Arthur Conan Doyle
Dia
adalah satu-satunya wanita yang istimewa. Baginya, dialah wanita yang paling
sempurna di antara kaumnya. Namun bukan berarti Holmes jatuh cinta kepadanya. Asmara
sangat tidak cocok dengan pemikirannya yang dingin dan tajam. Aku yakin dia
adalah mesin pemikir dan pengamat yang paling sempurna di dunia ini, namun dia
tidak cocok dengan hal-hal seperti asmara. Setiap kali dia berbicara tentang asmara,
dia selalu menjelaskannya dengan kesan mengejek. Dia hanya menggunakan asmara sebagai alat untuk menyingkap
motif dan tindakan seseorang. Tapi bagi dirinya sendiri, hal-hal seperti itu
malah akan mengacaukan seluruh pemikirannya. Baginya pasir di dalam instrumen musik
yang sensitif atau retakan pada kaca pembesarnya tidak terlalu mengganggu
dibandingkan dengan memiliki perasaan yang meluap-luap. Walaupun begitu, ada
seorang wanita yang diakui olehnya, dan wanita itu adalah Irene Adler.
Akhir-akhir ini aku jarang menemui Holmes.
Pernikahanku telah membuat jarak di antara kami. Kebahagiaan yang
kualami dan kesibukan sebagai kepala keluarga telah menyita segenap
perhatianku. Sedangkan Holmes, yang selalu ingin bebas dan tidak memiliki
keinginan untuk berkeluarga, tetap tinggal di rumah kontrakan kami di Baker
Street. Dia masih terbenam dalam buku-buku tuanya, dan dari minggu ke minggu
bergumul di antara kecanduannya pada kokain dan ambisinya, di antara rasa
kantuk yang diakibatkan oleh obat bius dan kekuatan alamiahnya yang luar biasa.
Dia
masih saja tertarik mempelajari masalah kriminal seperti sebelumnya, dan
menunjukkan segenap kecakapan dan kelihaian pengamatannya bila sedang
mengumpulkan bukti-bukti untuk menyingkap sebuah misteri yang telah dianggap
tak ada harapan oleh polisi. Sekali-sekali pernah juga aku mendengar tentang
kegiatannya; perjalanannya ke Odessa dalam kasus pembunuhan Trepoff,
keberhasilannya mengungkap misteri tragedi Atkinson bersaudara, dan yang
terakhir, misi yang diselesaikannya dengan gemilang dari keluarga Kerajaan
Belanda. Namun, di luar hal-hal di atas, yang biasanya kubicarakan dengan
sesama pembaca surat kabar, aku tak tahu banyak tentang teman lamaku itu.
Suatu
malam—tanggal 20 Maret 1888—aku sedang berjalan pulang dari rumah seorang
pasien (karena kini aku kembali menekuni praktek umum), dan aku lewat Baker
Street. Ketika melewati pintu rumah yang amat kukenal, yang mengingatkanku akan
masa-masa awal persahabatanku dengan Holmes dan peristiwa Scarlet yang
mengerikan, aku jadi ingin bertemu dengan Holmes untuk melihat keadaannya.
Ruangannya terang benderang, dan ketika aku menengok ke atas, kulihat
bayangannya melintas dua kali di kerai jendela. Dia sedang mondar-mandir di
kamarnya sambil menundukkan kepala, dan tangannya terlipat ke belakang. Karena
terbiasa memahami suasana hati dan kebiasaannya, aku bisa menafsirkan arti
tingkah lakunya itu. Dia sedang menangani sebuah kasus. Dia telah tersadar dari
halusinasi yang disebabkan oleh obat biusnya, dan kini asyik dengan masalah
nyata yang baru. Kupencet bel, dan lalu diantar ke kamar yang dulu pernah
kutempati.
Ketika
melihatku, dia tak terlalu terkejut. Dia memang jarang terkejut, tapi kurasa
dia senang bertemu denganku. Tanpa sepatah kata, namun dengan pandangan ramah,
dia mempersilahkanku duduk di kursi yang berlengan, melempar kotak cerutunya,
dan menunjuk kotak minuman keras di ujung ruangan. Lalu berdiri di depan
perapian, dan memandangiku dengan gaya menyelidiknya yang khas.
“Pernikahan
baik untukmu,” komentarnya. “Kurasa, Watson, beratmu naik tiga perempat kilo
dibanding terakhir kali aku melihatmu.”
“Tepatnya
tiga setengah kilo,” jawabku.
“Wah,
seharusnya aku lebih teliti. Cuma selisih sedikit, kan? Dan sekarang kau buka
praktek lagi, ya. Kenapa tak mengatakannya padaku?”
“Lho,
bagaimana kau tahu?”
“Kelihatan,
dan bisa disimpulkan. Aku juga tahu, bahwa kau sering kehujanan akhir-akhir
ini, dan pelayan wanitamu agak teledor?”
“Holmes,”
ujarku, “Kalau saja kau hidup beberapa abad yang lalu, orang pasti akan
membakarmu karena mengira kau adalah penyihir. Memang benar aku ke luar rumah
hari Kamis yang lalu dan pulang dalam keadaan tak keruan, tapi sekarang aku sudah
ganti pakaian, tak bisa kubayangkan bagaimana caranya kau mengambil kesimpulan.
Dan pelayanku, Mary Jane, memang payah sekali, dan sudah ditegur oleh istriku,
tapi lagi-lagi aku tak mengerti bagaimana kau bisa menyimpulkan hal itu.”
Dia
tergelak dan mengusap-usapkan kedua tangannya yang panjang dan tak bisa diam
itu.
“Gampang,” katanya. “Mataku melihat bahwa di bagian dalam sepatumu yang sebelah kiri, yang disinari cahaya lampu itu, ada enam goresan sejajar. Pasti disebabkan oleh keteledoran orang yang berusaha membersihkan lumpur kering dari sol sepatu. Itulah makanya aku bisa mengambil kesimpulan bahwa kau pernah keluyuran dalam cuaca yang buruk, dan bahwa kau mempekerjakan pembantu yang teledor. Mengenai praktekmu, aku tahu dari bau yodoform-mu, dan tonjolan di bagian atas topimu yang kau pakai untuk menyimpan stetoskop. Alangkah bodohnya aku kalau sampai tak tahu bahwa kau masih aktif di profesimu sebagai dokter.”
“Gampang,” katanya. “Mataku melihat bahwa di bagian dalam sepatumu yang sebelah kiri, yang disinari cahaya lampu itu, ada enam goresan sejajar. Pasti disebabkan oleh keteledoran orang yang berusaha membersihkan lumpur kering dari sol sepatu. Itulah makanya aku bisa mengambil kesimpulan bahwa kau pernah keluyuran dalam cuaca yang buruk, dan bahwa kau mempekerjakan pembantu yang teledor. Mengenai praktekmu, aku tahu dari bau yodoform-mu, dan tonjolan di bagian atas topimu yang kau pakai untuk menyimpan stetoskop. Alangkah bodohnya aku kalau sampai tak tahu bahwa kau masih aktif di profesimu sebagai dokter.”
