PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

Tone

TONE
(Nada)
Pengarang: YZ Chin

Aku senang ketika teman-temanku memperkenalkanku kepada orang-orang baru, walaupun aku selalu menghindarinya. Aku suka dengan expresi bangga dan hormat yang mereka pakai ketika mereka mengatakan “Ini Sandy – dia tuna rungu”, seakan-akan aku adalah bukti perbuatan baik mereka. Aku juga suka expresi terkejut selama beberapa detik di wajah-wajah orang baru, terburu-buru tersenyum dan melakukan pemalsuan terbaik mereka terhadap apa yang mereka pikirkan sebagai ‘wajah normal’ mereka. Jika mereka melakukan ritual itu dengan cukup baik, aku akan membalikkan kepalaku sedikit dan menyelipkan rambutku di belakang salah satu telingaku, yang manapun yang lebih dekat dengan mereka. Mereka tidak pernah gagal untuk mengatakan sesuatu yang baik tentang alat bantu pendengaranku yang berwarna pink, sementara teman-teman sehari-hariku menoleh ke arah lain.

 
Sebenarnya, aku berpikir untuk mulai mengoleksi alat bantu pendengaran. Mereka akan menjadi aksesoris yang lebih bagus daripada anting-anting. Sekali waktu, aku melihat sebuah katalog untuk alat bantu pendengaran berbentuk klip on dan kover-kover alat bantu pendengaran, dan produk-produk itu sangat beragam dalam hal bentuk dan warna. Itu seperti tas tangan mahal yang ayahnya Ester berikan untuknya ketika kami masih di SMA. Kami semua hanya bisa mengaguminya, tapi tidak bisa menirunya, karena ayah-ayah kami tidak cukup kaya untuk menghambur-hamburkan uangnya kepada kami seperti itu. Dan sekarang, hanya aku yang bisa memakai alat bantu dengar. Teman-temanku tidak bisa melakukan apa-apa selain membicarakan ini secara berlebihan.
Jujur saja, aku cukup suka ke-tuli-an ku. Itu tidak mudah di tahun pertama setelah kecelakaan mobil dan kantong udara yang meledak dengan bodohnya itu, namun sekarang itu menjadi sesuatu yang membuatku spesial di antara teman-temanku. Tidak ada satupun teman dekatku yang cacat dalam mendengar, sederhana saja, itu karena aku tidak tuli sejak lahir. Saat aku kehilangan pendengaranku, aku sudah mengumpulkan banyak orang disekitarku, dan kebanyakan mereka segera berpartisipasi dalam cerita drama ini.
Kau tahu bagaimana ketika kau membicarakan tentang teman-temanmu, kau memanggil mereka sebagai Drew sang bartender, Carol sang feminis, Greg sebagai seseorang yang dapat mengencangkan batang cherry dengan lidahnya dan seterusnya?  Sementara aku adalah Sandy sang Gadis Tuli. Aku suka itu. Aku tidak punya sifat ataupun kemampuan mengesankan yang lainnya. Tidak pernah punya.
Itu juga lebih dari sangat mengesankan. Aku yakin banyak kejadian penting di hidupku tidak akan pernah terjadi atau berhasil dengan cara yang sama jika aku tidak mengenakan alat bantu pendengaran berwarna pink ini. Contohnya hal dengan Colin.
Aku pertama kali bertemu Colin di pesta di sebuah apartemen. Ketika Carol yang feminis saling memperkenalkan kami, aku menyelipkan rambutku di belakang kedua telingaku dan membungkuk lebih dekat, bukan karena dia melakukan ritual tersebut dengan baik, tapi karena dia tercengang. Kau seharusnya melihat senyumnya yang kembali merekah setelah keterkejutan yang tak terhindarkan itu.
Kami pergi mencari minuman setelah berjabat tangan, dan di suatu tempat di antara apa yang berfungsi sebagai bar wine dan bangku, kami kehilangan Carol.
“Apa kau biasanya membaca bibir seperti ini? Atau kau juga menggunakan isyarat?” tanyanya setelah beberapa saat.
