PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

Vusi Makusi

Vusi Makusi
Pengarang: Ursula Wills-Jones

Vusi Makusi adalah seorang optimistis yang akut. Dia tetap optimis walaupun dia tinggal di salah satu tempat termiskin di dunia, walaupun dia hanya memiliki satu setelan, dan celana dasarnya tidak sampai ke pergelangan kakinya.
Setelah dia menyelesaikan pendidikannya, Vusi Makusi memutuskan bahwa menjadi pegawai negeri1 merupakan karir yang bagus. Orang yang bertanggung jawab pada penerimaan pegawai melihat Vusi sekilas, dan segera menyadari bahwa dia tidak akan mencapai apapaun.
“Kau tahu, kurasa aku baru saja menerima seorang anak muda yang ambisius,” katanya.
Vusi menghabiskan waktu yang lama di bus. Bus itu bergetar dan bergoyang-goyang, memasuki hutan semakin dalam dan semakin dalam. Akhirnya bus itu tiba di suatu perhentian di lembah yang berawa-rawa, seluruhnya dikelilingi oleh hutan.
“Tapi di mana desanya?” Tanya Vusi.
Supir bus itu menunjuk ke depan.
“Hari apa busnya akan kembali?”
“Sabtu,” kata sopir bus itu dengan galak. Vusi sudah menghabiskan dua puluh jam terakhir dengan menceritakan pada setiap orang di bus tentang pekerjaan barunya, dan sopir bus itu sudah muak dengannya.
Vusi berjalan kaki melalui bukit-bukit ke desa itu. Dia mengetuk pintu gubuk kepala desa, dan duduk menunggunya. Seluruh warga desa datang dan menatapnya dengan tajam. Ketika pada akhirnya sang kepala desa muncul, Vusi berdiri.

 
“Selamat siang pak,” katanya. “Saya adalah pegawai dari pemerintah yang ditugaskan di wilayah ini. Saya datang dengan membawa perdamaian, kesejahteraan, persatuan, pembangunan, dan pendidikan untuk semua orang. Saya datang untuk menunjukkan kemurah-hatian pemerintah kita yang agung. Apapun yang desa ini butuhkan, apakah itu jalan, sekolah, bibit, air, traktor, guru atau dokter, pemerintah dengan senang hati akan menyediakan itu semua. Satu-satunya hal yang harus saya lakukan adalah membuat daftar, dan barang-barang yang dibutuhkan nantinya akan segera tiba.”
Sang kepala desa menatap Vusi, lalu mulai tertawa. Dia tertawa ah-ha, ah-ha, ahhhhhhhh-hahahahahah. Semua warga desa saling menoleh dan menampar satu sama lain sambil tertawa terpingkal-pingkal.
“Anak muda,” kata sang kepala desa, pada akhirnya. “Sudah cukup lama sejak terakhir kali kami mendapat kunjungan dari seorang pelawak.”
“Tapi pak,” kata Vusi. “Saya sangat serius.”
Sang kepala desa tertawa lagi, ahahahahah!
“Bagus pak, tolong hentikan! Tidakkah Anda lihat ibuku, yang telah berumur 83 tahun, tersakiti karena candaan Anda? Apa Anda mau melihat seorang wanita tua mematahkan tulang-tulangnya2?” teriaknya.
Malam itu, diadakan makan malam spesial untuk menyambut kedatangan Vusi. Hanya saja pada keesokan harinya, saat Vusi mulai berkeliling desa dengan clipboard (papan tulis kecil), para warga mulai menjadi resah.
“Dia pasti gila, dan mereka sudah mengusirnya dari kota,” kata sang pendeta.
“Dia adalah mata-mata, dan dia sedang membuat daftar sehingga mereka bisa mencuri semuanya,” kata istri kepala desa.
“Kurasa kepalanya telah terbentur sesuatu, dan makanya dia terlihat aneh,” kata sang pandai besi.
Ketika dua puluh delapan hari telah berlalu, Vusi mengunjungi kepala desa. Dia menjelaskan bahwa dia telah bekerja selama empat minggu berturut-turut, dan dia ingin cuti selama delapan hari, dan dia bermaksud untuk mengunjungi ibunya. Dia juga ingin meminjam payung milik kepala desa, dan menawarkan untuk membelikannya yang baru, segera setelah dia tiba di kota, dimana dia bisa menarik gaji pegawai negeri-nya yang berkilauan dari akun banknya yang berkilauan.
