PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

Symbols and Signs


(Tanda-Tanda)

By Vladimir Nabokov

Untuk keempat kalinya dalam tahun-tahun belakangan ini, mereka kembali dihadapkan pada sebuah masalah; hadiah ulang tahun apa yang harus diberikan kepada seorang anak muda yang sedang mengalami gangguan kejiwaan. Dia tidak lagi memiliki keinginan. Baginya, benda buatan manusia merupakan semacam alergi jahat, bergetar-getar dengan aktivitas membahayakan yang dapat dirasakannya sendiri, atau kenyamanan yang menjijikkan dan tidak berguna dalam dunia abstraknya. Setelah menyingkirkan sejumlah artikel yang mungkin dapat menyinggung atau menakutinya (apapun di barisan gadget, misalnya, dianggap tabu), orang tuanya memilih sebuah barang sederhana namun tetap indah—sekeranjang penuh berisi sepuluh jeli buah berbeda rasa yang dikemas dalam sepuluh mangkuk kecil.

Saat kelahirannya, mereka telah lama menikah; beberapa tahun telah berlalu, dan sekarang mereka sudah sangat tua. Rambutnya yang telah beruban dijepit sembarangan. Dia mengenakan baju hitam murahan. Tidak seperti kebanyakan wanita lain seusianya (seperti Mrs. Sol, tetangga sebelah mereka, yang wajahnya berwarna pink merata dan terlihat muda karena make-up dan di topinya ada seikat bunga brookside), dia memiliki raut muka pucat dan sedikit terlihat cerewet. Suaminya, yang dulu merupakan seorang pengusaha yang cukup sukses di kota asalnya, kini, di New York, bergantung sepenuhnya pada saudaranya, Isaac, seorang warga Amerika asli yang telah menetap hampir empat puluh tahun di New York. Mereka jarang bertemu Isaac dan memberikannya nama panggilan ‘Pangeran’.


Hari Jum’at itu, saat hari ulang tahun putranya, segalanya menjadi berantakan. Kereta bawah tanah kehilangan sumber kehidupannya di antara dua stasiun dan selama seperempat jam mereka tidak dapat mendengar apa-apa selain degupan jantung mereka dan suara gemerisik kertas koran yang halamannya dibolak-balik. Bus yang harus mereka naiki selanjutnya datang terlambat dan membuat mereka lama menunggu di sudut jalan, dan ketika busnya benar-benar datang, busnya telah dipenuhi oleh anak-anak SMA yang sangat ribut. Hari mulai hujan saat mereka menapaki jalan kecoklatan yang mengarah ke sanitorium1. Di sana mereka kembali menunggu, seseorang berjalan masuk dengan terseok-seok ke dalam ruang tunggu, tapi bukan putra mereka, seperti yang biasa dia lakukan (wajahnya yang menyedihkan terlihat cemberut, kebingungan, dan berjerawat), melainkan seorang suster yang mereka kenal dan tidak pedulikan lalu dengan gamblang menjelaskan bahwa putra mereka sekali lagi telah mencoba bunuh diri. Dia baik-baik saja, kata suster itu, tapi kunjungan dari orang tuanya dapat mengganggunya. Tempat itu sangat kekurangan staff; benda-benda ditaruh sembarangan atau tercampur dengan mudahnya, sehingga mereka memutuskan untuk tidak meninggalkan hadiah mereka di kantor itu tapi akan membawakannya lagi saat kunjungan mereka selanjutnya.

Di luar gedung, dia menunggu suaminya membuka payung kemudian meraih lengannya. Suaminya masih terus berdeham, seperti yang biasa dilakukannya saat sedang marah atau kecewa. Mereka sampai di perhentian bus di seberang jalan kemudian dia menutup payungnya. Tidak jauh dari sana, di bawah pohon yang bergoyang-goyang karena diterpa hujan, seekor burung kecil begidik tak berdaya di genangan air.

