PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

Hope and Comfort

(Harapan dan Kenyamanan)

Pengarang: A.J. McKenna
Penerjemah: Mulya Sari Bunaya


Charley Foley berkunjung ke rumah sakit Mater Misericordia untuk mengunjungi istrinya.

"Bagaimana perasaanmu?" tanyanya, sembari duduk di samping tempat tidur, dekat dengan Dolly yang tersenyum ke arahnya, rambutnya yang hitam bersandar ke bantal putih.

"Aku baik-baik saja," kata Dolly, sendu. Dia tampak tua dan lelah di mata Charley, wajahnya sepucat mayat dan dengan kantong hitam di bawah matanya. Ketika ia menyelipkan tangannya ke tangan Charley, Charley melihat dua bintik coklat hati yang jelek di tangannya yang kecil.

“Kau tampak lelah,” kata Charley. “kau tidak tidur?”

“Aku sedikit gelisah semalam.”

Dolly tak membahas tentang kesakitannya. Ia tak ingin membuat suaminya cemas.

“Ada kabar dari Linda?” tanyanya.

“Dia menelepon lagi semalam. Kukatakan padanya kondisimu sangat baik. Dan tak ada yang perlu dicemaskan.”

Linda, kakak sulung mereka yang mengajar di sebuah universitas di Galway. Linda akan pulang untuk liburan pada bulan Agustus. Putra Charley, Colm, dan anaknya tinggal di Australia. Colm belum diberitahu tentang penyakit ibunya. Colm adalah tipe orang yang mudah cemas, akan lebih baik jika ia tidak merasa khawatir.

Charley melamun di hiruk-pikuk bangsal rumah sakit yang cerah oleh sinar mentari sore. Pengunjung lain melakukan tugasnya, berkumpul di sekitar pasien, membawa bunga dan buah, menawarkan kata-kata pengharapan dan penghiburan.

“Kau sudah menemui dokter lagi?” tanya Charley ke istrinya.

“Mungkin besok.”

“Kira-kira berapa lama mereka akan tetap merawatmu di sini?”

Dolly berbalik dan batuk sambil menutupi mulutnya dengan tisu, kemudian bersandar kembali. Dia mengambil tangan suaminya lagi.

“Mereka akan mengabarkannya Senin. Mereka harus melakukan lebih banyak tes. Mereka takkan membiarkanku pulang sampai mereka tahu. Aku minta maaf sudah merepotkanmu.

Dada mungil dolly mendesah di bawah gaun malam yang berat. Charley membayangkan seekor burung yang ketakutan. Ia biasa menjulukinya Sweet Dolores Delarosa waktu mereka pacaran, mengejek mata sayu dan caranya menanggapi segala sesuatu dengan terlalu serius. Charley bertanya-tanya apakah Dolly menjadi sakit karena rasa cemasnya.

Dolly Delarosa yang malang!

Jangan terlalu banyak memikirkan apapun sampai kamu benar-benar sembuh,” katanya.

“Apa kau menangani segala sesuatunya dengan baik, sayang?”

“Sangat baik.”

Charley makan di luar dan berusaha menjauh sejauh mungkin dari rumah. Ia menanganinya dengan baik.

Menit-menit berlalu dalam keheningan. Charley memperhatikan para pengunjung dan menatap jam alarm di sebelah ranjang istrinya. Ia dapat mendengar dentingnya dari kejauhan dan mengingat dering yang menjengkelkan menyeret istrinya dari ranjang ketika fajar dan tak lama kemudian derap suara sarapan pagi di dapur membuatnya terjaga, mengingatkan nya bahwa ada pekerjaan seharian dan anak yang harus diantarkan ke sekolah dan diberi makan.

Tik-tik-tik-tik-tik-tik-tik.

Anak-anak telah dewasa sekarang. Cucu kedua akan lahir sebentar lagi. Waktu semakin berkurang. Wajah beruban di cermin cukur mengingatkan Charley akan usia menengah yang semakin renta. Apa gunanya mendapatkan uang jika kau tak menikmatinya? Mengapa jam tidak dapat mengambil waktunya? Mengapa begitu terburu-buru?

