(Nada)
Pengarang: YZ Chin
Aku
senang ketika teman-temanku memperkenalkanku kepada orang-orang baru, walaupun
aku selalu menghindarinya. Aku suka dengan expresi bangga dan hormat yang
mereka pakai ketika mereka mengatakan “Ini Sandy – dia tuna rungu”, seakan-akan
aku adalah bukti perbuatan baik mereka. Aku juga suka expresi terkejut selama
beberapa detik di wajah-wajah orang baru, terburu-buru tersenyum dan melakukan
pemalsuan terbaik mereka terhadap apa yang mereka pikirkan sebagai ‘wajah
normal’ mereka. Jika mereka melakukan ritual itu dengan cukup baik, aku akan membalikkan
kepalaku sedikit dan menyelipkan rambutku di belakang salah satu telingaku,
yang manapun yang lebih dekat dengan mereka. Mereka tidak pernah gagal untuk
mengatakan sesuatu yang baik tentang alat bantu pendengaranku yang berwarna
pink, sementara teman-teman sehari-hariku menoleh ke arah lain.
Sebenarnya,
aku berpikir untuk mulai mengoleksi alat bantu pendengaran. Mereka akan menjadi
aksesoris yang lebih bagus daripada anting-anting. Sekali waktu, aku melihat
sebuah katalog untuk alat bantu pendengaran berbentuk klip on dan kover-kover
alat bantu pendengaran, dan produk-produk itu sangat beragam dalam hal bentuk
dan warna. Itu seperti tas tangan mahal yang ayahnya Ester berikan untuknya
ketika kami masih di SMA. Kami semua hanya bisa mengaguminya, tapi tidak bisa
menirunya, karena ayah-ayah kami tidak cukup kaya untuk menghambur-hamburkan
uangnya kepada kami seperti itu. Dan sekarang, hanya aku yang bisa memakai alat
bantu dengar. Teman-temanku tidak bisa melakukan apa-apa selain membicarakan
ini secara berlebihan.
Jujur
saja, aku cukup suka ke-tuli-an ku. Itu tidak mudah di tahun pertama setelah
kecelakaan mobil dan kantong udara yang meledak dengan bodohnya itu, namun
sekarang itu menjadi sesuatu yang membuatku spesial di antara teman-temanku.
Tidak ada satupun teman dekatku yang cacat dalam mendengar, sederhana saja, itu
karena aku tidak tuli sejak lahir. Saat aku kehilangan pendengaranku, aku sudah
mengumpulkan banyak orang disekitarku, dan kebanyakan mereka segera
berpartisipasi dalam cerita drama ini.
Kau
tahu bagaimana ketika kau membicarakan tentang teman-temanmu, kau memanggil
mereka sebagai Drew sang bartender, Carol sang feminis, Greg sebagai seseorang
yang dapat mengencangkan batang cherry dengan lidahnya dan seterusnya? Sementara aku adalah Sandy sang Gadis Tuli.
Aku suka itu. Aku tidak punya sifat ataupun kemampuan mengesankan yang lainnya.
Tidak pernah punya.
Itu
juga lebih dari sangat mengesankan. Aku yakin banyak kejadian penting di
hidupku tidak akan pernah terjadi atau berhasil dengan cara yang sama jika aku
tidak mengenakan alat bantu pendengaran berwarna pink ini. Contohnya hal dengan
Colin.
Aku
pertama kali bertemu Colin di pesta di sebuah apartemen. Ketika Carol yang
feminis saling memperkenalkan kami, aku menyelipkan rambutku di belakang kedua
telingaku dan membungkuk lebih dekat, bukan karena dia melakukan ritual
tersebut dengan baik, tapi karena dia tercengang. Kau seharusnya melihat
senyumnya yang kembali merekah setelah keterkejutan yang tak terhindarkan itu.
Kami
pergi mencari minuman setelah berjabat tangan, dan di suatu tempat di antara
apa yang berfungsi sebagai bar wine dan bangku, kami kehilangan Carol.
“Apa
kau biasanya membaca bibir seperti ini? Atau kau juga menggunakan isyarat?”
tanyanya setelah beberapa saat.
