dan mulutnya yang tersenyum padanya. Namun ada saja saat-saat ketika dia tidak bisa mengingatnya sama sekali. Dia harus menuliskannya, tapi sulit melakukannya setiap saat. Tiba-tiba, dia mulai panik. Dia lupa nama wanita tersebut. Inilah ketakutan terbesarnya.
“Apa namanya Agnes…? Edna…? Bukan, bukan itu. Alice…?” Nama-nama mulai berterbangan dalam kepalanya tapi tidak satupun yang terasa benar.
“Ya Tuhan… berpikirlah…” dia menggosok keningnya. “Elise… Amanda…”
Semuanya sia-sia. Satu-satunya hal yang dapat dilakukannya adalah lanjut mencari dan berharap bahwa namanya akan muncul kembali dalam pikirannya. Dia menyelesaikan makan siangnya, memaksa dirinya berdiri dan kembali di mana dia berhenti terakhir kali.
Dia melihat ke arah batu di depannya. William Rennie 1867-1922.
“Well, itu bukan dia,” pikirnya. Dia lanjut berjalan menyusuri baris di sana. Margaret Forsyth, 1899-1948. Dia menatap batu nisannya.
“Mungkinkah dia Margaret? Tidak.. kurasa bukan.” Dia pindah ke yang lainnya, dan kemudian yang lainnya lagi sampai dia tiba di ujung baris. Dia mengeluarkan map dan menuliskan namanya. Frank Gilroy 1903-1953, baris ke 7, 26 September. Dan kembali melakukan pencariannya. Baris demi baris dicarinya, berharap dia akan menemukan sesuatu yang akan mengembalikan ingatannya. Tapi dia tetap tidak bisa mengingat namanya. Ini adalah lupa ingatan paling lama yang pernah dialaminya. Dia tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Dia duduk lagi dan mengistirahatkan pinggangnya. Dia meneguk sedikit wiski dan memeriksa mapnya.
“Sudah delapan baris… akan kucari lagi di dua baris lainnya dan itu sudah cukup untuk hari ini.” Dia bernafas dengan berat. Berjalan dan ketegangan untuk mengingat sungguh melelahkan baginya. Dia mulai mencari di baris yang lain, Robert Hughes 1907-1979.
Hari mulai gelap. Dia hampir menyerah ketika dia berhenti pada kuburan kecil. Terdapat tulisan;

Untuk Edith-ku yang Tersayang
1900-1947
Beristirahatlah di Surga

Dia tidak dapat bernafas. Dia terhuyung ke belakang dan kemudian menenangkan dirinya.
“Edith… itu namanya. Iya, benar!” pikirnya. Dan kemudian dia tersadar.
“Ya Tuhan, Edith… aku telah menemukanmu.” Dia membungkuk dan menyentuh batu nisan dengan punggung tangannya, dengan cara yang biasa dilakukannya ketika menyentuh wajahnya.
“Sayangku… Edith… aku telah mencari-carimu sejak lama sekali. Kenapa kau tidak membantuku untuk mencarimu?” dia megistirahatkan pipinya di atas batu marbel dingin dan mulai menangis. Rasanya seolah-olah sebuah beban telah diangkat dari pundaknya. Tahun-tahun tanpanya telah berakhir. Dia dapat berdukacita kembali kepada wanita yang telah meninggalkannya sejak lama sekali. Dia melihat bidang tanahnya lagi. Di sana telah ditumbuhi rerumputan, dan lumut mulai tumbuh di dalam cetakan tulisannya.
“Apa yang telah kau lakukan pada dirimu sendiri?” katanya. “Kau perlu merapikan dirimu sedikit.” Mengabaikan rasa sakit di persendiannya, dia berlutut dan mulai menarik rerumputan di sana.
“Kau membuat dirimu berantakan. Kau ingin aku merawatmu, iya kan?” dia menaruh rerumputan di kantongnya dan mencoba membersihkan jamur pada batu penghias yang diletakkan di sekeliling batas. Dia mencabut lumut dengan kuku jemarinya dan berbisik pada hembusan nafasnya. Tiba-tiba, dia berhenti. Dia teringat kembali dengan penjaga makam tadi. Dengan menggunakan batu nisan untuk menopangnya, dia dengan perlahan memaksakan dirinya untuk berdiri lagi.
“Aku harus pergi dulu, cintaku. Tapi aku akan kembali lagi besok. Aku akan membawakanmu bunga. Aku akan mencoba mencarikanmu tanaman hias1. Aku tahu kau sangat menyukainya.” Dia menyapukan jemarinya pada tulisan namanya.
“Sampai jumpa besok, Edith.” Dia menciumnya dengan lembut dan berjalan melewati barisan salib dan ukiran malaikat di dekat pintu keluar. Ketika dia sampai di gerbang, dia menenangkan dirinya pada pagar besi.
“Tanggal berapa tadi?” pikirnya. “1947.” Benang keraguan mulai berkibar di sekitar kepalanya.
“Aku tidak yakin itu benar… kapan ya… tepat setelah perang… dan kami pindah ke Denistoun. Saat itu Tom berusia empat tahun. Apa saat itu tahun 47? Atau 48?” dia mencoba mencari jawaban dengan jarinya. Kemudian tiba-tiba penjaga makam muncul kembali.
“Bagaimana Arthur, apa sudah ketemu?”
“Kurasa begitu… tapi sekarang aku tidak yakin… aku harus mengecek sesuatu ketika aku sampai di rumah.”
“Oh well, selalu ada hari esok kalau dia bukan orangnya.”
“Ya.”
Arthur melangkah keluar pemakaman. Lelaki itu menutup gerbang di belakangnya, melingkarkan rantai di sekitar bingkai besi dan mengunci gemboknya.
“Sampai jumpa besok, Arthur.” Tapi Arthur tidak menjawabnya. Dia hanyut dalam pikirannya
“Waktunya akan tiba.” Bisik lelaki itu pada dirinya sendiri dan kembali masuk ke pondoknya.
[selesai]

Catatan penerjemah:
1.     ‘Fuchia’; tanaman belukar hias asli Amerika dan New Zealand, dengan bunga berbentuk pipa layu yang biasanya mempunyai warna berlawanan. [Tulip?]

No comments:

Post a Comment