“Aku kebanyakan hanya membaca bibir karena itu lebih mudah dimengerti daripada isyarat, walaupun itu bukanlah satu-satunya alasan aku menatap bibirmu,” kataku padanya.
Dia tertawa. Kami mengobrol lagi, dan kemudian tuan rumah menaikkan volume musik dan meredupkan cahaya lampu untuk “dance floor”, dan aku harus lebih dekat dengan dia, lebih dekat lagi agar aku bisa tetap melanjutkan membaca bibirnya di kegelapan semu ini. Dan aku berhasil melakukannya.
Kami bertukar nomor handphone, seperti biasanya, dan seminggu kemudian Collin melakukan hal yang tak kuduga – meneleponku. Kami jalan-jalan keluar, memuaskan diri kami sampai salah satu dari kami tetap telihat baik-baik saja di siang yang tenang, dan membaca bibirnya lagi. Dalam waktu dua bulan Colin dan aku berpacaran.
Colin adalah pacarku yang pertama semenjak kecelakaan itu, dan aku sekarang berpikir tentang itu, aku ragu jika kehidupan percintaan paska kecelakaan itu berhubungan dengan perasaan gelisah ini. Aku tidak tahu, aku mencoba untuk tidak memikirkan tentang beberapa tahun terakhir ketika itu terasa sulit.
Ada beberapa kesulitan yang kurang berarti dan tentu saja terasa canggung. Di kencan kami yang ke-empat, Colin mengundangku kembali ke aparteen miliknya untuk menonton Film Blockbuster. Rupanya itu adalah modus operandinya, dan aku tidak bisa mengatakan bahwa aku tidak menduga itu sebelumnya, walaupun aku merasa sedikit jengkel ketika dia tidak menyadari dengan segera apa yang sedang dilakukannya adalah salah.
Dia mematikan lampunya dan tentu saja memasang subtitle untuk film tersebut. Di tengah-tengah menonton, tiba-tiba aku merasakan sensasi yang aneh – kupikir Colin sudah mencair atau entah bagaimana telah menjadi kursinya sendiri, dan aku sedang duduk di atasnya dan dipeluk oleh Colin, mengambang dalam kegelapan dan tidak mampu melepaskan pandanganku dari sinar dunia lain yang berjarak lima kaki di depan. Rasanya aneh. Lalu kemudian Colin menyender dan mulai membisikkan hal-hal manis namun terasa hampa ke telinga kiriku yang tak dapat mendengar. Yang kudapat hanyalah hembusan nafas hangat di telingaku.
Aku mendorongnya. Kurasa aku hanya merasa aneh karena teringat bahwa aku tuli, dan itu menjadi lebih parah karena kegelapan ini… sensasi kehilangan dua panca indra rasanya sedikit berlebihan.
Itu adalah kemunduran kami yang pertama, dan hal sekecil itu dapat kami atasi dengan segera. Sisa dari malam tersebut kami habiskan dengan mencari tahu bagaimana bibirnya dapat dimanfaatkan dengan baik dengan cara yang dapat kumengerti, bahkan di kegelapan.
Sehingga Colin tahu. Itu tidak berbeda dengan mencari tahu kebiasaan masing-masing, seperti sebuah cerita tambahan di sebuah game yang telah lama kami selesaikan, sehingga sekali lagi permainan itu menjadi menantang. Dia benar-benar memainkan permainan kencan itu dengan cukup baik, dari yang kuketahui.
Perayaan ulang tahun kami yang pertama adalah ulang tahunnya yang ke dua puluh tiga. Aku memberikannya dua tiket untuk pergi ke konser Rammstein; aku tahu dia suka sekali dengan band itu. Ketika aku memperlihatkan tiket itu, dia mulai berseru dan tertawa, namun kemudian tiba-tiba berhenti.
“Sandy, apa kau yakin? Maksudku, bisakah kau… menikmati konsernya?”
Aku menyelipkan rambutku di belakang telinga dan tersenyum kepadanya.
“Pertama-tama, siapa yang bilang aku mau menikmati konsernya? Aku tidak pernah suka dengan hal keras, dan memecahkan kepala yang kau sebut musik itu…”
“Hah!”