Sepanjang perjalanan ke stasiun bawah tanah, dia dan suaminya tidak berkata sepatah katapun, dan setiap kali dia melirik tangan suaminya yang sedang bersedekap dan mengejang di pegangan payungnya, dan melihat urat nadinya yang mencuat keluar dan kulitnya yang berbintik-bintik coklat, dia merasakan tekanan deras air mata. Saat dia melihat ke sekelilingnya, mencoba untuk memusatkan pikirannya pada hal yang lain, dia memperhatikan salah satu penumpang di sana—seorang gadis dengan rambut hitam dan kuku kaki yang kotor—sedang menangis di bahu seorang wanita yang lebih tua. Hal itu memberikannya kejutan kecil, campuran perasaan haru dan penasaran. Mirip siapa wanita itu? Dia mirip Rebecca Borisnova yang putrinya telah menikah dengan salah satu pemuda dari keluarga Soloveichick—di Minsk, beberapa tahun yang lalu.

Terakhir kali putranya mencoba bunuh diri, metodenya, dalam kata-kata dokter, merupakan sebuah mahakarya baru; dia pasti telah sukses melakukannya kalau bukan karena pasien di sebelahnya iri dan berpikir bahwa dia sedang belajar terbang sehingga menggagalkan usahanya tepat pada waktunya. Apa yang benar-benar ingin dilakukannya adalah membuat lubang di dunianya dan berlari keluar.

Sistem khayalannya telah menjadi subjek karya ilmiah di jurnal bulanan ilmu pengetahuan, yang telah diberikan oleh dokter agar dapat mereka baca. Tapi jauh sebelum itu, dia dan suaminya telah memahami penyakit putra mereka. “Referential mania,” begitulah yang disebutkan di dalam artikel. Dalam kasus yang sangat langka ini, penderitanya membayangkan semua yang terjadi di sekitarnya merupakan referensi terselubung terhadap kepribadian dan keberadaannya. Dia tidak memasukkan manusia dalam konspirasinya, karena dia menganggap dirinya sendiri lebih pintar daripada manusia lainnya. Fenomena alam selalu membayanginya ke manapun dia pergi. Awan-awan di langit sana saling berbicara, dengan cara memancarkan simbol-simbol atau tanda, saling bertukar informasi secara rinci mengenai dirinya. Pikiran terdalamnya didiskusikan saat malam hari, dalam bentuk alfabet, oleh pohon-pohon yang dahannya dapat bergerak-gerak seperti tangan manusia. Batu kerikil, noda, atau bintik sinar matahari dari berbagai bentuk memberitahunya, dengan cara yang mengerikan, pesan yang harus ditangkapnya. Semuanya merupakan sandi dan dari semua itu dia adalah temanya. Di sekelilingnya ada mata-mata. Beberapanya hanya observer, seperti permukaan kaca dan kolam yang tenang; yang lainnya, seperti mantel di jendela etalase toko merupakan saksi hidup; yang lainnya lagi (air yang mengalir, badai), merupakan tangisan histeris gila yang memiliki pendapat menyimpang terhadapnya, dan secara menakjubkan menyalahartikan tindakannya. Dia harus selalu waspada dan mencurahkan setiap menit dan detik hidupnya untuk memecahkan kode-kode yang datang bergelombang. Setiap udara yang dihirupnya selalu disusun rapi. Kalau saja minat yang ditimbulkannya hanya terbatas pada hal-hal di sekitarnya, tapi, sial, tidak begitu! Dengan adanya jarak, aliran deras skandal liar melimpah dalam hal jumlah dan orang-orang yang membicarakannya. Siluet sel darah merahnya membesar jutaan kali, melintasi dataran luas; dan terus jauh di sana, pegunungan raksasa yang kokoh dan tinggi berkumpul, dalam bentuk granit dan pohon-pohon cemara, kenyataan akan keadaannya yang sebenarnya.

Ketika mereka keluar dari kilat dan udara kotor stasiun bawah tanah, ampas terakhir bercampur dengan lampu jalan2. Dia ingin membeli ikan untuk makan malam, jadi dia menyerahkan keranjang jeli kepada suaminya, lalu memintanya untuk pulang duluan. Dengan patuh, suaminya pulang ke rumah apartemen mereka, berjalan menaiki tangga kemudian teringat kalau dia sebelumnya telah menyerahkan kunci rumah kepada istrinya.

Dia duduk dengan hening di tangga dan dalam diamnya mawar ketika sekitar sepuluh menit kemudian istrinya datang dengan langkah susah payah menaiki tangga, tersenyum lemah lalu menggelengkan kepalanya karena depresi akan keteledorannya. Mereka memasuki flat dua kamar mereka dan suaminya segera beranjak pergi menuju cermin. Dia meregangkan sudut mulutnya dengan jempol, membentuk seringai seperti topeng yang mengerikan, dia melepaskan tambalan gigi baru yang membuatnya tidak nyaman. Dia membaca koran berbahasa Rusia sementara istrinya menaruh makanan di atas meja. Sambil tetap membaca, dia memakan makanan yang tidak perlu dikunyah. Istrinya tahu kalau dia juga sedang ingin berdiam diri.