Sang kepala desa menggelengkan kepalanya, setuju untuk meminjamkan payung kepadanya. Vusi pergi menemui istri kepala desa dan meminjam selimut. Lalu dia pergi menuju tempat sang pandai besi di desa dan meminjam sebuah pisau, karena itu merupakan perjalanan yang panjang untuk sampai di perhentian bus, dan jalurnya telah ditumbuhi semak belukar. Kemudian dia pergi, sambil membawa koper usangnya.
“Seseorang harus memberitahunya bahwa tidak ada bus,” kata sang kepala desa.
Mereka menunggu dan menunggu. Pada akhirnya, pandai besi itupun turun bukit dan menemukan Vusi sedang menunggu di pinggiran jalan yang berlumpur.
“Katanya busnya pasti akan segera datang,” kata pandai besi itu pada kepala desa, “Dan dia tidak mau ketinggalan busnya.” Ketika dua hari telah berlalu, pak kepala desa sendiri yang turun dan mencoba berbicara dengan Vusi. Dia kembali, menggelengkan kepalanya. Sang pendeta, juga tidak berhasil.
“Dia kebal terhadap alasan apapun,” kata istri kepala desa. “Makanya kita harus membujuknya dari hati ataupun dari mata. Kirimkan putri tukang pembuat tembikar itu, dia adalah gadis tercantik di desa ini.”
Gadis itu kembali, mengangkat bahunya dengan tidak berdaya.
“Kirimkan keponakan sang pendeta,” usul sang pandai besi. “Dia mungkin bukan yang paling cantik, tapi dia adalah yang terpandai dan terpintar dalam memainkan kata-kata.”
Para warga mecobakan semua wanita muda di desa mereka, sampai akhirnya tersisa satu orang lagi.
“Baiklah, dia mungkin perlu mencobanya juga,” kata sang kepala desa sambil menguap. Kemudia dia pergi ke dalam untuk tidur siang.
Gadis itu dengan cepat turun ke bawah bukit. Dia sangat marah karena dipertimbangkan sebagai gadis yang paling kolot3 dan paling bodoh di desa sehingga begitu dia melihat Vusi, dia langsung melemparkan sebuah biji mangga ke arahnya.
“Dasar idiot! Gila!” teriaknya. “Lakukan apa yang kau suka dan mari kita lihat apa aku peduli! Apa kau pikir semua orang akan kasihan padamu jika kau tetap duduk di sana sampai kau menjadi batu!” kemudian, karena dia sangat sedih, dia menangis sekencang-kencangnya.
Vusi menatap gadis itu. Dia berdiri dengan lututnya.
“Nona sayang,” katanya, “Kau harus memaafkanku! Emosi yang berlebihan ini mungkin telah terbawa karena beban dari merahasiakan perasaanmu yang sebenarnya. Jika aku terlihat lupa akan rasa sayangmu, itu hanya karena kau belum menyatakannya. Tentu saja, jika aku tahu bahwa kau mencintaiku, aku seharusnya tidak pernah bertingkah seperti orang yang tidak punya perasaan. Sungguh berita yang sangat baik! Saat bus tiba, dan aku pergi menemui ibuku, aku pasti akan mengatakan padanya bahwa aku telah bertemu dengan calon istriku. Terima kasih, Tuhan! Sampai saat itu tiba, mungkin kau ingin berbaik hati untuk menghabiskan sedikit waktu denganku, menunggu.”
Karena semua ini lebih menyenangkan daripada dibilang kolot dan bodoh, gadis itupun setuju untuk menunggu. Vusi mulai menceritakan tentang masa depan kepadanya, dan bagaimana semuanya akan menjadi menakjubkan. Dia menceritakan tentang traktor, klinik, sekolah, pompa air, sapi-sapi yang gemuk, ayam-ayam yang gemuk, sayur-mayur yang besar, orang-orang yang tersenyum, atap yang terbuat dari timah, televisi, toilet yang bersih, kantor pos, telepon, jalan beraspal, pesawat, gedung-gedung yang biasa dan pencakar langit, dan bus-bus yang telah terjadwal untuk pergi ke tempat-tempat terpencil.
Paginya, hari mulai hujan. Vusi menggunakan payung dari kepala desa. Hujan itu semakin lebat. Seekor monyet merah muncul dan duduk di kejauhan jalan. Makhluk itu terlihat sedih dan belumuran lumpur.
“Lihat, monyet itu sedang menunggu untuk naik bus!” kata Vusi.
“Tapi Vusi, dia tidak punya tas, ataupun koper,” kata gadis itu.
“Kau benar,” Vusi mengangguk, “Makanya, dia pasti sedang menunggu kerabatnya untuk tiba dari bus, dan ingin memberikan salam kepada mereka.”