“… Kedua, aku dapat mendengar hampir semua hal yang lebih keras dari teriakan yang kencang, ingat? Jadi kita tidak akan apa-apa untuk menonton konsernya.”
Senyumnya sangat indah. Aku menyelipkan rambutku di belakang telingaku yang lain.
Itu merupakan sukses besar, konser Rammstein-nya. Aku tidak pernah melihatnya terlihat sangat antusiasme, sangat terdorong oleh energi sebelumnya, juga tidak pernah aku melihatnya seperti itu lagi. Kami bahkan tidak cukup dekat untuk melihat band itu, karena aku tidak benar-benar merogoh kantongku untuk dapat menonton dari kursi barisan depan. Colin benar-benar terbawa oleh alunan musik. Aku membayangkan gendang telinganya, bergetar seperti orang gila, menggeliat dalam kondisi puncak non-stop di suatu tempat di dalam telinganya, tak terlihat dengan sepasang mata telanjang.
Aku merasa sedikit iri, sebenarnya, sesuatu yang kupikir sudah berhenti kulakukan selamanya ketika aku berhenti bertanya “Kenapa aku?”
Aku kebanyakan melihat ke arah Colin malam itu, melihatnya melompat-lompat, seruannya, senyum lebarnya, dan keringatnya yang berkilauan dalam cahaya warna-warni yang berjalan seolah-olah mereka hidup. Aku dapat mendengar suara gitar listrik yang dikeraskan dan teriakan-teriakannya baik-baik saja, dan aku dapat merasakan hentakan drum di lantai. Tapi itu terasa tidak sama.
Sebulan setengah kemudian, Colin memberikanku hadiah berupa dua tiket di hari ulang tahunku, menyelipkan tangannya di dalam celananya dan baru menemukannya setelah bajunya melorot. Itu adalah tiket untuk mendapatkan tanda tangan di buku dan acara menulis yang dihadiri oleh Emily Barnes, seorang penulis yang sangat kukagumi.
“Maaf, karena acaranya minggu depan bukan hari ini, tapi kupikir kita bisa merayakan ulang tahunmu dua kali dengan cara yang sama,“ dia mengedipkan matanya.
Aku lebih dari bersemangat. Seminggu sebelum acara itu berlangsung, aku kembali membaca buku-bukunya dan sangat bingung untuk memilih di antara salah satu dari empat buku ini yang harus kubawa untuk mendapatkan tanda tangannya, karena kami hanya diperbolehkan untuk masing-masing mendapatkan satu tanda tangan. Colin tertawa padaku dan mengatakan aku bertingkah seperti anak remaja yang suka mengikuti trend ketika aku menyuruhnya berjanji untuk mengantri juga, sehingga aku bisa mendapatkan dua tanda tangan daripada hanya satu.
Di hari acara itu, kami tiba di toko buku itu lebih cepat. Mereka telah mengosongkan bagian dari toko buku itu dengan memindahkan rak-rak bukunya ke belakang, sehingga seluruh tempat terlihat lebih padat daripada yang kuingat, seperti sebuah hutan yang telah diubah dengan sihir dan tumbuh sendiri dalam semalam. Aku tentu saja merasakan keajaibannya, melihat panggung sementara dan setengah bangku-bangku yang telah terisi.
Colin memegang tanganku dan memanduku untuk duduk di barisan paling belakang. Ketika aku memprotes, dia tersenyum dan menunjuk ke speaker yang terpasang tepat di belakang kami.
“Tapi aku bisa membaca bibirnya jika kita duduk di depan!”
“Tapi itu bukan intinya membaca, iya kan?”
“Tapi-“
“Apa kau mengagumi kata-katanya atau penampilannya? Apa kau lebih memilih untuk mendengar interpretasi textnya atau melihat wajahnya?”
Aku duduk, menggenggam erat dua buku Emily Barnes, yakin akan malam itu, dan juga Emily Barnes, Colin, dan juga kami.
Ini seharusnya bisa sempurna. Kadang-kadang aku tetap berpikir tentang itu.