Aku
tak dapat menahan rasa geli mendengar penjelasannya tentang bagaimana caranya
dia menarik kesimpulan. “Kalau aku mendengar bagaimana kau mengemukakan
alasan,” komentarku, “nampaknya kok begitu gampang, ya, sehingga rasanya aku
pun mampu melakukannya. Tapi kenyataannya aku selalu terheran-heran sampai
akhirnya kau harus menjelaskannya. Tapi, aku yakin, mataku sama baiknya dengan
matamu.”
“Betul,”
jawabnya sambil menyulut rokok, lalu menjatuhkan dirinya di kursi. “Kau
melihat, tapi tak mengamati. Bedanya jauh sekali. Misalnya, kau sudah sering
melihat tangga yang menuju kamar ini.”
“Memang.”
“Berapa kali?”
“Berapa kali?”
“Yah,
beratus-ratus kali.”
“Lalu,
berapakah jumlah anak tangganya?”
“Berapa?
Mana aku tahu!”
“Begitulah.
Kau tak mengamati, walaupun kau melihat. Itulah yang kumaksudkan. Aku tahu ada
tujuh belas anak tangga, karena sambil melihat aku mengamati. Omong-omong,
karena kau berminat pada masalah-masalah kecil seperti ini, dan karena kau
sudah berbaik hati mencatatkan beberapa pengalamanku yang sepele, kau mungkin
akan tertarik pada hal berikut ini.” Dilemparkannya secarik kertas surat tebal
berwarna merah jambu yang tadi tergeletak di meja. “Baru saja tiba,” katanya.
“Bacalah.”
Surat
itu tak bertanggal, tanpa tanda tangan, dan tanpa alamat pengirim.
Seseorang akan mengunjungi Anda malam
ini, pada jam delapan kurang seperempat. Dia ingin berkonsultasi pada Anda
mengenai suatu masalah yang sangat mendesak. Jasa Anda pada salah satu keluarga
kerajaan di Eropa baru-baru ini menunjukkan bahwa Andalah orang yang pantas
dipercaya untuk menangani masalah penting yang tak boleh disebar luaskan ini.
Rekomendasi tentang Anda dari mana-mana kami dapatkan. Tunggulah di kamar Anda
pada jam yang telah ditentukan, dan jangan curiga bila tamu Anda nanti datang mengenakan
topeng.
“Benar-benar
sebuah misteri,” komentarku. “Apakah kau punya bayangan, apa artinya ini?”
“Aku
belum punya data. Mengajukan teori tanpa mempunyai data adalah kesalahan besar.
Secara tak sadar, kita akan mengubah fakta agar cocok dengan teori, dan
bukannya teori yang seharusnya disesuaikan dengan fakta. Tapi dari surat itu
sendiri, adakah kesimpulan yang bisa kau tarik?”
Dengan
saksama kuamati tulisan dan kertas surat itu.
“Penulis
surat ini pastilah orang kaya,” komentarku sambil menirukan caranya menyimpulkan
sesuatu. “Kertas suratnya dari jenis yang mahal, tebal, dan kaku.”
“Tak
biasa—itu tepatnya,” kata Holmes. “Kertasnya bukan buatan Inggris. Coba,
dekatkan surat itu ke lampu.”
Aku
turuti perintahnya, dan tampak olehku huruf ‘E’ besar diikuti huruf ‘g’ kecil, ‘P’
dan ‘G’ yang diikuti huruf ‘t’ teranyam pada tekstur kertas surat itu.
“Apa
pendapatmu?” tanya Holmes.
“Pasti
nama pabrik kertasnya, atau mungkin singkatannya.”
“Bukan.
Huruf G dan t adalah singkatan dari Gessellschaft, yaitu kata Jerman untuk
Perusahaan Terbatas, yang disingkat PT. P tentu saja singkatan dari Papier.
Lalu Eg. Kita cek saja dari daftar nama-nama benua,” Diambilnya sebuah buku
tebal berwarna coklat dari rak buku. “Eglow, Eglonitz—ini dia, Egria. Terletak
di sebuah negara berbahasa Jerman—di Bohemia, tak jauh dari Carlsbad. 'Terkenal
sebagai tempat meninggalnya Wallenstein, dan banyaknya pabrik kaca dan pabrik
kertas di sana.' Ha, ha, sobat, apa pendapatmu?” Matanya berbinar, dan
dikepulkannya asap kemenangan dari rokoknya.
“Kertasnya
buatan Bohemia,” kataku.
“Benar.
Dan penulisnya seorang Jerman. Perhatikan susunan kalimatnya—Rekomendasi
tentang Anda dari mana-mana kami dapatkan. Orang Rusia atau Prancis tak
demikian gaya bahasanya. Hanya orang Jerman-lah yang demikian. Maka, kita kini
tinggal cari tahu apa yang diinginkan oleh orang Jerman yang menggunakan kertas
Bohemia dan lebih suka memakai topeng daripada memperlihatkan wajahnya ini. Kalau
aku tidak salah, dia sedang menuju kemari sehingga kita tak perlu berlama-lama
menduga-duga.”
Saat
dia berbicara, terdengar suara derap kaki kuda dan derit kereta di tepi jalan,
disusul oleh bunyi bel pintu. Holmes bersiul.
“Dari
suaranya, nampaknya kudanya ada sepasang,” katanya. “Ya,” lanjutnya sambil
menengok dari jendela. “Kereta dan kedua kudanya bagus sekali. Harganya pasti
lebih dari seratus lima puluh guinea seekornya. Kasus ini akan menghasilkan
banyak uang, Watson, kalau semuanya berjalan lancar.”
“Kupikir,
sebaiknya aku pulang saja, Holmes.”
“Jangan,
Dokter. Tinggallah sebentar. Aku bingung kalau tak ada yang mendampingi. Dan
kasus ini nampaknya menarik. Sayang, kalau dilewatkan begitu saja.”
“Tapi
klienmu...”
“Tak
apa. Akan kubilang aku dan dia butuh bantuanmu. Nah, itu dia. Duduklah di kursi
itu, Dokter, dan perhatikanlah percakapan kami dengan saksama.”
Terdengar
langkah yang berat dan perlahan-lahan di tangga, lalu menuju ke gang, dan
berhenti tepat di depan pintu. Kemudian terdengar suara ketukan yang cukup kuat
dan berkesan berwibawa.
“Silakan
masuk!” kata Holmes.
Seorang
pria muncul. Tubuhnya tinggi sekali, serta tegap dan kekar bagaikan Hercules.
Pakaiannya mewah, kemewahan yang kalau di Inggris akan dianggap sebagai sesuatu
yang norak. Lengan dan bagian depan pakaiannya yang berlapis penuh dengan
rumbai-rumbai, sedang jubah biru tuanya bergariskan sutera merah terang yang
bagian lehernya dijepit dengan bros permata berwarna hijau. Dengan sepatu
larsnya yang tingginya sampai hampir ke betis dan yang pinggiran atasnya
berlapiskan bulu yang mahal berwarna coklat, lengkaplah sudah penampilannya
bagaikan maha hartawan yang bengis. Tangannya menggenggam sebuah topi lebar,
sedangkan wajahnya tertutup topeng pelindung berwarna hitam yang baru saja dikatupkannya
sebelum masuk. Ini terlihat dari tangannya yang masih memegangi bagian atas
topeng ketika dia memasuki ruangan. Dari bagian bawah wajahnya yang kelihatan,
nampaknya orang ini gagah sekali, dengan bibir tebal dan dagu lurus memanjang
yang bisa menandakan ketegaran hati atau sifat keras kepala.
