PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

The Bet

[Taruhan]
 
Anton Chekhov

Di suatu malam, di musim gugur, seorang banker yang telah berusia lansia berjalan mondar-mandir di ruang kerjanya. Dia mengingat-ingat kembali sebuah pesta yang diadakannya pada malam yang sama lima belas tahun yang lalu. Di sana berkumpul banyak pria cerdas dan mereka membicarakan hal-hal yang sangat menarik, di antaranya adalah topik tentang hukuman mati. Kebanyakan tamu yang berasal dari kalangan jurnalis dan cendikiawan menolak adanya hukuman mati. Mereka berpendapat bahwa bentuk hukuman seperti itu kuno, tidak bermoral, dan tidak sesuai dengan Negara yang mayoritas penduduknya menganut agama Kristen. Lanjut mereka, hukuman mati seharusnya digantikan dengan hukuman seumur hidup. “Saya tidak setuju dengan Anda,” sanggah sang banker yang menjadi tuan rumah pada saat itu. “Saya memang belum pernah mencoba hukuman mati ataupun hukuman seumur hidup, tapi berdasarkan sebuah teori, hukuman mati lebih bermoral dan manusiawi dibandingkan hukuman seumur hidup. Hukuman mati membunuh seseorang secepat kilat, namun hukuman seumur hidup membunuh seseorang pelan-pelan. Algojo mana yang menurut Anda lebih manusiawi; yang membunuh Anda dalam hitungan detik atau yang membunuh Anda dalam hitungan tahun?”

“Keduanya sama-sama tidak bermoral,” sahut seorang tamu, “karena keduanya sama-sama mencabut nyawa seseorang. Negara bukanlah Tuhan. Kita tidak punya hak untuk mengambil sesuatu yang tidak dapat kita kembalikan.”

Di antara tamu-tamu tersebut, ada seorang pengacara muda berumur sekitar dua puluh tahunan. Ketika ditanya apa pendapatnya, dia berkata, “Hukuman mati dan hukuman seumur hidup sama-sama tidak bermoral, namun jika saya harus disuruh memilih, maka saya akan memilih hukuman seumur hidup, karena hidup lebih baik daripada mati.”

Diskusi panas pun terjadi. Sang banker yang pada saat itu lebih muda dibandingkan sekarang, segera terbawa emosi dan memukul meja lalu berteriak pada sang pemuda, “Tidak benar! Aku berani bertaruh dua juta dolar kalau kau tidak akan tahan dikurung sendirian selama lima tahun.”

“Jika Anda memang serius,” jawab pemuda itu, “saya akan menerima taruhan ini, dan saya bahkan mau dikurung selama lima belas tahun.”

“Lima belas? Setuju!” teriak sang banker. “Saudara-saudara, saya mempertaruhkan dua juta dolar!”

“Setuju! Anda mempertaruhkan uang, saya mempertaruhkan kebebasan!” balas sang pemuda.

Dan taruhan gila dan tidak masuk akal itu pun dilaksanakan! Sang banker yang sangat kaya raya merasa puas dengan taruhan itu. Saat makan malam, dia menertawakan sang pemuda dan berkata, “Coba pikirkanlah lagi, anak muda, masih belum terlambat untuk mengubah pikiran. Bagiku dua juta dolar bukanlah apa-apa, namun sayang sekali jika kau kehilangan tiga atau empat tahun dari masa mudamu. Kubilang tiga atau empat karena kuyakin kau pasti tidak akan tahan terkurung lebih lama. Dan jangan lupa juga bahwa kurungan sukarela lebih berat dijalani daripada kurungan wajib, karena kau akan terus berpikir bahwa kau dapat keluar kapanpun kau mau. Aku merasa sangat kasihan padamu.”

Dan sekarang, sang banker berjalan mondar-mandir sambil mengingat-ingat kejadian malam itu dan bertanya pada dirinya sendiri, “Apa gerangan maksud taruhan itu? Apakah ada manfaatnya jika pemuda itu kehilangan lima belas tahun dari masa hidupnya atau jika aku kehilangan dua juta dolar? Apakah taruhan itu dapat membuktikan bahwa hukuman mati lebih baik atau lebih buruk dibanding hukuman seumur hidup? Tidak. Taruhan itu tidak masuk akal dan tidak ada manfaatnya. Saat itu aku terlalu sombong karena kekayaan yang kumiliki, sedangkan dia terlalu serakah.”