Manajer toko itu berjalan ke atas panggung tepat jam 6 malam. Hak tinggi hijau miliknya nampak mengkhawatirkan, dan aku membayangkan suara yang keluar dari tiap langkah kakinya.
“Selamat datang, tuan-tuan dan nyonya-nyonya,” katanya.
System pengeras suaranya tidak berkualitas bagus, dan toko buku itu memang tidak dirancang untuk hal seperti ini, tapi aku bisa mengerti setiap kata tentang perkenalan Emily Barnes yang disampaikan oleh manajer toko jika aku fokus. Colin mencengkeram tanganku dan mengangkat alis matanya padaku. Aku memberikannya senyuman termanisku dan mengangguk.
Lalu Emily Barnes sendiri melangkah ke panggung sementara itu. Orang-orang bertepuk tangan di setiap barisan di depan kami sampai ke panggung. Emily Barnes membungkuk sedikit, dan tersenyum, lalu menerima microphone dari tangan manajer toko.
“Hello.” Katanya dari belakangku, dari speaker. Setelah berhenti sejenak dia tersenyum meminta maaf dan berkata, “Aku tidak pernah suka hal seperti ini.”
Lalu kemudian dia menaruh microphonenya di lantai panggung. Dia memposisikan dirinya, dan bibirnya mulai bergerak. Awalnya aku tidak menyadari ini, atau kalaupun aku sadar, otakku tidak memproses beberapa detik dari itu. Aku sangat terkejut.
Sedetik kemudian, ketika aku mulai membaca bibir Emily Barnes, aku merasakan mata Collin mengarah padaku. Aku melihat dan menatap matanya, dan dia mulai mengangkat tangannya.
“Jangan!” aku berbisik dengan sedikit keras padanya dan meraih tangannya.
Colin terlihat marah terhadap Emily Barnes. Melihat keningnya berlipat, alis matanya berkerut, tiba-tiba aku mendapatkan mental video yang jelas saat berada di konser Ramstein. Betapa gembiranya dia. Lompatan-lompatannya, seruannya, senyumnya yang lebar, dan keringatnya yang berkilauan di cahaya warna-warni yang berjalan seolah-olah mereka hidup.
“Jangan.” Kataku padanya. Sambil duduk di kursi plastik dengan video ulang tahunnya bermain di kepalaku, tiba-tiba aku mendapatkan keinginan untuk amat sangat bahagia, gembira, melompat-lompat dan berseru dan tersenyum. Aku telah ditentukan untuk bahagia, saat ini, di sini, dengan hadiah ulang tahunku.
“Kenapa jangan?” Tanya Collin.
“Aku bisa membaca nada suara yang keluar dari bibirnya,” kataku padanya.
“Apa?”
“Shhh.”
Aku berdiri, menapaki jalanku melewati lutut dan berjalan sampai aku berada di tempat dekat dengan panggung ketika aku bisa berdiri tanpa menutupi pandangan siapapun. Colin tetap berada di kursi plastiknya sebentar, namun akhirnya dia datang dari belakang dan manaruh lengannya di sekelilingku. Aku berbelok dan tersenyum padanya, senyum yang cerah seperti apa yang kurasakan di dalam diriku.
Selama beberapa detik, membaca bibir Emily Barnes adalah pengecualian. menghembuskan napas kehidupan ke kata-katanya. Membuatnya menjadi hidup dengan cara yang tak dapat kubayangkan. Bibirnya bergerak, berpisah, menutup, bergerak, dan aku mendengar kesedihan halus, sedikit kegembiraan, penyesalan yang pelan – semua itu tertampung di prosanya, tidak pernah benar-benar ditemukan sampai saat itu.
“Jadi bagaimana tepatnya kau menentukan nada expresi dari membaca bibir?” Colin bertanya saat berjalan keluar.
Aku tersenyum kebawah melihat bukuku yang telah ditandatangani.
“Itu pertanyaan yang bodoh. Itu seperti menanyakan orang buta apa yang mereka impikan ketika mereka tidur.”
Aku berjalan lebih cepat. Colin berusaha berjalan sejajar denganku. Kami tidak berbicara saat berjalan kembali ke apartemenku.