“Apakah
Anda menerima surat saya?” tanyanya dengan suara yang dalam dan parau, dan
dengan aksen Jerman yang amat kentara. “Saya mengatakan bahwa saya akan menemui
Anda.”
Dia
memandang kami secara bergantian, seolah-olah tak tahu kepada siapa dia harus
berbicara.
“Silakan duduk,” kata Holmes. “Ini teman saya, Dr. Watson, yang banyak membantu saya dalam menangani kasus-kasus. Bagaimana sebaiknya saya memanggil Anda?”
“Silakan duduk,” kata Holmes. “Ini teman saya, Dr. Watson, yang banyak membantu saya dalam menangani kasus-kasus. Bagaimana sebaiknya saya memanggil Anda?”
“Panggil
saja Count von Kramm, saya bangsawan dari Bohemia. Saya yakin teman Anda ini
layak dipercaya untuk masalah saya yang sangat penting ini. Kalau tidak, saya
lebih suka berurusan dengan Anda sendiri saja.”
Aku
bergegas hendak pergi, tapi Holmes menarik pergelangan tanganku dan mendorongku
agar duduk kembali. “Kami berdua, atau tidak dua-duanya,” katanya. “Apa yang
ingin Anda katakan pada saya, harus diketahuinya juga.”
Bangsawan
itu mengangkat bahunya yang lebar. “Baiklah, saya akan mulai,” katanya. “Saya
mohon Anda berdua bersedia merahasiakan ini selama dua tahun. Setelah itu,
sudah tak akan jadi masalah lagi. Sekarang, persoalan ini begitu penting
sehingga bisa mempengaruhi sejarah Eropa.”
“Saya
berjanji akan merahasiakannya,” kata Holmes.
“Saya
juga.”
“Maaf
karena saya harus mengenakan topeng ini,” lanjut tamu kami yang aneh itu. “Saya
utusan orang besar, dan beliau tak ingin wajah saya dikenali. Terus terang,
gelar yang saya katakan tadi juga bukan milik saya.”
“Saya
tahu itu,” kata Holmes dengan acuh.
“Keadaannya
begitu rumit, sehingga kami harus sangat berhati-hati agar tak terjadi skandal
besar yang bisa menjatuhkan keluarga kerajaan yang sedang bertahta di Eropa.
Untuk lebih jelasnya, masalah ini berkaitan dengan Dinasti Ormstein, keturunan
raja-raja Bohemia.”
“Saya
juga tahu itu,” gumam Holmes sambil membenamkan tubuhnya di sebuah kursi dan
memejamkan matanya.
Tamu
kami mengamati Holmes yang bersikap santai dan seenaknya itu dengan heran, karena
menurut kabar yang didapatnya, dia merupakan pemikir paling handal dan detektif
paling bersemangat di seluruh Eropa. Holmes membuka matanya kembali, dan
memandang klien kami yang tinggi besar itu dengan perasaan tak sabar.
“Setelah
Yang Muia menceritakan semuanya,” temanku berkata, “barulah saya bisa
memikirkan nasihat apa yang sebaiknya saya berikan.”
Pria
itu terlompat dari kursinya, lalu berjalan hilir-mudik di kamar itu dengan
gejolak perasaan yang tak terkendali. Lalu dengan gerakan menyerah kalah,
dibukanya topengnya dan dibuang ke lantai. “Anda benar,” teriaknya, “saya adalah
seorang raja. Untuk apa saya harus merahasiakannya?”
“Ya,
untuk apa?” gumam Holmes. “Sebelum Yang Mulia berkata apa-apa, saya sudah tahu
bahwa saya berhadapan dengan Wilhelm Gottsreich Sigismond von Ormstein, Grand
Duke of Cassel-Falstein dan Raja Bohemia.”
“Jadi
tentunya Anda bisa memahami situasi saya,” kata tamu yang aneh itu, lalu dia
duduk kembali sambil memegangi dahinya yang lebar. “Anda pasti mengerti bahwa
saya tak pernah melakukan hal seperti ini sendiri. Tapi, berhubung masalahnya
amat peka, saya tak berani mempercayakannya kepada seorang utusan. Saya datang
dengan diam-diam dari Prague untuk berkonsultasi dengan Anda.”
“Silakan
jelaskan masalah Anda,” kata Holmes, lalu memejamkan matanya kembali.
“Begini
ceritanya; Lima tahun lalu, ketika saya sedang melakukan kunjungan yang agak
lama ke Warsawa, saya berkenalan dengan seorang wanita, Irene Adler. Anda pasti
pernah mendengar namanya.”
“Tolong
carikan di buku indeks, Dokter,” gumam Holmes tanpa membuka matanya. Selama
bertahun-tahun dia telah menyimpan semua berita tentang orang dan peristiwa
sehingga gampang baginya untuk segera mendapatkan informasi. Keterangan tentang
Irene Adler ternyata berada di antara riwayat hidup seorang rabi Yahudi dan
seorang staf komandan yang pernah menulis monografi tentang ikan-ikan di
pedalaman laut.
“Coba
kulihat,” kata Holmes. “Hm! Lahir di New Jersey pada tahun 1958. Suaranya alto--hm!
La Scala, hm! Primadona Opera Imperial di Warsawa--Ya! Sudah berhenti bekerja
di panggung--ha! Sekarang tinggal di London--kebetulan! Saya menduga pastilah
Yang Mulia terlibat asmara dengan wanita muda ini, dan pernah menulis beberapa
surat yang bisa membahayakan kedudukan Yang Mulia. Kini, Yang Mulia bermaksud
mendapatkan surat-surat itu kembali.”
“Tepat
sekali. Tapi, bagaimana....”
“Pernah
menikah dengannya secara rahasia?”
“Tidak.”
“Pernah ada perjanjian-perjanjian yang sah secara hukum?”
“Pernah ada perjanjian-perjanjian yang sah secara hukum?”
“Tidak.”
“Kalau begitu, saya tak mengerti maksud Yang Mulia. Kalaupun wanita ini menyebarluaskan surat-surat tersebut untuk memeras Yang Mulia atau maksud-maksud lainnya, bagaimana dia bisa membuktikan bahwa surat-surat itu asli?”
“Kalau begitu, saya tak mengerti maksud Yang Mulia. Kalaupun wanita ini menyebarluaskan surat-surat tersebut untuk memeras Yang Mulia atau maksud-maksud lainnya, bagaimana dia bisa membuktikan bahwa surat-surat itu asli?”
“Tulisannya.”
“Yang
Mulia dapat mengatakan bahwa itu telah dipalsukan.”
“Kertas
suratnya.”
“Dicuri.”
“Tanda
tangan saya.”
“Ditiru.”
“Foto
saya.”
“Dibeli.”
“Foto
kami berdua.”
“Astaga!
Yang Mulia telah bertindak sembrono.”
“Waktu
itu saya tergila-gila padanya.”
“Anda
telah terlibat dalam hal yang sangat serius.”
“Waktu
itu saya masih Putra Mahkota. Masih muda sekali. Sekarang saja umur saya belum genap
tiga puluh tahun.”
“Foto
itu harus diambil.”