Ketika suaminya pergi ke kamar tidur, dia tetap di ruang tengah dengan setumpuk kartu permainan yang telah usang dan album foto lamanya. Di seberang halaman rumah yang sempit, di mana hujan bergemerincing dalam kegelapan dan membasahi kaleng abu, jendela-jendela yang berseri-seri dengan lembutnya, dan di salah satunya terdapat seorang pria dengan celana panjang hitam, tangannya mendekap di bawah kepalanya dan sikunya terangkat, dia terlihat sedang tidur terlentang di atas ranjang yang semerawut. Dia menarik pelapis buramnya dan memperhatikan foto-foto itu. Saat masih bayi, putranya lebih terlihat terkejut dibandingkan kebanyakan bayi lainnnya. Sebuah foto pembantu keturunan Jerman yang bekerja pada mereka saat masih tinggal di Leipzig dan tunangannya yang berwajah gemuk menghilang di lipatan foto. Dia membalikkan halaman albumnya; Minsk, Revolusi, Leipzig, Berlin, Leipzig lagi, depan rumah, terlihat sangat buram. Di sini terlihat anak laki-lakinya ketika dia berumur empat tahun, di taman, terlihat pemalu, dengan kening mengkerut, memalingkan wajahnya dari seekor tupai, seperti yang biasa dilakukannya dengan orang asing manapun. Di foto lain terlihat Aunt Rosa, wanita tua bermata liar, cerewet, dan kaku, yang tinggal dalam dunia berita buruk, kebangkrutan, kecelakaan kereta, dan pertumbuhan kanker sampai orang Jerman membunuhnya, bersama-sama dengan orang-orang yang dipedulikannya. Putranya, berumur enam tahun—itu ketika dia menggambar burung yang menakjubkan dengan tangan dan kaki manusia, dan menderita insomnia seperti orang dewasa. Sepupunya, sekarang seorang pemain catur terkenal. Putranya lagi, berumur sekitar delapan tahun, sudah susah dimengerti, takut dengan tempelan dinding di rumah, takut dengan gambar-gambar tertentu dalam buku yang hanya menggambarkan pemandangan tenang dengan bebatuan di sisi bukit dan sebuah roda gerobak tua tergantung di satu cabang pohon yang tak berdaun. Di foto ini dia berumur sepuluh tahun—tahun ketika mereka pergi meninggalkan Eropa. Dia ingat akan rasa malu itu, rasa kasihan, perjalanan yang sangat memalukan, dan anak-anak jelek nakal yang bersama putranya di sekolah khusus yang telah ditetapkan untuknya setelah mereka tiba di Amerika. Dan kemudian tibalah saat di hidupnya, bersamaan dengan perawatan panjang setelah mengalami radang paru-paru, ketika fobia kecilnya yang oleh orang tuanya anggap sebagai keanehan dari anak yang sangat berbakat, secara logis mengukuh menjadi kekusutan padat dari ilusi interaksi, membuatnya benar-benar tidak dapat dimengerti oleh pikiran normal.

Semua ini, dan masih banyak lagi, telah dia terima, karena, bagaimanapun, hidup berarti menerima kehilangan satu demi satu kebahagiaan, tidak, dalam hidupnya bahkan bukan kebahagiaan, hanya sekedar kemungkinan untuk menjadi yang lebih baik. Dia memikirkan kembali arus gelombang kepedihan yang entah mengapa harus diderita oleh dia dan suaminya; kepedihan akan raksasa nyata yang menyakiti putranya dengan cara yang tak pernah mereka bayangkan sebelumnya; akan jumlah kelembutan hati yang tak terhitung di dunia; akan takdir kelembutan hati ini yang dihancurkan atau disia-siakan, atau diubah menjadi kegilaan; akan anak-anak terlantar yang bersenandung kepada diri mereka sendiri di sudut yang tak terjamah; akan rerumputan indah yang tidak dapat bersembunyi dari petani.