***
Jika sebuah pohon jatuh di sebuah hutan, dan tidak ada seorangpun yang mendengarnya, apa itu menimbulkan suara? Jika ada dua orang yang bertengkar, dan salah seorang dari mereka tidak mendengarkan kata-kata dari yang lain, bisakah kesalahan tersebut diperbaiki?
***
Seminggu setelah acara di toko buku itu, Colin dan aku bertengkar untuk pertama kalinya. Dia ingin membatalkan makan malam yang telah lama kami rencanakan. Alasannya adalah pertunjukan film indi pertama temannya.
“Pertunjukan? Pertunjukan apa? Itu akan diadakan di ruang bawah tanahnya, demi Tuhan!”
“Itu tidak masalah, okay, spesialitasnya memang di film dengan dana rendah, dan di samping itu, dia menghabiskan setahun penuh pada film itu, okay? Kau tidak bisa menghargai film, itu saja!”
“Jangan kau menggunakan nada seperti itu padaku!”
Sebentar saja lalu aku mengerti arti diamya.
“Benar,” dia akhirnya berkata. “Benar. Kau bisa membaca nada expresi dari bibirku. Ya kan?”
Lalu dia pergi. Ke pertunjukan itu.
Itu benar-benar kemerosotan hubungan kami mulai saat itu, dan aku berharap kami berdua tahu itu. Pertengkaran terakhir yang kami alami, dia berteriak kepadaku dengan sangat keras sampai seolah-olah aku telah mendapatkan kembali pendengaranku.
“Aku putus denganmu!”
Aku tidak mengatakan apapun beberapa saat, dan saat aku berkata, itu bukanlah apa-apa selain “Apa kau serius?”
“Kenapa?” dia menyeringai. “Tidak bisakah kau mengetahuinya dengan membaca bibirku?”
Dan itulah. Colin dan aku putus.
Aku punya sedikit kenangan-kenangan indah selama bulan lalu dari hubungan itu. Yang paling jelas adalah ketika Colin merapikan poniku dan menyelipkan rambutku ke belakang telingaku.
“Kau terlihat cantik seperti ini. Bagaimana bisa kau tidak pernah melakukannya lagi?” katanya.
Aku tidak pernah mengatakan kepada Colin bahwa dia kadang-kadang berteriak dengan sangat keras padaku sampai-sampai aku tidak perlu membaca bibirnya untuk mengetahui nada suaranya. Colin tidak pernah sangat baik dalam menentukan pada tahap apa aku bisa mulai mendengar dengan jelas. Aku juga tidak pernah mengatakan padanya seperti apa rasanya saat sadar bahwa dia tidak terdengar seperti yang kubayangkan, karena, tentu saja, aku tidak pernah mendengar suaranya sampai saat dia berteriak dan menyumpahiku.
Aku memotong rambutku sejak saat itu. Aku membuat rambutku sangat pendek akhir-akhir ini. Memamerkan alat bantu dengar berwarna hijauku lebih jelas. Aku masih senang ketika teman-temanku memperkenalkanku ke orang-orang baru. Kadang-kadang aku lupa, dan menaikkan tanganku untuk menyelipkan rambutku ke belakang telingaku, tapi reaksi mereka tidak lagi sama, sekarang alat bantu dengarku tidak lagi tersembunyi. Mereka sudah dapat menebaknya bahwa aku pasti tuli.
Teman-teman perempuanku tentu saja bertanya. Aku mengatakan pada mereka bahwa itu adalah alamiah manusia. Bahwa orang-orang tidak akan pernah dapat menerima orang lain yang melihat, mendengar, merasakan atau tahu sesuatu yang tidak seharusnya mereka bisa. Jika kau melihat UFO, maka kau dianggap gila. Jika kau melihat roh, kau adalah penipu. Jika kau merasakan cinta sejati ketika dia hanya ingin bercinta, kau adalah pengacau, dan jika kau bisa membaca nada suaranya hanya dari caranya menggerakkan bibirnya, kau adalah pacar yang buruk. Dan tentu saja, tuli.

No comments:

Post a Comment