“Kami
sudah mencoba dan gagal.”
“Yang
Mulia harus membayarnya. Foto itu harus dibeli.”
“Dia
tak mau menjualnya.”
“Kalau
begitu, ya dicuri saja.”
“Sudah
dicoba lima kali. Dua kali pencuri bayaran menggeledah rumahnya. Sekali
kopernya diselewengkan ketika dia bepergian. Dua kali dia dicegat. Tak ada
hasilnya.”
“Tak
ada tanda-tanda juga?”
“Sama
sekali.”
Holmes
tertawa. “Masalah kecil yang menarik,” katanya.
“Tapi
bagi saya sangat serius,” sanggah Sang Raja dengan masygul.
“Benar,
sangat serius. Apa yang ingin dilakukannya dengan foto itu?”
“Menghancurkan
saya.”
“Bagaimana
caranya?”
“Dalam
waktu dekat saya akan menikah.”
“Saya
telah mendengar berita itu.”
“Calon
istri saya adalah Clotilde Lothman von Saxe-Meningen, putri kedua Raja
Skandinavia. Anda pasti tahu bagaimana ketatnya aturan-aturan keluarganya. Dia
sendiri juga gadis yang sangat peka. Kalau ada bayang keraguan sedikit saja
tentang perilaku saya, tamatlah semuanya.”
“Dan
Irene Adler?”
“Dia
mengancam akan mengirim foto itu ke keluarga calon istriku. Saya yakin dia tak
main-main. Anda tak tahu, wanita itu keras kepala. Wajahnya memang paling
cantik di antara wanita-wanita sedunia, tapi kemauannya sekuat laki-laki.
Karena saya mau menikah dengan gadis lain, dia pasti bermaksud membatalkannya
dengan cara apa pun.”
“Yakinkah
Anda, bahwa foto itu belum dikirimkannya?”
“Saya
yakin.”
“Apa
alasannya?”
“Karena
dia mengatakan bahwa dia akan mengirimkannya pada saat pernikahan kami
diumumkan secara resmi. Dan itu berarti Senin depan.”
“Oh,
untunglah masih ada waktu tiga hari,” kata Holmes sambil menguap. “Soalnya ada
satu-dua kasus penting yang sedang saya tangani saat ini. Tentunya Yang Mulia
akan tinggal di London sementara ini?”
“Tentu
saja. Anda bisa temui saya di Hotel Langham dengan nama samaran Count von
Kramm.”
“Saya
akan segera memberi kabar kalau ada perkembangan.”
“Kuharap
begitu. Saya cemas sekali.”
“Lalu,
bayaran untuk jasa saya?”
“Silakan
tulis semau Anda.”
“Betul
begitu?”
“Dengar,
saya bahkan rela menyerahkan salah satu daerah kerajaan saya asal foto itu
kembali ke tangan saya.”
“Dan
untuk biaya-biaya yang diperlukan saat ini?”
Sang
Raja mengeluarkan tas kulit yang berat dari dalam jubahnya, dan menaruhnya di meja.
“Ada
tiga ratus pound dalam bentuk koin emas, dan tujuh ratus berupa uang kertas,”
dia berkata.
Segera
Holmes menulis tanda terima pada secarik kertas, dan menyerahkannya kepada Sang
Raja.
“Dan
alamat wanita itu?” tanyanya.
“Briony
Lodge, Serpentine Avenue, St. John`s Wood.”
Holmes
mencatatnya. “Satu pertanyaan lagi, apakah fotonya berukuran kabinet?”
“Ya.”
“Baiklah,
selamat malam, Yang Mulia, dan saya yakin kami akan segera mengirim berita yang
menggembirakan kepada Anda. Dan selamat malam, Watson,” tambahnya, ketika
kereta kerajaan itu berlalu. “Kalau kau tak keberatan, datanglah kemari besok
jam tiga, aku ingin membicarakan masalah kecil ini denganmu.
***
Tepat
jam tiga keesokan harinya aku sudah berada di Baker Street, tapi Holmes belum
kembali. Pemilik rumah kontrakan mengatakan bahwa dia pergi sejak jam delapan
pagi. Aku lalu duduk dekat perapian, berniat menunggu kedatangannya, tak peduli
betapapun lamanya aku harus menunggu. Aku telah benar-benar tertarik pada
penyelidikannya, karena walaupun tidak penuh dengan kesangsian dan keanehan
dibandingkan dengan dua kisah kejahatan yang pernah kuliput, kasus ini amat istimewa
karena seorang raja terlibat di dalamnya. Sebenarnya, di samping keistimewaan
kasus ini, aku juga tertarik pada kemampuan temanku yang mengagumkan dalam
memahami situasi, dan daya pikirnya yang tajam, yang membuatku ingin belajar
cara-caranya yang serba cepat dan cerdik dalam menguraikan misteri-misteri yang
rumit. Aku sudah sering melihat kesuksesannya sehingga tak pernah berpikir dia
akan gagal.
Hampir
jam empat ketika pintu ruangan terbuka dan masuklah seorang pria yang mirip
kusir kereta yang sedang mabuk, bercambang, berwajah kemerahan, dan berpakaian
awut-awutan. Walaupun aku sudah sering melihat penyamarannya yang hebat-hebat,
aku tetap harus mengamatinya sampai tiga kali sebelum yakin benar bahwa yang
berdiri di depanku ini benar-benar temanku, Holmes. Sambil mengangguk dia masuk
ke kamarnya, dan lima menit kemudian dia keluar lagi, sudah mengenakan jas wol
yang rapi. Dengan kedua tangan di dalam saku celananya, direntangkannya kedua
kakinya di depan perapian, lalu dia tertawa terbahak-bahak selama beberapa
saat.
“Wah,
keterlaluan!” serunya, lalu tergelak dan tertawa lagi sampai tergeletak
kelelahan di kursi.
“Ada
apa?”
“Lucu
sekali. Aku yakin kau tak bisa membayangkan apa yang telah kulakukan sepanjang
pagi tadi, atau bagaimana berakhirnya.”
“Memang
tidak. Mungkin kau pergi untuk mengawasi kebiasaan-kebiasaan, atau rumah, Miss
Irene Adler.”
“Memang,
dan buntutnya jadi unik. Begini, aku berangkat jam delapan lewat pagi tadi,
menyamar sebagai kusir kereta yang sedang menganggur. Kesetiakawanan
kusir-kusir kereta biasanya tinggi. Kalau kau mau mencari berita, jadilah salah
satu dari mereka. Dalam sekejab aku tahu di mana letaknya Briony Lodge, vila
kecil yang indah dengan kebun di belakangnya. Letak bangunan bertingkat dua itu
tepat di pinggir jalan. Pintu depannya selalu terkunci. Ruang duduknya yang
besar ada di sebelah kanan, penuh perabot, dan jendelanya panjang-panjang
sampai hampir menyentuh lantai. Kunci-kunci jendelanya model Inggris yang
gampang sekali dibuka bahkan oleh anak kecil. Ada jendela samping yang bisa
dijangkau dari atap tempat kereta di bagian belakang. Kukelilingi rumah itu
sambil mengamatinya dengan teliti, tapi tak ada lagi yang menarik perhatianku.