“Aku
kebanyakan hanya membaca bibir karena itu lebih mudah dimengerti daripada
isyarat, walaupun itu bukanlah satu-satunya alasan aku menatap bibirmu,” kataku
padanya.
Dia
tertawa. Kami mengobrol lagi, dan kemudian tuan rumah menaikkan volume musik
dan meredupkan cahaya lampu untuk “dance floor”, dan aku harus lebih dekat
dengan dia, lebih dekat lagi agar aku bisa tetap melanjutkan membaca bibirnya
di kegelapan semu ini. Dan aku berhasil melakukannya.
Kami
bertukar nomor handphone, seperti biasanya, dan seminggu kemudian Collin
melakukan hal yang tak kuduga – meneleponku. Kami jalan-jalan keluar, memuaskan
diri kami sampai salah satu dari kami tetap telihat baik-baik saja di siang
yang tenang, dan membaca bibirnya lagi. Dalam waktu dua bulan Colin dan aku
berpacaran.
Colin
adalah pacarku yang pertama semenjak kecelakaan itu, dan aku sekarang berpikir
tentang itu, aku ragu jika kehidupan percintaan paska kecelakaan itu
berhubungan dengan perasaan gelisah ini. Aku tidak tahu, aku mencoba untuk
tidak memikirkan tentang beberapa tahun terakhir ketika itu terasa sulit.
Ada
beberapa kesulitan yang kurang berarti dan tentu saja terasa canggung. Di kencan
kami yang ke-empat, Colin mengundangku kembali ke aparteen miliknya untuk
menonton Film Blockbuster. Rupanya itu adalah modus operandinya, dan aku tidak
bisa mengatakan bahwa aku tidak menduga itu sebelumnya, walaupun aku merasa
sedikit jengkel ketika dia tidak menyadari dengan segera apa yang sedang
dilakukannya adalah salah.
Dia
mematikan lampunya dan tentu saja memasang subtitle untuk film tersebut. Di
tengah-tengah menonton, tiba-tiba aku merasakan sensasi yang aneh – kupikir
Colin sudah mencair atau entah bagaimana telah menjadi kursinya sendiri, dan
aku sedang duduk di atasnya dan dipeluk oleh Colin, mengambang dalam kegelapan
dan tidak mampu melepaskan pandanganku dari sinar dunia lain yang berjarak lima
kaki di depan. Rasanya aneh. Lalu kemudian Colin menyender dan mulai
membisikkan hal-hal manis namun terasa hampa ke telinga kiriku yang tak dapat
mendengar. Yang kudapat hanyalah hembusan nafas hangat di telingaku.
Aku
mendorongnya. Kurasa aku hanya merasa aneh karena teringat bahwa aku tuli, dan
itu menjadi lebih parah karena kegelapan ini… sensasi kehilangan dua panca
indra rasanya sedikit berlebihan.
Itu
adalah kemunduran kami yang pertama, dan hal sekecil itu dapat kami atasi
dengan segera. Sisa dari malam tersebut kami habiskan dengan mencari tahu
bagaimana bibirnya dapat dimanfaatkan dengan baik dengan cara yang dapat
kumengerti, bahkan di kegelapan.
Sehingga
Colin tahu. Itu tidak berbeda dengan mencari tahu kebiasaan masing-masing,
seperti sebuah cerita tambahan di sebuah game yang telah lama kami selesaikan,
sehingga sekali lagi permainan itu menjadi menantang. Dia benar-benar memainkan
permainan kencan itu dengan cukup baik, dari yang kuketahui.
Perayaan
ulang tahun kami yang pertama adalah ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga. Aku
memberikannya dua tiket untuk pergi ke konser Rammstein; aku tahu dia suka
sekali dengan band itu. Ketika aku memperlihatkan tiket itu, dia mulai berseru
dan tertawa, namun kemudian tiba-tiba berhenti.
“Sandy,
apa kau yakin? Maksudku, bisakah kau… menikmati konsernya?”
Aku
menyelipkan rambutku di belakang telinga dan tersenyum kepadanya.
“Pertama-tama,
siapa yang bilang aku mau menikmati konsernya? Aku tidak pernah suka dengan hal
keras, dan memecahkan kepala yang kau sebut musik itu…”
“Hah!”
