Pengarang:
Tom Gillespie
Penerjemah:
Harum Wibowo
Arthur
berdiri di depan gerbang dan menunggu kedatangan seseorang. Dia bangun sangat
pagi hari ini, bersemangat untuk memulai harinya. Digosok tangannya bersamaan
untuk menstimulasi peredaran darah dan memperhatikan apa yang ada di balik
pagar terali. Akhirnya seorang lelaki tiba dan membuka kunci gerbangnya.
Ditariknya bingkai besi berat tersebut dan perlahan terbuka.
“Pagi
Albert, bagaimana perasaanmu hari ini?”
“Beruntung.”
“Yang
ini mungkin orangnya, iya kan?” kata lelaki itu dengan antusias.
“Ya.
Ah, mungkin kau benar!” Albert tersenyum dan lelaki tersebut kembali ke pondoknya
di dekat gerbang. Albert berjalan dengan perlahan di jalan masuk dan kemudian
berhenti. Dia tidak dapat mengingat di mana dia berhenti terakhir kali kemarin.
Ingatannya tidak sama seperti dulu. Dia meraih kantong jaketnya dan
mengeluarkan mapnya. Dia mengecek daftar terakhir. John Macleod, 23 September.
Tiga hari yang lalu. Dia mungkin telah lupa untuk memperbaharui daftarnya atau
memang tidak pernah sama sekali.
“Kau
amat sangat bodoh, Arthur.” Dia mengedikkan bahunya. “Oh baiklah, aku akan
mulai dari Mr. Macleod.” Menggunakan map sebagai panduan, dia berjalan ke
tempat yang dituju dan mulai mencari.
Setelah
dia selesai mencari di satu baris, pinggangnya mulai tidak bisa diajak
berkompromi. Dia duduk di bangku terdekat dan menggosok-gosokkan kakinya.
“Saatnya
untuk minum sedikit penambah tenaga.” Pikirnya. Dia melepaskan jaketnya dan mengeluarkan
setengah botol dari kantong bajunya. Dia meminum beberapa teguk dan menutupnya
kembali.
“Lebih
baik aku tidak minum ini terlalu banyak,” katanya, “kalau tidak aku akan lupa
lagi.” Kemudian dia membuka bekal makan siangnya. Itu adalah menu kesukaannya,
seiris daging domba dengan bawang dan mustard. Sambil dia menggigit
sandwichnya, dia mulai mengingat masa-masa lalu. Kadang-kadang dia bisa
mengingat wajah wanita tersebut dengan jelas, wajahnya di depan pikirannya,
mata, dan mulutnya yang tersenyum padanya. Namun ada saja saat-saat ketika dia
tidak bisa mengingatnya sama sekali. Dia harus menuliskannya, tapi sulit
melakukannya setiap saat. Tiba-tiba, dia mulai panik. Dia lupa nama wanita
tersebut. Inilah ketakutan terbesarnya.
“Apa
namanya Agnes…? Edna…? Bukan, bukan itu. Alice…?” Nama-nama mulai berterbangan
dalam kepalanya tapi tidak satupun yang terasa benar.
“Ya
Tuhan… berpikirlah…” dia menggosok keningnya. “Elise… Amanda…”
Semuanya
sia-sia. Satu-satunya hal yang dapat dilakukannya adalah lanjut mencari dan
berharap bahwa namanya akan muncul kembali dalam pikirannya. Dia menyelesaikan
makan siangnya, memaksa dirinya berdiri dan kembali di mana dia berhenti
terakhir kali.
Dia
melihat ke arah batu di depannya. William Rennie 1867-1922.
“Well,
itu bukan dia,” pikirnya. Dia lanjut berjalan menyusuri baris di sana. Margaret
Forsyth, 1899-1948. Dia menatap batu nisannya.
“Mungkinkah
dia Margaret? Tidak.. kurasa bukan.” Dia pindah ke yang lainnya, dan kemudian
yang lainnya lagi sampai dia tiba di ujung baris. Dia mengeluarkan map dan
menuliskan namanya. Frank Gilroy 1903-1953, baris ke 7, 26 September. Dan
kembali melakukan pencariannya. Baris demi baris dicarinya, berharap dia akan
menemukan sesuatu yang akan mengembalikan ingatannya. Tapi dia tetap tidak bisa
mengingat namanya. Ini adalah lupa ingatan paling lama yang pernah dialaminya.