“Aku
lalu kembali ke jalan raya, dan sebagaimana yang telah kuduga, ada kandang kuda
di jalan yang menurun di samping salah satu tembok taman. Aku pura-pura ikut
membantu seorang kusir yang sedang menggosok kuda, dan menerima sedikit bayaran,
segelas minuman, dua batang rokok, dan informasi lengkap tentang Miss Adler.
Aku bahkan mendapat keterangan tentang beberapa orang lain lagi yang tinggal di
sekitar situ yang sebenarnya tak kuperlukan, tapi yang mau tak mau harus
kudengarkan juga.”
“Berita
apa yang kau dapat tentang Irene Adler?” tanyaku.
“Oh,
banyak lelaki tergila-gila padanya. Kecantikannya telah terkenal ke mana-mana. Hidupnya
tenang, dia menyanyi di beberapa konser, berangkat tiap jam lima, dan kembali
untuk makan malam jam tujuh tepat. Dia jarang bepergian di luar jam-jam itu,
kecuali kalau ada tugas untuk menyanyi. Hanya ada seorang pria yang sering
mengunjunginya. Orangnya berkulit gelap dan sangat tampan. Dalam sehari dia
berkunjung lebih dari sekali. Namanya Mr. Godfrey Norton, dari Inner Temple.
Itulah untungnya berkawan dengan kusir-kusir kereta. Mereka sering mengantar
pulang Mr. Norton dari Serpentine Mews sehingga banyak tahu tentang dirinya.
Setelah mendengar semua itu, aku kembali berjalan-jalan dekat Briony Lodge dan
memikirkan tentang rencana tindakan selanjutnya.
“Godfrey
Norton ini pasti memegang peranan penting. Dia seorang pengacara. Ini
mencurigakan, bukan? Ada hubungan apa di antara mereka, dan untuk apa dia
datang ke sana berkali-kali? Apakah Miss Adler kliennya, temannya, atau kekasih
gelapnya? Kalau kliennya, mungkin foto itu dititipkan padanya. Kalau kekasih
gelapnya, rasanya tak mungkin foto itu dititipkan padanya. Kepastian akan hal
inilah yang menentukan apakah aku akan bertindak di Briony Lodge atau di Inner
Temple. Cukup rumit, dan menambah wawasan penyelidikanku. Jangan-jangan aku
membuatmu bosan dengan detail-detail ini, tapi aku harus mengungkapkan
kesulitan-kesulitanku agar kau memahami situasinya.”
“Aku
mendengarmu dengan seksama,” jawabku.
“Aku
sedang berpikir ketika sebuah kereta berhenti di depan Briony Lodge dan seorang
pria berkulit gelap, berhidung bengkok, dan berkumis, meloncat turun. Ternyata
dia Mr. Godfrey Norton. Dia nampaknya sedang terburu-buru. Dia menyuruh kusir
untuk menunggunya, dan melewati begitu saja pelayan wanita yang membukakan
pintu. Ini menunjukkan bahwa dia sudah biasa berkunjung ke situ.
“Dia
berada di dalam selama kira-kira setengah jam, dan dari jendela di ruang duduk,
sekilas aku bisa melihatnya mondar-mandir sambil berbicara dan
melambai-lambaikan tangannya. Aku tak melihat Miss Adler. Kemudian dia keluar
dari vila itu, wajahnya kelihatan lebih kacau dari sebelumnya. Begitu dia
berada di dalam kereta, dia mengeluarkan jam emas dari sakunya dan
memandanginya dengan saksama. ’Cepat berangkat,’ teriaknya. ’Ke Toko Gross And
Hankey di Regent Street, lalu ke Gereja St. Monica di Edgware Street. Kubayar
kau setengah guinea kalau bisa menempuhnya dalam dua puluh menit!’
“Mereka
lalu berangkat, dan aku sedang menimbang-nimbang apakah aku perlu mengikutinya ketika
sebuah kereta yang indah dengan kusirnya berpakaian jas yang cuma setengah
dikancingkan sehingga masih awut-awutan masuk ke jalur jalan di halaman vila
itu. Kereta itu belum berhenti sepenuhnya ketika Miss Adler terburu-buru keluar
dari vila dan segera naik ke dalamnya. Aku sempat melihat wajahnya, walau hanya
sekilas. Dia sungguh cantik luar biasa. Tak ada pria yang tak akan berjuang mati-matian
untuk mendapatkannya.
“’Ke
Gereja St. Monica, John!’ teriaknya. ’Kubayar satu koin emas kalau kau bisa
menempuhnya dalam waktu dua puluh menit.’
“Ini
tak boleh dilewatkan, Watson. Aku ragu-ragu apakah aku akan menguntitnya sambil
berlari, atau menempel saja di bagian belakang keretanya. Tiba-tiba ada kereta
lewat. Kusir kereta itu mempertimbangkan sejenak, tapi aku langsung naik
sebelum dia menolak. ’Ke Gereja St. Monica,’ kataku, ’dan akan kubayar satu
koin emas kalau kau bisa membuatku sampai di sana dalam dua puluh menit.’ Waktu
itu jam dua belas kurang dua puluh lima, jadi aku tahu apa sebenarnya yang akan
terjadi..
“Kereta
yang kutumpangi melaju dengan cepat. Rasanya aku belum pernah mengendarai
kereta secepat itu, tapi kereta-kereta yang mendahuluiku sudah sampai duluan.
Kubayar ongkos kereta dan segera masuk ke dalam gereja. Tak ada orang lain
kecuali kedua orang yang kuikuti tadi dan seorang pendeta yang sedang berbicara
dengan serius dengan mereka. Mereka berdiri bergerombol di depan altar. Aku
berjalan pelan-pelan di antara deretan kursi-kursi seperti layaknya seorang
pengunjung gereja biasa. Tiba-tiba, ketiga orang di depan altar itu menengok ke
arahku, dan Godfrey Norton lalu berlari mendekatiku.
“’Ya
Tuhan, terima kasih!’ teriaknya. ‘Anda juga boleh. Mari! Mari!’
“’Ada
apa ini?’ tanyaku.
“’Mari,
Tuan, ayo, tiga menit saja, kalau tidak, ini tidak akan sah.’
“Dia
menarikku ke depan altar, dan sebelum aku menyadarinya, aku telah begitu saja
mengucapkan kata-kata yang dibisikkan padaku, menjadi saksi kedua orang yang
tak kukenal itu dan menolong terlaksananya pernikahan mereka. Semua berlangsung
dalam sekejap mata, dan kedua mempelai lalu menyalamiku sambil mengucapkan
terima kasih, disaksikan sang pendeta yang berseri-seri wajahnya. Keadaan itu
betul-betul tak terbayang seumur hidupku, dan aku tadi tertawa karena
membayangkan hal itu lagi. Nampaknya surat nikah mereka agak kurang beres,
sehingga pendeta itu menolak meneguhkan pernikahan mereka tanpa hadirnya
seorang saksi, dan kedatanganku menguntungkan pengantin pria karena dia tak
usah repot-repot lari ke jalan untuk mencomot seorang saksi. Pengantin wanitanya
memberiku satu koin emas dan itu kugantung di rantai jamku, sebagai kenangan
atas peristiwa itu.”
“Benar-benar
kejadian yang tak terduga,” kataku, “lalu bagaimana selanjutnya?"