“…
Kedua, aku dapat mendengar hampir semua hal yang lebih keras dari teriakan yang
kencang, ingat? Jadi kita tidak akan apa-apa untuk menonton konsernya.”
Senyumnya
sangat indah. Aku menyelipkan rambutku di belakang telingaku yang lain.
Itu
merupakan sukses besar, konser Rammstein-nya. Aku tidak pernah melihatnya
terlihat sangat antusiasme, sangat terdorong oleh energi sebelumnya, juga tidak
pernah aku melihatnya seperti itu lagi. Kami bahkan tidak cukup dekat untuk
melihat band itu, karena aku tidak benar-benar merogoh kantongku untuk dapat
menonton dari kursi barisan depan. Colin benar-benar terbawa oleh alunan musik.
Aku membayangkan gendang telinganya, bergetar seperti orang gila, menggeliat
dalam kondisi puncak non-stop di suatu tempat di dalam telinganya, tak terlihat
dengan sepasang mata telanjang.
Aku
merasa sedikit iri, sebenarnya, sesuatu yang kupikir sudah berhenti kulakukan
selamanya ketika aku berhenti bertanya “Kenapa aku?”
Aku
kebanyakan melihat ke arah Colin malam itu, melihatnya melompat-lompat,
seruannya, senyum lebarnya, dan keringatnya yang berkilauan dalam cahaya
warna-warni yang berjalan seolah-olah mereka hidup. Aku dapat mendengar suara
gitar listrik yang dikeraskan dan teriakan-teriakannya baik-baik saja, dan aku
dapat merasakan hentakan drum di lantai. Tapi itu terasa tidak sama.
Sebulan
setengah kemudian, Colin memberikanku hadiah berupa dua tiket di hari ulang
tahunku, menyelipkan tangannya di dalam celananya dan baru menemukannya setelah
bajunya melorot. Itu adalah tiket untuk mendapatkan tanda tangan di buku dan acara
menulis yang dihadiri oleh Emily Barnes, seorang penulis yang sangat kukagumi.
“Maaf,
karena acaranya minggu depan bukan hari ini, tapi kupikir kita bisa merayakan
ulang tahunmu dua kali dengan cara yang sama,“ dia mengedipkan matanya.
Aku
lebih dari bersemangat. Seminggu sebelum acara itu berlangsung, aku kembali
membaca buku-bukunya dan sangat bingung untuk memilih di antara salah satu dari
empat buku ini yang harus kubawa untuk mendapatkan tanda tangannya, karena kami
hanya diperbolehkan untuk masing-masing mendapatkan satu tanda tangan. Colin
tertawa padaku dan mengatakan aku bertingkah seperti anak remaja yang suka
mengikuti trend ketika aku menyuruhnya berjanji untuk mengantri juga, sehingga
aku bisa mendapatkan dua tanda tangan daripada hanya satu.
Di
hari acara itu, kami tiba di toko buku itu lebih cepat. Mereka telah
mengosongkan bagian dari toko buku itu dengan memindahkan rak-rak bukunya ke
belakang, sehingga seluruh tempat terlihat lebih padat daripada yang kuingat,
seperti sebuah hutan yang telah diubah dengan sihir dan tumbuh sendiri dalam
semalam. Aku tentu saja merasakan keajaibannya, melihat panggung sementara dan
setengah bangku-bangku yang telah terisi.
Colin
memegang tanganku dan memanduku untuk duduk di barisan paling belakang. Ketika
aku memprotes, dia tersenyum dan menunjuk ke speaker yang terpasang tepat di
belakang kami.
“Tapi
aku bisa membaca bibirnya jika kita duduk di depan!”
“Tapi
itu bukan intinya membaca, iya kan?”
“Tapi-“
“Apa
kau mengagumi kata-katanya atau penampilannya? Apa kau lebih memilih untuk
mendengar interpretasi textnya atau melihat wajahnya?”
Aku
duduk, menggenggam erat dua buku Emily Barnes, yakin akan malam itu, dan juga
Emily Barnes, Colin, dan juga kami.
Ini
seharusnya bisa sempurna. Kadang-kadang aku tetap berpikir tentang itu.