Dia tidak tahu apa lagi yang harus dilakukan. Dia duduk lagi dan
mengistirahatkan pinggangnya. Dia meneguk sedikit wiski dan memeriksa mapnya.
“Sudah
delapan baris… akan kucari lagi di dua baris lainnya dan itu sudah cukup untuk
hari ini.” Dia bernafas dengan berat. Berjalan dan ketegangan untuk mengingat
sungguh melelahkan baginya. Dia mulai mencari di baris yang lain, Robert Hughes
1907-1979.
Hari
mulai gelap. Dia hampir menyerah ketika dia berhenti pada kuburan kecil. Terdapat
tulisan;
Untuk
Edith-ku yang Tersayang
1900-1947
Beristirahatlah
di Surga
“Edith…
itu namanya. Iya, benar!” pikirnya. Dan kemudian dia tersadar.
“Ya
Tuhan, Edith… aku telah menemukanmu.” Dia membungkuk dan menyentuh batu nisan
dengan punggung tangannya, dengan cara yang biasa dilakukannya ketika menyentuh
wajahnya.
“Sayangku…
Edith… aku telah mencari-carimu sejak lama sekali. Kenapa kau tidak membantuku
untuk mencarimu?” dia megistirahatkan pipinya di atas batu marbel dingin dan
mulai menangis. Rasanya seolah-olah sebuah beban telah diangkat dari pundaknya.
Tahun-tahun tanpanya telah berakhir. Dia dapat berdukacita kembali kepada
wanita yang telah meninggalkannya sejak lama sekali. Dia melihat bidang
tanahnya lagi. Di sana telah ditumbuhi rerumputan, dan lumut mulai tumbuh di
dalam cetakan tulisannya.
“Apa
yang telah kau lakukan pada dirimu sendiri?” katanya. “Kau perlu merapikan
dirimu sedikit.” Mengabaikan rasa sakit di persendiannya, dia berlutut dan
mulai menarik rerumputan di sana.
“Kau
membuat dirimu berantakan. Kau ingin aku merawatmu, iya kan?” dia menaruh
rerumputan di kantongnya dan mencoba membersihkan jamur pada batu penghias yang
diletakkan di sekeliling batas. Dia mencabut lumut dengan kuku jemarinya dan
berbisik pada hembusan nafasnya. Tiba-tiba, dia berhenti. Dia teringat kembali
dengan penjaga makam tadi. Dengan menggunakan batu nisan untuk menopangnya, dia
dengan perlahan memaksakan dirinya untuk berdiri lagi.
“Aku
harus pergi dulu, cintaku. Tapi aku akan kembali lagi besok. Aku akan
membawakanmu bunga. Aku akan mencoba mencarikanmu tanaman hias1. Aku
tahu kau sangat menyukainya.” Dia menyapukan jemarinya pada tulisan namanya.
“Sampai
jumpa besok, Edith.” Dia menciumnya dengan lembut dan berjalan melewati barisan
salib dan ukiran malaikat di dekat pintu keluar. Ketika dia sampai di gerbang,
dia menenangkan dirinya pada pagar besi.
“Tanggal
berapa tadi?” pikirnya. “1947.” Benang keraguan mulai berkibar di sekitar
kepalanya.
“Aku
tidak yakin itu benar… kapan ya… tepat setelah perang… dan kami pindah ke
Denistoun. Saat itu Tom berusia empat tahun. Apa saat itu tahun 47? Atau 48?”
dia mencoba mencari jawaban dengan jarinya. Kemudian tiba-tiba penjaga makam
muncul kembali.
“Bagaimana
Arthur, apa sudah ketemu?”
“Kurasa
begitu… tapi sekarang aku tidak yakin… aku harus mengecek sesuatu ketika aku
sampai di rumah.”
“Oh
well, selalu ada hari esok kalau dia bukan orangnya.”
“Ya.”
Arthur
melangkah keluar pemakaman. Lelaki itu menutup gerbang di belakangnya,
melingkarkan rantai di sekitar bingkai besi dan mengunci gemboknya.
“Sampai
jumpa besok, Arthur.” Tapi Arthur tidak menjawabnya. Dia hanyut dalam
pikirannya
“Waktunya
akan tiba.” Bisik lelaki itu pada dirinya sendiri dan kembali masuk ke pondoknya.
[selesai]
Catatan penerjemah:
1.
‘Fuchia’; tanaman belukar hias asli
Amerika dan New Zealand, dengan bunga berbentuk pipa layu yang biasanya
mempunyai warna berlawanan. [Tulip?]
No comments:
Post a Comment