Ya Tuhan, kasihanilah! Dolly Dolorosa. Betapa itu akan sangat berbeda tanpanya.

Kelopak mata Dolly terkulai. Mulutnya terbuka sedikit. Ia tampak hampir mati. Waktu berlalu perlahan.

“Pasti sangat membosankan bagimu,” katanya, tanpa membuka matanya.

“Tidak sama sekali. Sangat menyenangkan bagiku melihatmu.”

“Tidaklah menyenangkan mengunjungi seseorang di rumah sakit. Begitu menyedihkan.”

“Omong kosong.”

Dolly menghempaskan kepalanya yang gelap lebih dalam ke bantal yang putih. Meringis sejenak kemudian tersenyum.

“Kau harus pergi sekarang Charley, kurasa aku akan tidur sejenak.”

“Kau yakin?”

Sangat yakin.”

Charley beranjak berdiri.

“Aku akan ke sini lagi nanti,” katanya.

“Tolong jangan. Sabtu bangsal akan dijelali dengan orang-orang. Pergilah sampai pagi. Datang lagi setelah Misa.”

“Itukah yang kau inginkan?”

“Iya, sayang.”

Dolly membuka matanya, tersenyum layaknya anak-anak. Sudah begitu lama sejak Dolly masih anak-anak.

“Kau tampak lelah, sayang,” katanya. “Tidakkah kau tidur?”

“Aku sedikit gelisah semalam.”

“Cobalah menangani sesuatunya dengan santai.”

Dolly meremas tangan suaminya, menekankan jarinya ke cincin emas pernikahan mereka. Tangan Dolly seringan bulu.

“Pergilah, sayang. Cobalah untuk tidak cemas.”

Charley membungkuk dan mengecup keningnya yang panas.

“Aku akan menemuimu besok,” kata Charley.

Mata Dolly terpejam. Tangannya terlepas dari tangan Charley.

Tik-tik-tik-tik-tik-tik-tik.

Charley berjalan sepanjang koridor berpelitur dan menemukan pintu keluar. Di luar, di tempat parkir terang, dia menuju mobilnya dan duduk di dalam. Dia melirik ke sekitar para pengunjung yang datang dan pergi. Perawat berjalan melintas, mengingatkannya akan kupu-kupu. Charley meraih ponselnya dan menekan sebuah nomor kontak. Teleponnya hampir dijawab dengan segera.

“Katherine?” panggilnya.

“Kemana saja kau? Aku sudah menunggu lama telepon darimu.”

“Aku di luar rumah sakit. Baru saja mengunjungi Dolly.”

“Bagaimanya keadaannya?”

“Baik, seperti yang bisa diharapkan, kukira. Siapa yang tahu?”

Charley menurunkan tirai untuk melindungi matanya dari terang yang menyilaukan, lalu mengalihkan perhatiannya ke teman barunya, Katherine.

Hidupnya hanya tinggal beberapa saat lagi.”

“Bisa aku menemuimu nanti?” tanya Katherine.

“Kuharap begitu.”

“Menginaplah malam ini,” tawar Katherine. “Kalau kau mau.”

Charley memikirkan rumah kosong miliknya, keheningan tanpa Dolly dan kesunyian yang menyeramkan yang ditinggalkannya

Ya, baiklah, sayang,” katanya.

“Datanglah kini,” bisik Katherine dengan suara merdu sambil tersenyum. “Aku akan menghiburmu.”

Charley mengucapkan selamat tinggal dan meletak telponnya jauh-jauh. Ia benar-benar tersenyum untuk pertama kalinya di hari itu. Ia menyalakan mesin dan sembari menyetir menjauh Charley melirik melalui kaca spion dan melihat bangunan kelabu rumah sakit mengecil mirip penjara.

Tuhan, tolonglah aku, pikirnya. Tuhan, bantulah kami semua.

<Fin>

No comments:

Post a Comment