Manajer
toko itu berjalan ke atas panggung tepat jam 6 malam. Hak tinggi hijau miliknya
nampak mengkhawatirkan, dan aku membayangkan suara yang keluar dari tiap
langkah kakinya.
“Selamat
datang, tuan-tuan dan nyonya-nyonya,” katanya.
System
pengeras suaranya tidak berkualitas bagus, dan toko buku itu memang tidak
dirancang untuk hal seperti ini, tapi aku bisa mengerti setiap kata tentang
perkenalan Emily Barnes yang disampaikan oleh manajer toko jika aku fokus.
Colin mencengkeram tanganku dan mengangkat alis matanya padaku. Aku
memberikannya senyuman termanisku dan mengangguk.
Lalu
Emily Barnes sendiri melangkah ke panggung sementara itu. Orang-orang bertepuk
tangan di setiap barisan di depan kami sampai ke panggung. Emily Barnes
membungkuk sedikit, dan tersenyum, lalu menerima microphone dari tangan manajer
toko.
“Hello.”
Katanya dari belakangku, dari speaker. Setelah berhenti sejenak dia tersenyum
meminta maaf dan berkata, “Aku tidak pernah suka hal seperti ini.”
Lalu
kemudian dia menaruh microphonenya di lantai panggung. Dia memposisikan
dirinya, dan bibirnya mulai bergerak. Awalnya aku tidak menyadari ini, atau
kalaupun aku sadar, otakku tidak memproses beberapa detik dari itu. Aku sangat
terkejut.
Sedetik
kemudian, ketika aku mulai membaca bibir Emily Barnes, aku merasakan mata
Collin mengarah padaku. Aku melihat dan menatap matanya, dan dia mulai
mengangkat tangannya.
“Jangan!”
aku berbisik dengan sedikit keras padanya dan meraih tangannya.
Colin
terlihat marah terhadap Emily Barnes. Melihat keningnya berlipat, alis matanya
berkerut, tiba-tiba aku mendapatkan mental video yang jelas saat berada di
konser Ramstein. Betapa gembiranya dia. Lompatan-lompatannya, seruannya, senyumnya
yang lebar, dan keringatnya yang berkilauan di cahaya warna-warni yang berjalan
seolah-olah mereka hidup.
“Jangan.”
Kataku padanya. Sambil duduk di kursi plastik dengan video ulang tahunnya
bermain di kepalaku, tiba-tiba aku mendapatkan keinginan untuk amat sangat
bahagia, gembira, melompat-lompat dan berseru dan tersenyum. Aku telah
ditentukan untuk bahagia, saat ini, di sini, dengan hadiah ulang tahunku.
“Kenapa
jangan?” Tanya Collin.
“Aku
bisa membaca nada suara yang keluar dari bibirnya,” kataku padanya.
“Apa?”
“Shhh.”
Aku
berdiri, menapaki jalanku melewati lutut dan berjalan sampai aku berada di
tempat dekat dengan panggung ketika aku bisa berdiri tanpa menutupi pandangan
siapapun. Colin tetap berada di kursi plastiknya sebentar, namun akhirnya dia
datang dari belakang dan manaruh lengannya di sekelilingku. Aku berbelok dan tersenyum
padanya, senyum yang cerah seperti apa yang kurasakan di dalam diriku.
Selama
beberapa detik, membaca bibir Emily Barnes adalah pengecualian. menghembuskan
napas kehidupan ke kata-katanya. Membuatnya menjadi hidup dengan cara yang tak
dapat kubayangkan. Bibirnya bergerak, berpisah, menutup, bergerak, dan aku
mendengar kesedihan halus, sedikit kegembiraan, penyesalan yang pelan – semua
itu tertampung di prosanya, tidak pernah benar-benar ditemukan sampai saat itu.
“Jadi
bagaimana tepatnya kau menentukan nada expresi dari membaca bibir?” Colin
bertanya saat berjalan keluar.
Aku
tersenyum kebawah melihat bukuku yang telah ditandatangani.
“Itu
pertanyaan yang bodoh. Itu seperti menanyakan orang buta apa yang mereka
impikan ketika mereka tidur.”
Aku
berjalan lebih cepat. Colin berusaha berjalan sejajar denganku. Kami tidak
berbicara saat berjalan kembali ke apartemenku.
