(Potongan
Rambut David)
Pengarang: Ken Elkes
Penerjemah:
Musyaitul Nanang K.
Ketika David melangkah keluar dari pintu depan, sejenak dia merasa
silau oleh cahaya matahari dan kemudian meraih tangan ayahnya secara naluriah.
Hari itu merupakan hari terhangat pertama sepanjang tahun,
panas yang tak terduga yang menghubungkan antara puncak musim semi dan musim
panas. Ayah dan anak ini sedang dalam perjalanan menuju pangkas rambut, sesuatu
yang selalu mereka lakukan bersama.
Rutinitas yang selalu sama. “Saatnya kita memotong rambutmu,”
ayah David akan berkata demikian, menunjuk ke arahnya dengan dua jari, sebuah
rokok terjepit di antaranya. “Mungkin aku harus melakukannya. Di mana
gunting-gunting itu, Janet?”
Terkadang ayahnya mengejarnya mengelilingi ruang tamu,
berpura-pura akan memotong telinganya. Saat masih kecil David terlalu senang
dan akhirnya mulai menangis, takut jika mungkin saja dia akan benar-benar
kehilangan telinganya, tetapi sekarang dia telah dewasa.
Pangkas rambut Mr. Samuel memiliki ruangan yang panjang dan
berada di atas toko kerupuk, dapat dicapai dengan menaiki tangga yang curam.
Ada alur yang dikenakan di setiap langkah oleh orang yang menaiki dan menuruninya.
David mengikuti ayahnya, tetapi ia kesal karena ia tidak bisa membuat setiap
langkahnya berderit seperti yang orang tuanya lakukan.
David menyukai tempat pangkas rambut itu – seperti tak ada
tempat lain lagi yang dia kunjungi. Aroma rokok-rokok dan pria-pria dan minyak
rambut. Terkadang aroma kerupuk naik melalui tangga berikut dengan pelanggannya
dan ketika pintu terbuka, para pria yang sedang mengantri mencium aromanya
bersama-sama.
Foto-foto para pria berwarna hitam-putih dengan berbagai model
rambut tergantung di atas gantungan di ujung ruangan, di mana dua kursi tukang
cukur terbaut pada lantai. Kursi yang berat, kuno dengan pompa kaki yang
mendesis saat Pak Samuel, meremas sedikit gulungan lehernya yang gemuk,
menyesuaikan ketinggian kursi.
Di depan ada kursi-kursi dengan wastafel serta memiliki shower dan selang logam panjang yang
melekat pada keran, tak seorangpun memakainya. Di baliknya ada cermin-cermin
dan di kedua sisi ini, terdapat rak yang dipenui oleh sisir-sisir plastik
(beberapa dimasukkan ke dalam mangkuk kaca berisi cairan berwarna biru), alat
cukur, gunting, pisau cukur, sikat rambut, dan ditumpuk rapi dalam bentuk
piramida, 10 botol merah Brylcreem.
Di belakang ruangan para pelanggan duduk, diam untuk berapa
lama, kecuali Mr. Samuel yang berhenti memotong rambut lalu mengisap rokok dan menghembuskan
gumpalan asap abu-abu kebiruan seperti ekor layang-layang memutar ke udara.
Ketika tiba giliran David, Mr. Samuel meletakkan sebuah papan
kayu dilapisi dengan kulit merah di lengan kursi, sehingga tukang cukur tidak
perlu membungkuk untuk memotong rambut anak itu. David bersusah payah naik ke
kursi.
“Kamu tidak perlu melompat, kamu akan duduk di kursi.” kata si
tukang cukur.
“Wow.” kata David, kemudian ia menggeliat ke sekitar untuk
melihat ayahnya. Lupa kalau dia dapat melihatnya melalui cermin. “Yah, Mr. Samuel
bilang aku dapat duduk di kursi ini, tidak hanya di papan.”
“Ayah dengar,“ jawab ayahnya, tidak berpaling dari koran. ”Ayah
rasa Mr. Samuel akan mulai menaikkan biaya untuk memotong rambutmu.”
“Setidaknya dua kali lipat harga," kata Mr. Samuel,
sambil berkedip kepada David.
Akhirnya ayah David berpaling dari korannya dan melirik ke
cermin. Melihat anaknya melihat kearahnya. Dia tersenyum.
“Rasanya tak terlalu lama dulu saat aku mengangkatmu naik ke
atas papan karena kau tak dapat naik sendiri,” katanya.
“Anak-anak tidak selamanya jadi anak-anak,” kata Mr. Samuels
membenarkan. Semua orang di pangkas rambut itu mengangguk tanda setuju. David
mengangguk juga.
Dalam cermin ia melihat sebuah kepala sedikit mencuat dari
jubah nilon panjang yang telah Mr. Samuels putar-putar mengelilingnya dan
dilipat ke kerah bajunya dengan irisan kapas. Sesekali dia melirik ke tukang
cukur saat ia bekerja. Dia mencium bau campuran keringat sehabis mencukur saat tukang
cukur mengelilinginya, menyisir dan memotong, menyisir dan memotong.
David merasa seperti di dunia lain, senyap kecuali bunyi sepatu
tukang cukur dan jentikan guntingnya. Dalam refleksi dari jendela ia bisa
melihat melalui jendela, awan kecil bergerak perlahan melalui kosen, kemudian
pindah ke suara klik gunting
David mengantuk, matanya jatuh ke depan kain dimana rambutnya
jatuh dengan kelembutan yang sama seperti salju dan dia membayangkan duduk di
kursi seperti para pria dan anak laki-laki yang lebih tua, kursi khusus dibiarkan
bersandar di sudut dinding.
Ia berpikir tentang buku cerita Alkitab bergambar yang
diberikan oleh bibinya saat Natal, salah satunya adalah cerita mengenai Samson
yang rambutnya dipotong oleh Delilah. David bertanya-tanya apakah kekuatannya
akan hilang seperti Samson.
Saat Mr. Samuels telah selesai, David melompat turun dari
kursi, membersihkan rambut dari wajahnya. Saat melihat ke bawah dia melihat
rambutnya yang tebal dan pirang tersebar di antara cokelat, abu-abu dan hitam
dari orang-orang yang telah duduk di kursi sebelum dirinya. Sesaat dia ingin
mengulurkan tangan dan mengumpulkan potongan rambutnya yang pirang, untuk
memisahkannya dari orang lain, tapi dia tidak memiliki waktu.
Matahari masih bersinar cerah ketika mereka tiba di trotoar di
luar toko, tetapi tidak begitu panas, matahari sudah mulai turun dari puncak
terik.
"Tebak, Nak, ayo kita beli beberapa ikan dan kerupuk
untuk dibawa pulang, kemudian membantu ibumu memasak," kata ayah David dan
kemudian melanjutkan langkahnya berjalan kaki.
Anak muda ini bersemangat lalu meraih tangan ayahnya.
Jari-jari berkulit tebal dengan lembut mengeliling di sekitarnya dan David
terkejut menyadari kehangatan telapak tangan ayahnya, seperti rambutnya
sendiri.
<The End>
ada yang tau ini temanya apa?
ReplyDelete