Kemudian dia teringat dengan apa yang selanjutnya terjadi malam itu. Mereka memutuskan bahwa sang pemuda harus menghabiskan masa kurungannya dengan pengawasan yang ketat di salah satu gubuk milik sang banker. Selama masa kurungannya, sang pemuda tidak diperbolehkan keluar dari gubuk, menemui manusia lain, mendengar suara manusia, atau menerima surat dan koran. Namun dia diizinkan untuk memiliki instrumen musik, buku, mengirim surat, meminum wine, dan merokok. Selama masa hukuman, dia hanya diperbolehkan melihat dunia luar melalui jendela kecil di gubuk tersebut. Dia boleh memiliki buku, musik, wine, dan lain-lain dalam jumlah yang diinginkannya dengan cara menulis pesanannya di sebuah kertas, lalu dia akan menerimanya melalui jendela kecil. Peraturan-peraturan tersebut dibuat sedetil-detilya untuk memastikan sang pemuda merasa sangat terkurung di sana selama lima belas tahun mulai dari jam dua belas siang tanggal 14 November 1870 sampai jam dua belas siang tanggal 14 November 1885. Jika sang pemuda mencoba melanggar peraturan yang telah disetujui, bahkan jika dia mencoba melarikan diri dua menit sebelum dibebaskan, maka sang banker tidak perlu memberinya dua juta dolar.

Di tahun pertama masa kurungannya, sang pemuda sangat menderita karena merasa kesepian dan depresi. Hal itu tampak jelas dari cacatan singkat yang ditulisnya. Dari gubuk di mana dia terkurung, terdengar suara piano yang terlantun siang dan malam. Dia menolak diberikan wine dan rokok. Tulisnya, wine dapat membangkitkan hasrat, sedangkan hasrat adalah musuh terberat bagi seorang tawanan. Lagipula tidak ada yang lebih menyedihkan dibandingkan meminum wine lezat tanpa seorang pun yang menemani. Dan rokok dapat mencemari udara di kamarnya. Saat itu dia juga menulis beberapa novel ringan yang bercerita mengenai asmara, kisah sensasional, dan fantastis.

Di tahun kedua, melodi piano tidak lagi terdengar dari gubuknya, dan sang pemuda hanya meminta diberikan musik-musik klasik. Di tahun kelima, melodi musik kembali terdengar, dan dia juga meminta wine. Orang-orang yang pernah melihatnya melalui jendela mengatakan bahwa dia hanya menghabiskan waktunya dengan makan, minum, dan berbaring di kasur. Dia juga sering menguap dan marah-marah dengan dirinya sendiri. Dia tidak membaca buku. Terkadang, di malam hari dia duduk dan menulis. Dia banyak menghabiskan waktunya dengan menulis, dan pagi harinya dia akan merobek semua yang telah ditulisnya. Sekali-sekali juga terdengar dia sedang menangis.

Di tahun keenam, sang pemuda mulai mempelajari bahasa, filsafat, dan sejarah dengan tekun. Dia sangat mendalami semua itu sampai sang banker kewalahan untuk memenuhi pesanan buku yang diinginkannya. Selama empat tahun belakangan saja sudah enam ratus buku yang dipesannya. Suatu hari sang banker menerima sebuah surat dari sang pemuda yang berisi sebagai berikut;

Kepada penawanku, kutuliskan baris-baris suratku dalam enam bahasa berbeda. Tunjukkan pada siapapun yang memahami bahasa-bahasa tersebut. Jika mereka tidak menemukan satu kesalahan sedikit pun, maka kuminta kau untuk menembak ke udara di taman. Tembakan itu akan membuktikan padaku bahwa usahaku tidaklah sia-sia. Para jenius dari semua usia dan dari segala penjuru berbicara dengan bahasa yang berbeda-beda, namun api yang sama berkobar di dalam jiwa mereka. Oh, andai saja kau tahu betapa bahagianya aku dapat memahami mereka semua!
Keinginannya pun dipenuhi. Sang banker memerintahkan pelayannya untuk menembak dua kali ke udara di taman.

Kemudian, setelah tahun kesepuluh berlalu, sang pemuda duduk terpaku di mejanya dan hanya membaca kitab Injil. Sang banker merasa aneh melihat seseorang yang telah menguasai enam ratus buku menghabiskan satu tahun masa hidupnya membaca satu buku tipis yang sangat mudah dimengerti. Setelah dia mempelajari Injil, dia melanjutkannya dengan mempelajari teologi dan sejarah.

Setelah menjalani masa kurungan selama tiga belas tahun, sang tawanan membaca berjilid-jilid buku secara acak. Terkadang dia sibuk mempelajari ilmu pengetahuan alam, kemudian dia akan memesan buku karangan Byron atau Shakespeare. Ada kalanya dia memesan buku-buku tentang kimia, pengobatan manual, novel, dan filsafat atau teologi. Buku-buku yang dibacanya seolah membuat dia seperti seseorang yang berenang di kapal yang akan karam, dan dia mencoba menyelamatkan nyawanya dengan berpegangan pada apapun yang ada di sekitarnya.