***
Jika
sebuah pohon jatuh di sebuah hutan, dan tidak ada seorangpun yang mendengarnya,
apa itu menimbulkan suara? Jika ada dua orang yang bertengkar, dan salah
seorang dari mereka tidak mendengarkan kata-kata dari yang lain, bisakah
kesalahan tersebut diperbaiki?
***
Seminggu
setelah acara di toko buku itu, Colin dan aku bertengkar untuk pertama kalinya.
Dia ingin membatalkan makan malam yang telah lama kami rencanakan. Alasannya
adalah pertunjukan film indi pertama temannya.
“Pertunjukan?
Pertunjukan apa? Itu akan diadakan di ruang bawah tanahnya, demi Tuhan!”
“Itu
tidak masalah, okay, spesialitasnya memang di film dengan dana rendah, dan di samping
itu, dia menghabiskan setahun penuh pada film itu, okay? Kau tidak bisa
menghargai film, itu saja!”
“Jangan
kau menggunakan nada seperti itu padaku!”
Sebentar
saja lalu aku mengerti arti diamya.
“Benar,”
dia akhirnya berkata. “Benar. Kau bisa membaca nada expresi dari bibirku. Ya
kan?”
Lalu
dia pergi. Ke pertunjukan itu.
Itu
benar-benar kemerosotan hubungan kami mulai saat itu, dan aku berharap kami
berdua tahu itu. Pertengkaran terakhir yang kami alami, dia berteriak kepadaku
dengan sangat keras sampai seolah-olah aku telah mendapatkan kembali
pendengaranku.
“Aku
putus denganmu!”
Aku
tidak mengatakan apapun beberapa saat, dan saat aku berkata, itu bukanlah
apa-apa selain “Apa kau serius?”
“Kenapa?”
dia menyeringai. “Tidak bisakah kau mengetahuinya dengan membaca bibirku?”
Dan
itulah. Colin dan aku putus.
Aku
punya sedikit kenangan-kenangan indah selama bulan lalu dari hubungan itu. Yang
paling jelas adalah ketika Colin merapikan poniku dan menyelipkan rambutku ke
belakang telingaku.
“Kau
terlihat cantik seperti ini. Bagaimana bisa kau tidak pernah melakukannya
lagi?” katanya.
Aku
tidak pernah mengatakan kepada Colin bahwa dia kadang-kadang berteriak dengan
sangat keras padaku sampai-sampai aku tidak perlu membaca bibirnya untuk
mengetahui nada suaranya. Colin tidak pernah sangat baik dalam menentukan pada
tahap apa aku bisa mulai mendengar dengan jelas. Aku juga tidak pernah
mengatakan padanya seperti apa rasanya saat sadar bahwa dia tidak terdengar
seperti yang kubayangkan, karena, tentu saja, aku tidak pernah mendengar
suaranya sampai saat dia berteriak dan menyumpahiku.
Aku
memotong rambutku sejak saat itu. Aku membuat rambutku sangat pendek
akhir-akhir ini. Memamerkan alat bantu dengar berwarna hijauku lebih jelas. Aku
masih senang ketika teman-temanku memperkenalkanku ke orang-orang baru.
Kadang-kadang aku lupa, dan menaikkan tanganku untuk menyelipkan rambutku ke
belakang telingaku, tapi reaksi mereka tidak lagi sama, sekarang alat bantu
dengarku tidak lagi tersembunyi. Mereka sudah dapat menebaknya bahwa aku pasti
tuli.
Teman-teman
perempuanku tentu saja bertanya. Aku mengatakan pada mereka bahwa itu adalah
alamiah manusia. Bahwa orang-orang tidak akan pernah dapat menerima orang lain
yang melihat, mendengar, merasakan atau tahu sesuatu yang tidak seharusnya
mereka bisa. Jika kau melihat UFO, maka kau dianggap gila. Jika kau melihat
roh, kau adalah penipu. Jika kau merasakan cinta sejati ketika dia hanya ingin
bercinta, kau adalah pengacau, dan jika kau bisa membaca nada suaranya hanya
dari caranya menggerakkan bibirnya, kau adalah pacar yang buruk. Dan tentu
saja, tuli.
No comments:
Post a Comment