Setelah beberapa saat, monyet itu mulai menggigil.
“Vusi,” kata gadis itu, “Kau harus mengajak monyet itu untuk berteduh bersama kita atau usir saja dia. Aku tidak tahan melihat wajah sedihnya lebih lama lagi.”
“Tentu saja monyet itu harus berteduh bersama kita,” kata Vusi. “Lagipula monyet itu juga warga negara dari bangsa kita yang hebat dan berjaya ini.”
Sang monyet, Vusi, dan gadis itupun berteduh di bawah payung. Hari itu masih saja hujan. Sebuah kolam yang besar tercipta di lubang tempat rawa-rawa itu.
“Benar juga,” kata gadis itu, yang mana mulai mengerti bagaimana cara berpikir Vusi, “Orang-orang dari bangsa kita yang hebat seharusnya tidak menunggu bus sambil terkena hujan seperti ini. Karena kau adalah pegawai pemerintah, kau bisa memotong dahan, dan membuat tempat berlindung sambil menunggu busnya datang. Ini merupakan pelayanan untuk semua orang.”
“Sudah kuduga bahwa kau tidak hanya memiliki wajah yang cantik,” kata Vusi, mengangguk. “Hanya saja, jika busnya tiba saat aku sedang memotong dahan-dahan, kau harus berteriak dan memanggilku, karena aku tidak ingin membuat kecewa ibuku.
Akhirnya Vusi mengambil pisau dan memotong dahan lalu membuat tempat berlindung.
Vusi dan gadis itu menunggu di tempat berlindung. Monyet itu duduk di atap. Hari-pun berlalu, lalu hari-hari berikutnya. Hujan telah berhenti. Kepala desa turun ke jalan tersebut. Dia menggelengkan kepalanya, lalu pulang ke rumah. Kolam di sungai mulai melebar, dan Vusi menangkap ikan untuk makan malam. Tidak ada yang berlalu di jalan, tidak ada satu halpun.
Vusi dan gadis itu menunggu di tempat berlindung. Mereka menunggu sangat lama, dan pada akhirnya gadis itupun melahirkan seorang bayi.
“Betapa senangnya ibuku nanti ketika dia melihat anak ini!” teriak Vusi.
“Tentu saja, suamiku” kata gadis itu, “Orang-orang akan menunggu bus disini dengan anak-anak. Kurasa mereka harus punya tempat untuk berbaring dan tidur dengan tenang.”
Vusi mengambil pisau dan memotong cabang-cabang pohon lebih banyak lagi, dan membuat ruang yang kedua. Diluar rumah, bibit mangga mulai tumbuh dari biji yang pernah dilempar dulu. Seekor monyet kedua masuk ke dalam bergabung dengan yang pertama. Monyet itu juga melahirkan bayi. Hari itu hujan dan hujan lagi. Sungai mulai pasang dan airnya berlimpah kemana-mana.
“Vusi,” kata gadis itu. “Suatu hari ini akan menjadi terminal bus yang ramai. Nantinya akan ada banyak penumpang, dan siapapun yang bisa menyediakan makanan dan minuman akan mempunyai bisnis yang menguntungkan. Kupikir lebih baik aku siap-siap, dan menanam jagung untuk membuat bubur, dan maizena untuk membuat bir. Kemudian kau tidak hanya akan menjadi pegawai pemerintah, tapi aku juga akan menjadi seorang businesswoman (wanita karir).”
Akhirnya gadis itu membajak tanah di pinggir sungai dan membuat membuat sebuah kebun. Kemudian dia pergi ke gubuk itu dan melahirkan bayi lagi.
“Aku sangat yakin aku pasti salah mendengar dari tuan itu,” kata Vusi, suatu hari. “Tentu saja, tidak mungkin busnya datang di hari sabtu, pasti maksudnya bulan January. Hanya saja tidak ada yang datang selama tiga tahun terakhir. bus-bus itu akan tiba berbarengan, ketiga-tiganya. Itulah kebiasaan bus yang terkenal.”
“Vusi,” kata gadis itu, “Jika ada tiga bus yeng berisikan orang, aku tidak punya cukup makanan. Disamping itu, restoran yang baik harus mempunyai berbagai macam masakan. Pergilah ke dalam hutan, dan tangkap beberapa pasang burung yang kita lihat dulu, dan aku bisa menyimpannya. Dengan cara itu, kita akan punya cukup persediaan untuk semua orang.”
“Itu ide yang bagus,” kata Vusi. “Hanya saja jika bus-bus itu tiba dan aku sedang di dalam hutan, kau harus minta mereka untuk menunggu.”