Sang banker mengingat semua ini dan berpikir, “Jam dua belas esok dia akan kembali meraih kebebasannya. Sesuai kesepakatan kami, aku harus memberinya dua juta dolar. Namun jika aku membayarnya, maka tamatlah aku. Hidupku akan benar-benar hancur.”

Lima belas tahun yang lalu, harta kekayaannya memang melimpah. Sekarang dia bahkan takut memastikan yang mana yang lebih besar; hutangnya atau hartanya. Uangnya telah terkuras karena keteledorannya di pasar saham. Dulu dia adalah orang yang sombong, tak mengenal takut, dan percaya diri. Kini dia hanyalah seorang banker kecil yang akan gemetaran pada naik turun nilai investasinya. “Taruhan terkutuk!” gumam sang banker sambil memegangi kepalanya dengan putus asa. “Kenapa dia tidak mati saja? Sekarang umurnya empat puluh tahun. Dia akan menguras hartaku sampai ludes, kemudian dia akan menikah, menikmati masa hidupnya, dan bertaruh di pasar saham. Sedangkan aku hanya akan dapat memandanginya seperti pengemis dan mendengarkannya mengatakan hal yang sama berulang-ulang; “’Aku berhutang padamu karena kau telah membuat hidupku bahagia. Sekarang izinkan aku menolongmu.’ Tidak! Aku tidak mau itu terjadi! Satu-satunya cara agar aku terhindar dari kebangkrutan dan malu adalah dengan membunuhnya!”

Sekarang jam tiga siang. Semua orang di rumah sang banker sedang tertidur lelap, dan tidak ada satupun orang di luar sana selain gemerisik daun di pepohonan. Dengan sangat perlahan agar tidak menimbulkan suara, dia mengambil kunci pintu gubuk di mana tawanannya berada dari brankas, lalu mengenakan jaket, dan pergi ke luar.

Suasana di taman gelap dan dingin. Hujan mengguyur dengan deras. Angin yang menderu-deru menabrak pepohonan. Sang banker mencoba memfokuskan matanya, namun tidak ada yang dapat dilihatnya dengan jelas. Sambil berjalan ke gubuk, dia memanggil penjaga dua kali. Tidak ada jawaban. Sang penjaga pastilah telah mencari tempat berlindung dan sekarang sedang tidur di dapur atau rumah kaca.

“Jika aku berhasil menjalankan misiku,” pikir sang banker, “maka orang pertama yang akan dicurigai adalah si penjaga.”

Dia berjalan sambil meraba-raba ke gubuk, dan berhasil masuk ke sana. Kemudian dia menyalakan pemantiknya. Tidak ada satupun orang di sana. Di sana hanya ada kasur, dan di sudut ada kompor. Segel di pintu kamar tawanannya masih utuh.

Saat pemantiknya mati, sang banker mengintip dengan gemetaran melalui jendela kecil di sana. Sebatang lilin menyala dengan redup di kamarnya. Dia sedang duduk di meja. Sang banker tidak dapat melihat apa-apa selain punggung, rambut, dan tangannya. Buku berserakan di mana-mana; di meja, kursi, dan lantai.

Lima menit berlalu dan sang tawanan tidak bergerak sedikitpun. Sang banker pun mengetukkan jarinya di jendela, namun tidak ada balasan. Kemudian dengan hati-hati dia merusak segel di pintu dan memasukkan kuncinya. Karat menimbulkan suara mengerek dan pintu pun terbuka. Sang banker mengira tawanannya akan langsung berteriak terkejut, namun tiga menit berlalu dan tidak terdengar apa-apa. Dia pun melangkah masuk.

Di meja, seseorang dengan tubuh aneh duduk tak bergeming. Tubuhnya tampak seperti tengkorak dengan kulit yang menempel ketat pada tulangnya, rambut panjang dan keriting seperti perempuan, dan janggut yang kusut. Wajahnya berwarna kekuningan, pipinya cekung, punggungnya panjang dan kurus, dan tangan yang menjadi alas kepalanya sangat kurus sehingga tampak mengerikan. Rambutnya telah beruban dan melihat wajahnya yang terlihat tua, tidak akan ada seorang pun yang akan percaya bahwa umurnya masih empat puluh. Dia masih terlelap. Di depan kepalanya yang tertunduk, ada sehelai kertas dengan tulisan yang indah.

“Malang sekali nasibnya!” pikir sang banker, “dia terlelap dan pastilah sedang memimpikan uang dua juta dolarnya. Dan aku hanya harus mengangkat orang setengah mati ini ke ranjang, lalu membekapnya dengan bantal, dan seorang ahli sekalipun tidak akan menemukan tanda-tanda kekerasan. Tapi, coba kubaca dulu apa yang ditulisnya ini…”

Sang banker mengambil secarik kertas tersebut dari atas meja dan mulai membacanya.