“Yah,
kurasa rencana-rencanaku terancam gagal. Kelihatannya mereka berdua akan segera
pergi, jadi aku harus secepatnya bertindak. Ketika mereka hendak berpisah di
pintu gereja kudengar mempelai wanita mengatakan, ‘Aku akan pergi ke taman pada
jam lima seperti biasanya.’ Mereka lalu berpisah, masing-masing ke tempat
tinggalnya sendiri, dan aku pun pulang untuk mempersiapkan rencana.”
“Apa
itu?”
“Daging
sapi dingin dan segelas bir,” jawabnya sambil membunyikan bel. “Aku terlalu
sibuk sampai lupa makan, dan sore ini aku mungkin akan lebih sibuk lagi.
Ngomong-ngomong, Dokter, aku butuh bantuanmu.”
“Dengan
senang hati.”
“Kau
tak keberatan melanggar hukum?”
“Sama
sekali tidak”
“Walaupun
mungkin kau akan tertangkap dan dikurung di penjara?”
“Tidak,
kalau dengan alasan yang kuat.”
“Oh,
alasannya kuat sekali!”
“Maka
aku siap menolongmu.”
“Kau
memang selalu dapat diandalkan.”
“Tapi
apa sebenarnya rencanamu?”
“Nanti
kujelaskan setelah Mrs. Turner membawa masuk makananku. Nah,” katanya sambil
menengok makanan sederhana yang dihidangkan induk semangnya, “kita bicarakan
sambil aku makan, karena waktunya terbatas. Sudah hampir jam lima sekarang. Dalam
dua jam, kita harus sudah berada di sana. Miss Irene, atau lebih tepatnya Madam
Irene akan kembali jam tujuh. Kita akan ke Briony Lodge untuk menemuinya.”
“Lalu?”
“Lalu?”
“Percayakan
saja padaku. Sudah kuatur jalan peristiwanya. Hanya saja satu hal yang harus
kutekankan. Kau jangan sekali-sekali ikut campur, apa pun yang terjadi.
Mengerti?”
“Aku
netral saja, begitu?”
“Jangan
bertindak apa-apa. Mungkin akan ada sedikit keributan, tapi jangan nimbrung,
ya. Sesudahnya aku akan dibawa masuk. Empat atau lima menit kemudian, jendela
ruang duduk akan terbuka. Kau harus menunggu di dekat jendela itu.”
“Ya.”
“Kau
harus mengawasiku, karena aku akan terlihat olehmu.”
“Ya.”
“Kalau
kuangkat tanganku—begini--kaulemparkan sebuah benda ke dalam ruangan itu. Lalu,
pada saat yang bersamaan, berteriaklah ada kebakaran. Mengerti maksudku?”
“Jelas
sekali.”
“Tak
akan terlalu membahayakan,” katanya sambil mengeluarkan sebuah gulungan
berbentuk rokok dari sakunya. “Cuma roket uap yang biasa digunakan tukang ledeng.
Kedua ujungnya ditutupi sesuatu supaya bisa menyala sendiri. Itu saja tugasmu.
Begitu teriakan kebakaranmu menggema, banyak orang akan bereaksi. Lalu kau
santai saja meninggalkan tempat itu, dan aku akan menemuimu di ujung jalan sepuluh
menit kemudiann. Jelas?”
“Aku
tak boleh ikut campur, harus mendekati jendela, mengawasimu, dan bila diberi
isyarat, melemparkan benda ini dan berteriak, lalu menunggumu di ujung jalan.”
“Persis.”
“Beres,
kalau begitu.”
“Bagus!
Kupikir mungkin sudah waktunya aku mempersiapkan diri untuk peranku yang baru.”
Dia
menghilang ke kamarnya, lalu muncul lagi beberapa menit kemudian dalam rupa
seorang pendeta sederhana yang ramah. Topi hitamnya yang lebar, celananya yang
longgar, dasinya yang putih, senyumnya yang simpatik, dan cara menatapnya yang
penuh rasa ingin tahu, benar-benar hanya bisa ditandingi oleh Mr. John Hare.
Holmes tidak sekadar berganti kostum. Ekspresi wajahnya, gayanya, dan juga
jiwanya selalu disesuaikan dengan peran yang sedang dilakoninya. Dunia panggung
benar-benar telah kehilangan aktornya yang berbakat, demikian pula dunia ilmu
pengetahuan telah kehilangan seorang pemikir yang tajam, ketika dia berganti
profesi menjadi spesialis kriminal.
Pukul
enam lewat seperempat ketika kami meninggalkan Baker Street, dan masih menunggu
selama sepuluh menit ketika kami tiba di Serpentine Avenue. Hari mulai gelap,
dan lampu-lampu baru mulai dinyalakan ketika kami mulai mondar-mandir di depan
Briony Lodge, sambil menunggu penghuninya pulang. Rumah itu persis seperti yang
digambarkan Sherlock Holmes, tapi lokasinya tak begitu pribadi seperti yang
kubayangkan sebelumnya. Sebaliknya, suasananya cukup ramai untuk ukuran jalan
sekecil itu. Ada sekelompok orang dengan pakaian kumal sedang merokok dan
tertawa-tawa di sudut jalan, seorang tukang asah gunting sedang mendorong
gerobaknya, dua pria penjaga rumah sedang menggoda seorang gadis perawat, dan
beberapa pemuda yang berpakaian bagus mondar-mandir dengan rokok tersulut di
mulut mereka.
“Sebetulnya,”
komentar Holmes sementara kami mondar-mandir di depan rumah itu, “pernikahan
mereka agak meringankan kasus ini. Foto itu kini malah menjadi pedang bermata
dua. Miss Adler pasti tak ingin foto itu terlihat oleh Godfrey Norton, seperti
juga klien kita yang tak mau benda itu jatuh ke tangan calon permaisurinya.
Pertanyaannya sekarang—dimanakah kita akan menemukan foto itu?”
“Di
mana, ya?”
“Tak
mungkin dibawa-bawa. Ukurannya kabinet. Terlalu besar kalau mau disembunyikan
di dalam gaunnya. Dia tahu Raja bisa menyuruh orang untuk mencegat dan
menggeledahnya. Hal itu pernah dilakukan dua kali. Jadi tak mungkin dia
membawanya kalau dia sedang bepergian.”
“Jadi,
di mana?”
“Disimpan
di bank atau di pengacaranya. Mungkin saja. Tapi menurutku tidak. Wanita
biasanya tak ingin rahasianya diketahui siapa pun. Untuk apa dia menitipkan itu
ke orang lain? Dia tak tahu pengaruh politis apa yang bisa menimpa orang itu,
dan dia merasa lebih yakin kalau disimpannya sendiri. Di samping itu, ingat
bahwa dia telah memutuskan untuk memanfaatkan foto itu dalam beberapa hari ini.
Pasti ada di rumahnya sendiri.”
“Tapi
rumahnya sudah pernah digeledah dua kali.”
“Puh!
Mereka tak becus menggeledahnya.”
“Lalu
bagaimana caramu menggeledah?”
“Aku
tak akan menggeledah.”
“Lalu,
apa?”
“Akan
kuatur supaya dia sendiri yang menunjukkan tempatnya padaku.”
“Pasti
dia akan menolak permintaanmu.”