Gadis itu menunggu di pinggir jalan. Tidak ada yang berlalu. Bahkan tidak ada seorangpun warga desa yang datang lagi. Setelah lima hari, Vusi kembali, menggenggam dua ayam mutiara yang ketakutan.
“Aku tidak ketinggalan busnya?” dia bertanya dengan cemas. Istrinya menenangkannya.
“Pasti karena cuacanya,” kata Vusi. “Cuacanya sudah aneh akhir-akhir ini, dan kupikir bus tidak akan datang tahun ini. Walaupun begitu, karena mereka bisa dengan mudah diprediksi, akan memalukan jika kita meninggalkan tempat ini. Khususnya karena kita sudah membuat banyak persiapan, dengan hotel dan restoran.”
Tahun itupun berlalu.
“Vusi,” kata gadis itu, “Kau harus membangun sebuah pagar untuk menjaga ayam-ayam itu agar tetap di dalam. Rencana kita akan gagal jika mereka lari ke semak-semak.”
Setahun kemudian-pun berlalu lagi.
“Vusi,” kata gadis itu, “Ikan tidak akan bisa bertahan di musim kering. Bagaimana jika busnya tiba ketika tidak ada ikan? Bagaimana aku akan memberi makan para penumpang? Kau harus membangun sebuah bendungan di sungai.
Setahunpun berlalu. Gadis itu melahirkan bayi lagi.
“Pelayanan ini sangat tidak bisa diterima,” kata Vusi suatu hari. “Ketika bus datang dan membawa kita ke kota, aku kan menulis surat ke menteri transportasi. Satu-satunya hal yang bagus, istriku, adalah setiap minggu gajiku menumpuk di akun bank pemerintahku.”
Setahun kemudianpun berlalu. Busnya tetap tidak datang. Pohon mangga itu mulai berbuah mangga-mangga yang lezat. Mereka menunggu lama sekali, Vusi mulai khawatir tentang siapa yang bisa dinikahi putra tertuanya.
Kemudian, suatu hari, keributan aneh mulai terjadi di dalam hutan. Kedengarannya bergema kemana-mana.
“Busnya! Busnya!” teriak anak-anak Vusi, karena mereka telah mendengar dari ayah mereka tentang monster aneh ini.
Dari ujung bukit itu datanglah sebuah helikopter putih dengan huruf U.N. (United Nations/PBB) tercetak di sampingnya. Helikopter itu mendarat di jalan, dan empat tentara yang terlihat cemas dengan mengenakan topi baretnya keluar. Kemudian sepasang ilmuwan dengan jaket putih, menggenggam clipboard4 (papan tulis kecil), wajah-wajah mereka tertutup dengan masker. Akhirnya datanglah seorang politikus dengan setelannya, memegang sebuah sapu tangan ke hidungnya, dan seorang jendral, menggenggam sebuah topi yang terbuat dari timah. Mereka menatap Vusi. Mereka menatap istrinya, dan tujuh anak-anaknya.
“Aku mengerti,” kata Vusi. “Mereka meningkatkan pelayanannya, dan sekarang ada helikopter daripada bus. Makanya kita menunggu sangat lama!”
“Apa yang kalian lakukan di sini?” kata sang polikus.
“Tentu saja kami sedang menunggu bus,” kata Vusi, dengan sangat santai.
“Tapi bagaimana bisa kalian selamat dari perang sipil?” Tanya sang jenderal.
“Perang sipil?” kata Vusi, terlihat bingung.
“Iya, perang sipil yang telah menyapu setengah dari populasi,” kata sang politikus.
“Tentu saja kami tidak melihat satupun tentara,” kata Vusi, menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Tapi walaupun kalian berhasil melarikan diri dari perang sipil, bagaimana bisa kalian selamat dari kelaparan yang telah membunuh setengah dari orang yang selamat?” Tanya sang jenderal.
“Kelaparan?” kata istri Vusi. Dia melihat sekeliling pohon-pohon mangga, semak-semak milet5, dan kandang-kandang ayam yang penuh dengan ayam mutiara yang gemuk.
“Baiklah, walaupun kalian berhasil melarikan diri dari perang dan juga kelaparan, bagaimana bisa kalian selamat dari virus?” Tanya salah satu ilmuwan.
“Virus?” kata Vusi. “Virus apa?”
“Virus mematikan yang telah menyapu semua orang yang selamat dari perang dan kelaparan,” kata ilmuwan kedua. “Kau tahu, virus yang tidak dapat disembuhkan yang tak ada seorangpun atau monyetpun yang kebal terhadapnya, kecuali kukang berbulu merah yang sangat langka dan hampir punah?”