Besok, pada jam dua belas siang, aku akan kembali meraih kebebasanku dan dapat berkumpul dengan manusia lainnya, namun sebelum aku meninggalkan kamar ini dan melihat mentari pagi, kurasa aku harus menyampaikan beberapa patah kata kepadamu. Dengan penuh sadar diri, aku bersumpah atas nama Tuhan yang memegang nasibku, bahwa aku membenci kebebasan, kesehatan, dan semua hal yang kau anggap indah.
“Selama lima belas tahun aku mempelajari kehidupan di bumi ini. Memang benar, aku belum pernah melihat bumi maupun manusia, tapi melalui buku aku telah meminum wine yang harum, menyanyikan lagu, berburu rusa dan babi liar di hutan, mencintai wanita… Kecantikan sehalus awan yang tercipta oleh para pujangga menghampiriku setiap malam, dan mereka membisikkan ke telingaku kisah-kisah menakjubkan yang membuatku mabuk kepayang. Berkat bukumu aku telah memanjat puncak Elburz dan Mont Blanc, dan dari sana aku menyaksikan matahari terbit dan malam menyelimuti langit, lautan, dan puncak-puncak gunung dengan warna emas dan merah darah. Dari sana pula aku menyaksikan kilat bergemuruh di atas kepalaku dan membelah lautan awan. Aku telah melihat hutan yang hijau, ladang, sungai, danau, dan kota-kota. Aku telah mendengar nyanyian siren[1]. Aku telah menyentuh sayap iblis yang turun ke bumi. Di bukumu aku telah menjerumuskan diriku ke dalam jurang tak berdasar, menciptakan mukjizat, menebas manusia, membakar kota, mengajarkan agama baru, dan menguasai seluruh kerajaan.
“Buku-bukumu telah mengajarkanku kebijaksanaan. Semua ilmu pengetahuan yang ada telah tertumpuk di dalam otakku. Sekarang pastilah aku lebih bijaksana dibanding semua orang.
“Dan aku membenci buku-bukumu, aku membenci pengetahuan dan anugerah hidup ini. Itu semua tidak berguna dan seperti ilusi. Kalian boleh merasa bangga dan bijak, namun kematian akan menghapus kalian dari muka bumi seolah kalian tidak lebih dari seekor tikus yang bersembunyi di bawah lantai, lalu keturunanmu, sejarahmu, dan kejeniusanmu akan terbakar atau membeku bersama dengan bumi ini.
“Kalian telah kehilangan akal dan mengambil jalan yang salah. Kalian menukar kebohongan dengan kebenaran dan kejelekan dengan keindahan. Kalian akan terkejut jika melihat katak atau kadal tiba-tiba tumbuh dari pohon apel atau jeruk, atau jika bunga mawar mengeluarkan bau seperti keringat kuda. Dan akupun tak habis pikir melihat kalian menukar surga dengan bumi. Tapi aku juga tak ingin memahamimu.
“Untuk membuktikan betapa aku membenci semua yang ada di dunia ini, aku tidak akan menerima uang dua juta yang dahulu sangat aku idamkan namun sekarang kubenci. Agar aku tidak menerima uang tersebut, aku akan melanggar peraturan dengan cara keluar dari tempat ini lima jam sebelum waktu yang telah ditentukan.”
Setelah selesai membaca surat tersebut, sang banker kembali menaruhnya di atas meja, lalu menciumnya di kepala, kemudian keluar dari gubuk sambil menangis. Dulu, bahkan jika dia rugi banyak di pasar saham, dia tidak akan pernah merasa dirinya hina seperti ini. Ketika dia sampai di rumah, dia segera berbaring di ranjang, namun air mata dan hatinya membuatnya tidak dapat tertidur selama berjam-jam.

Keesokan harinya sang penjaga berlari dengan wajah pucat. Dia mengatakan bahwa orang yang tinggal di gubuk telah memanjat keluar melalui jendela, berlari ke pagar, lalu menghilang. Sang banker pergi bersama pelayannya ke gubuk untuk memastikan kepergian tawanannya. Untuk menghindari pembicaraan yang tidak diinginkan, dia mengambil surat di atas meja yang menjelaskan bahwa tawanannya menolak uang yang telah dijanjikan, dan sesampainya di rumah, dia menguncinya di dalam brankas.

[selesai]
Catatan Penerjemah:
[1]      Siren; Makhluk dari mitologi Yunani yang berwujud perempuan dan nyanyiannya dapat memikat para pelaut sampai lupa diri dan menabrak karang.

No comments:

Post a Comment