“Dia
tak akan bisa menolak. Nah, sudah kudengar suara roda keretanya. Lakukan
perintahku sedetil-detilnya.”
Ketika
dia berbicara, muncul cahaya kereta di ujung jalan. Kereta mungil yang indah
itu bergemericing menuju pintu Briony Lodge. Begitu berhenti, salah satu pria
berpakaian kumal itu berlari ke depan untuk membukakan pintu kereta agar
memperoleh persen, tapi disikut oleh temannya yang juga bermaksud begitu.
Mereka lalu ribut bertengkar, diramaikan pula dengan nimbrungnya dua penjaga
dan tukang asah gunting. Mereka mulai saling memukul, dan wanita penumpang
kereta itu terjepit di antara orang-orang yang saling meninju dan memukulkan
tongkat itu. Holmes lalu menyerbu di tengah-tengah kerumunan itu untuk
melindungi wanita itu, tapi ketika dia baru saja sampai di dekatnya, dia
berteriak dan jatuh ke tanah, dengan muka berlumuran darah. Gerombolan yang
sedang berkelahi itu segera bubar lalu kabur, sementara beberapa orang berpakaian
bagus yang tadi hanya menonton saja, segera maju untuk menolong wanita itu dan
Holmes. Irene Adler, aku akan tetap memanggilnya begitu, telah berlari menuju
tangga, lalu sambil berdiri di atas sana, dengan figurnya yang elok bermandi
cahaya ruang depan, dia menengok kembali ke jalan.
“Apakah
lukanya parah?” tanyanya.
“Dia
mati,” teriak beberapa orang.
“Tidak,
tidak, dia masih hidup,” teriak suara lain. “Tapi dia akan mati sebelum sempat
dibawa ke rumah sakit.”
“Dia
amat pemberani,” kata seorang wanita. “Mereka pasti akan merampas dompet dan
arloji wanita itu kalau tak ada orang ini. Mereka itu tadi komplotan, ganas
lagi. Ah, lihat, dia masih bernafas.”
“Sebaiknya
dia tak dibiarkan terbaring di jalanan. Boleh dibawa masuk, Nyonya?”
“Tentu
saja. Bawalah masuk ke ruang duduk. Ada sofa di sana. Silakan lewat sini!”
Dengan
hati-hati, dia di bawa masuk ke Briony Lodge, dan dibaringkan di ruang duduk.
Sementara itu, aku mengawasi semua dari pos jagaku di dekat jendela. Lampu
ruangan itu menyala, dan kerai jendelanya terbuka, sehingga aku bisa melihat
Holmes yang sedang terbaring di sofa. Aku tak tahu apakah dia menyesali peran
yang dilakoninya saat itu, tapi melihat wanita yang sedang kami buru itu dan
juga kebaikan hatinya dalam menghadapi orang yang terluka itu, aku jadi merasa
malu dan bersalah. Tapi akan merupakan pengkhianatan terhadap Holmes bila aku
membatalkan peran yang telah dipercayakannya kepadaku. Kukeraskan hatiku dan
kukeluarkan roket uap itu dari balik jasku. Toh, pikirku, kami tak bermaksud
melukainya. Kami hanya ingin mencegahnya agar tidak melukai orang lain.
Holmes
kini telah duduk, dan kulihat dia bergerak seolah-olah kehabisan udara segar.
Seorang pembantu segera berlari membuka jendela. Pada saat itu jugalah kulihat
Holmes mengangkat tangannya, lalu setelah memahami kodenya, kulemparkan roket
uap itu ke dalam ruangan sambil berteriak “Kebakaran.” Begitu teriakan itu
terlontar dari mulutku, semua orang di sekitar situ—baik yang berpakaian bagus
maupun yang kumal, kusir-kusir kereta, pelayan-pelayan wanita—ikut-ikutan pula
meneriakkan “Kebakaran.” Asap tebal bergulung memasuki ruangan itu, dan keluar
lagi dari jendela. Sekilas kulihat orang-orang berlarian ke ruangan itu, dan
kemudian kudengar suara Holmes dari dalam yang meyakinkan mereka bahwa tidak
ada kebakaran. Aku menyelinap di antara kerumunan yang masih ramai berteriak
untuk menuju ujung jalan, dan sepuluh menit kemudian legalah hatiku karena temanku
telah menggamit lenganku dan meninggalkan tempat yang gaduh itu. Dia berjalan
dengan cepat tanpa berkata apa-apa selama beberapa menit, sampai kami membelok
ke sebuah jalan sepi yang menuju Edgware Road.
“Kau
telah melaksanakan tugasmu dengan baik, Dokter,” komentarnya. “Baik sekali.”
“Jadi
kau sudah mendapatkan foto itu!”
“Aku
tahu tempatnya.”
“Bagaimana
kau bisa tahu?”
“Dia
yang menunjukkannya, seperti pernah kubilang padamu dulu.”
“Aku
masih tak mengerti.”
“Aku
tak bermaksud menjadikannya misteri,” katanya sambil tertawa. “Sederhana
sekali, kok. Kau tentunya tahu bahwa semua orang yang di jalanan tadi telah
berkomplot denganku khusus untuk adegan malam ini.”
“Sudah
kuduga.”
“Lalu,
ketika perkelahian dimulai, kusiapkan sedikit cat basah warna merah di telapak
tanganku. Lalu aku lari ke depan, terjatuh, mengoleskan tanganku ke wajah, dan
jadilah aku tontonan yang menimbulkan kasihan orang banyak. Itu tipuan kuno.”
“Aku
tahu.”
“Lalu
mereka membawaku masuk. Dia mau tak mau harus menerima kehadiranku. Bagaimana
mungkin dia menolak? Dan aku pun dibawa ke ruang duduknya, ruangan yang sudah
kuincar. Foto itu mestinya disimpan di dalam ruangan itu atau di kamar
tidurnya, dan aku harus memastikan mana yang benar. Mereka membaringkanku di
sofa, lalu aku butuh udara segar sehingga mereka mau tak mau membuka jendela,
dan kau lalu berperan.”
“Apakah
itu menolongmu?”
“Itulah
yang menentukan. Kalau seorang wanita menduga ada kebakaran di rumahnya, dia
akan secara langsung berlari menuju barang-barang yang amat berharga baginya.
Dorongan semacam itu kuat sekali, dan hal ini sudah berkali-kali kumanfaatkan.
Pada kasus Skandal Substitusi Darlington, hal itu juga telah menolongku, lalu
juga pada kasus Castle Arnsworth. Seorang ibu akan langsung memeluk anaknya—wanita
yang belum menikah akan langsung menyelamatkan kotak perhiasannya. Jelas bagiku
bahwa bagi wanita yang kita incar ini, foto yang sedang kita kejar itulah yang
merupakan barangnya yang paling berharga. Dia pasti akan segera lari ke arah
tempat penyimpanannya. Teriakan kebakaran telah kaulakukan dengan sangat baik.
Asap dan teriakan-teriakan yang menyusul kemudian cukup membuat orang panik.
Dia pun bereaksi dengan baik. Foto itu terletak di ceruk di belakang pintu
sorong, tepat di atas tarikan bel sebelah kanan. Dia segera lari ke sana, dan
sekilas aku melihat foto itu ketika dia hendak mengeluarkannya. Ketika aku
berteriak bahwa sebenarnya tak ada kebakaran, dia mengembalikan foto itu,
menoleh ke arah roket uap itu, lalu lari meninggalkan ruangan dan menghilang.