Saat itu hari sudah hampir larut malam ketika dari ruang keluarga dia mendengar erangan suaminya, dan kini dia berjalan masuk dengan sempoyongan, mengenakan baju malamnya; mantel tua dengan kerah astrakhan3 yang lebih disukainya dibanding mantel mandi birunya.

“Aku tidak bisa tidur!” katanya.

“Kenapa kau tidak bisa tidur?” Tanya istrinya. “Kau sangat lelah.”

“Aku tidak bisa tidur karena aku sedang sekarat,” jawabnya, lalu duduk di sofa.

“Apa perutmu sakit? Kau ingin aku memanggil Dr. Solov?”

“Jangan dokter, jangan dokter,” rintihnya. “Persetan dengan dokter! Kita harus membawanya keluar dari sana secepat mungkin. Kalau tidak kita akan dihukum… dihukum!” dia menggeser dirinya menjadi posisi duduk, kedua kaki berada di lantai, memukulkan dahinya dengan tangannya yang menggenggam.

“Baiklah,” kata istrinya pelan. “Kita akan membawanya pulang besok pagi.”

“Aku ingin minum teh,” kata suaminya dan pergi menuju kamar mandi.

Dia membungkuk dengan susah payah untuk mengambil beberapa kartu permainan dan foto-foto yang tercecer di lantai—jack hati, sembilan sekop, as sekop, pembantunya; Elsa dan kecantikan liarnya. Suaminya kembali dengan semangat tinggi, lalu berkata dengan suara keras, “Aku sudah memikirkan semuanya. Kita akan memberikannya kamar kita. Masing-masing dari kita akan menghabiskan sebagian malam di dekatnya dan sebagian lagi di sofa ini. Kita akan meminta dokter untuk mengunjunginya paling tidak dua kali seminggu. Tidak masalah apa yang akan dikatakan Pangeran nantinya. Lagipula tidak banyak yang harus dibicarakan karena semuanya lebih murah.”

Telepon berdering. Tidak biasanya telepon berdering jam segitu. Suaminya berdiri di tengah ruangan, meraba-raba mencari sandal yang terlepas dengan kakinya, dan dengan raut kekanakan memandang istrinya dengan mulut menganga. Karena istrinya lebih fasih berbahasa Inggris dibandingkan suaminya, dia yang selalu menjawab telepon.

“Bisa saya bicara dengan Charlie?” terdengar suara monoton seorang gadis.

“Anda ingin menelepon nomor berapa? … tidak. Anda memutar nomor yang salah.”

Dia menutup gagang teleponnya dengan perlahan dan meletakkan tangan di atas jantungnya. “Menakutiku saja,” katanya.

Suaminya tersenyum sekejap dan segera melanjutkan monolognya. Mereka akan mengeluarkan putranya segera keesokan harinya. Untuk perlindungan dirinya, mereka akan menaruh semua pisau di laci yang terkunci. Bahkan di saat-saat terparahnya, dia tidak membahayakan orang lain.

Telepon berdering untuk kedua kalinya.

Suara anak muda yang monoton dan gelisah meminta untuk berbicara dengan Charlie.

“Anda salah sambung. Kujelaskan padamu, kau memutar huruf ‘o’, bukan nol.” Lalu dia menutup teleponnya.

Mereka duduk bersama menikmati hidangan teh tengah malam. Suaminya menyesap tehnya keras-keras; wajahnya memerah; sebentar-sebentar dia mengangkat gelasnya dengan gerakan memutar agar gulanya larut. Urat nadi di sisi kepalanya yang botak menekan keluar dengan jelas, dan bulu-bulu halusnya yang meremang terlihat di dagunya. Hadiah ulang tahun tergeletak di meja. Sementara istrinya menuangkannya segelas teh, dia mengenakan kacamatanya dan kembali memasati dengan bahagianya mangkuk-mangkuk kecil berwarna kuning, hijau, dan merah itu. Bibirnya yang lembab mengeja labelnya—aprikot, anggur, beach plum, quince. Dia mengumpat apel ketika telepon kembali berdering.

[tamat]

Catatan penerjemah:
1.      Sanatorium; tempat perawatan untuk pasien yang hampir sembuh atau sedang menderita penyakit kronis.
2.     “… ,the last dregs of the day were mixed with the street lights.”
3.     Astrakhan; bulu domba hitam dari anak biri-biri karakul dari Asia Tengah.

No comments:

Post a Comment