Seekor monyet memanjat ke atas pundak Vusi dan mulai menggigiti telinganya dengan cara yang familiar. Vusi mengusirnya dengan bingung.
“Itu aneh jika kalian mengatakan ini,” katanya, dengan penuh pertimbangan. “Aku tidak ingat kalau salah seorang dari kami sedang sakit.”
“Vusi,” kata istrinya, menyentakkan sikut Vusi. “Undang mereka untuk makan malam. Mereka bisa menjadi pelanggan pertama kita!”
“Tentu saja,” kata Vusi, mengangguk. “Ikan atau ayam mutiara?”
Tapi sang politikus, ilmuwan, dan para tentara terlihat sangat ketakutan, dan menarik diri kembali ke helipkopter mereka.
“Kita harus pergi,” kata sang jenderal.
“Tentu saja kami harus membawamu keluar dari sini,” kata sang politikus, dengan memaksa. “Kau akan mendapatkan semua hal. Bantuan, pertolongan, baju bersih, listrik, toilet yang layak, semuanya. Kau akan menjadi terkenal, dan para wartawan akan mewawancaraimu.
“Wow, terima kasih,” kata Vusi dengan sopan. “Tapi kami tidak bisa pergi, kami sedang menunggu bus. Bagaimanapun, ada satu hal yang bisa Anda lakukan untuk saya. Apa Anda punya kertas dan pena?”
Vusi duduk dan menulis sebuah catatan pendek kepada menteri transportasi untuk mengeluhkan tentang tak dapat dipercayanya bus-bus pedalaman. Kemudian dia menaruh catatan itu di tangan sang politikus.
Setelah helikopter itu pergi, Vusi terlihat kecewa dan murung.
“Kelaparan, perang, penyakit, tentu saja itu tidak mungkin terjadi di negara kita yang indah ini.” Katanya.
“Mungkin mereka berbohong,” usul istrinya. “Mari kita berjalan ke atas bukit dan lihat apa yang sebenarnya sedang terjadi.”
Vusi dan istrinya berjalan naik melewati jalan tua yang tak ada seorangpun yang melewatinya selama bertahun-tahun. Jalan itu telah tertutupi batu-batu besar, retak dan hancur. Sungai-sungai telah terpecah-belah. Pada akhirnya, mereka tiba di puncak bukit. Di kejauhan sana merupakan tanah kosong yang rata oleh pohon-pohon, tank-tank yang terbakar, desa-desa yang hancur dan kebun-kebun yang terbengkalai.
Vusi dan istrinya berjalan pulang ke rumah, dengan bergandengan tangan. Vusi terlihat agak diam. Istrinya pergi menyiapkan makan malam. Vusi duduk, istri dan anak-anaknya duduk mengelilinginya. Dia terlihat sedang berpikir keras. Akhirnya dia berbicara.
“Istriku,” katanya, “Aku tahu bahwa terkadang ada orang-orang yang menganggapku bodoh. Tapi aku tidak bisa membalasnya dan hanya bisa berpikir, bahwa seperti kataku, semua hal yang telah kulakukan ternyata menjadi keputusan yang terbaik.”
Dan kemudian dia memuaskan dirinya dengan memakan sepiring besar ayam mutiara dengan lahap.
˜ The End


Catatan Penerjemah (T/L Notes):
1)   Disana tertulis civil service, namun saya rasa artinya sama dengan PNS di negara kita. Yang membedakan dalam konteks ini adalah pekerjaan tersebut benar-benar dilaksanakan, yaitu mengayomi dan melayani masyarakat terutama di wilayah pedalaman.
2)   Disana tertulis “break her ribs” (mematahkan tulang rusuknya) . Sepertinya di sana ada sebuah permainan kata, karena ada makna lain dari ‘ribs’ (candaan), tapi sayangnya saya kurang mengerti.
3)   Tertulis ‘the most plain girl’ (gadis paling biasa-biasa saja/ sederhana), tapi itu tidak sama sense/makna kata-nya. Karena ‘plain’ bermakna negatif sedangkan ‘sederhana’ bermakna positif di Indonesia. Makanya saya masih bingung dengan arti ‘plain’ dalam bahasa Indonesia. Apakah bisa diartikan ‘kolot’???? Harap maklum. ><
4)   Papan yang biasanya di bawa saat ujian.
5)   Semacam padi-padian yang berbentuk sereal, biasanya digunakan untuk membuat tepung dan minuman beralkohol

No comments:

Post a Comment