Aku bangun dan berpamitan untuk pergi. Waktu itu aku sudah bermaksud untuk
langsung mengambil foto itu, tapi kusir keretanya keburu masuk dan memandangku
dengan tajam. Jadi, lebih baik menunggu. Terlalu terburu-buru bisa merusak
semuanya.”
“Lalu?”
tanyaku.
“Tugas
kita praktis sudah selesai. Besok kita akan kembali ke sana bersama Sang Raja,
kalau kau berminat ikut serta. Kita akan diantar masuk ke ruang duduk untuk menunggunya.
Tapi mungkin ketika dia muncul, kita akan sudah kabur bersama foto itu. Yang
Mulia akan puas sekali karena dia sendirilah yang akan mengambil foto itu.”
“Kapan
kau mau ke sana?”
“Besok
jam delapan pagi. Dia pasti belum bangun, sehingga kita bisa leluasa
beroperasi. Di samping itu, kita harus cepat karena pernikahannya bisa membawa
perubahan dalam hidup dan kebiasaannya. Aku harus menelepon sang Raja sekarang
juga.”
Kami
tiba di Baker Street, dan berhenti di pintu. Dia sedang mencari-cari kunci di
sakunya ketika seseorang yang lewat menegur, “Selamat malam, Mister Sherlock
Holmes.”
Waktu
itu ada beberapa orang di jalanan, tapi rasanya salam itu berasal dari seorang
pemuda ramping berjas panjang yang langsung bergegas menghilang.
“Rasanya
aku mengenal suaranya,” kata Holmes sambil menatap ke jalanan yang
remang-remang. “Kini, aku penasaran. Siapa gerangan dia?”
***
Malam
itu aku menginap di Baker Street, dan kami sedang asyik makan roti panggang dan
minum kopi ketika Sang Raja Bohemia berlari masuk ke dalam ruangan.
“Anda
telah mendapatkan foto itu?” teriaknya sambil memegang kedua pundak Sherlock
Holmes, dengan pandangan penuh harap.
“Belum.”
“Tapi
ada harapan, bukan?”
“Ya,
ada harapan.”
“Kalau
begitu, mari. Saya tak sabar untuk segera berangkat.”
“Kita
perlu kendaraan.”
“Baik,
kereta saya sudah menunggu.”
“Kalau
begitu, mari berangkat.”
Kami
turun dan segera menuju ke Briony Lodge.
“Irene
Adler telah menikah,” komentar Holmes.
“Menikah!
Kapan?”
“Kemarin.”
“Tapi,
dengan siapa?”
“Dengan
seorang pengacara Inggris bernama Norton.”
“Tapi,
Miss Adler tak mencintainya, kan?”
“Saya
harap dia mencintainya.”
“Kenapa?”
“Karena
dengan demikian Yang Mulia tak akan diganggunya lagi. Kalau dia mencintai
suaminya, berarti dia tak mencintai Yang Mulia. Kalau dia tak mencintai Yang
Mulia, dia tak punya alasan untuk merusak rencana Yang Mulia.”
“Benar.
Tapi… Yah! Kalau saja dia sederajat dengan saya! Betapa hebatnya dia kalau
menjadi seorang ratu!” Dia tiba-tiba terdiam sampai kami tiba di daerah
Serpentine Avenue.
Pintu
Briony Lodge terbuka, dan seorang wanita setengah baya berdiri di tangga. Dia
memandang kami dengan tajam begitu kami turun dari kereta.
“Mr.
Sherlock Holmes, bukan?” katanya.
“Sayalah
Mr. Holmes,” jawab temanku sambil memandang wanita itu dengan heran.
“Majikan
saya mengatakan Anda mungkin akan datang kemari. Dia sudah berangkat ke Eropa
bersama suaminya naik kereta api dari Stasiun Charing Cross jam 5.15 pagi
tadi.”
“Apa!”
Sherlock Holmes berteriak, mukanya memucat karena terkejut dan kecewa.
“Maksudmu dia telah meninggalkan Inggris?”
“Dia
takkan kembali lagi.”
“Dan
bagaimana dengan surat-surat itu?” tanya Sang Raja dengan parau. “Tamatlah
semuanya.”
“Kita
lihat dulu.” Dia melangkah masuk melewati pelayan wanita itu, dan berlari
menuju ruang duduk, diikuti oleh Sang Raja dan diriku sendiri. Perabot di situ
berserakan, rak-raknya berantakan semua, laci-lacinya terbuka, seolah-olah
penghuninya telah mengobrak-abrik semuanya dengan tergesa-gesa sebelum dia
meninggalkan ruangan. Holmes berlari ke penarik bel, membuka sebuah pintu
sorong kecil, dan terjatuhlah ke hadapannya sebuah foto dan sepucuk surat. Foto
itu adalah foto Irene Adler dalam gaun malam, dan suratnya ditujukan kepada
“Yth. Mr. Sherlock Holmes. Harap diserahkan kalau yang bersangkutan datang.”
Temanku membuka surat itu, dan kami bertiga serentak membacanya bersama.
Tertanggal tadi malam, dan berbunyi demikian:
Mr. Sherlock Holmes yang terhormat,
Anda hebat sekali. Anda telah berhasil
mengelabuhi saya. Sampai teriakan kebakaran waktu itu, saya tak curiga apa-apa.
Tapi kemudian, ketika saya sadari bahwa saya telah membuka rahasia, saya mulai
berpikir. Saya telah diperingatkan beberapa bulan yang lalu, bahwa kalau Raja
sampai menugaskan seorang agen, pasti Andalah pilihannya. Dan saya telah
mengetahui alamat Anda. Tapi, saya toh masih tertipu. Anda berhasil mengetahui
tempat rahasia saya. Sesudah saya mulai curiga pun, rasanya saya tetap tak
percaya bahwa sang pendeta tua yang baik hati itu ternyata berniat jahat. Tapi
Anda tahu, saya sendiri pun seorang aktris yang terlatih. Menyamar sebagai pria
telah sering saya lakukan. Saya menyukainya karena saya bisa lebih bebas
bergerak. Saya minta John, kusir saya, untuk mengawasi Anda, sementara saya
segera lari ke atas, ganti mengenakan pakaian jalan-jalan—begitulah saya
menyebutnya—dan bergegas turun kembali tepat pada saat Anda meninggalkan tempat
tinggal saya.
Kemudian,
saya mengikuti Anda sampai ke rumah Anda dan dari situlah saya yakin bahwa
memang saya telah menjadi incaran Mr. Sherlock Holmes yang termasyuhur itu.
Yah, secara agak sembrono, saya mengucapkan selamat malam, lalu saya segera
menuju tempat suami saya. Kami berdua sepakat untuk segera melarikan diri
karena dikejar oleh lawan yang begitu hebat. Jadi Anda akan menemukan tempat
rahasia itu telah kosong saat Anda datang keesokan harinya. Mengenai foto itu,
klien Anda boleh berhenti risau. Saya kini mencintai dan dicintai seorang pria
yang lebih baik dibanding dia. Silakan sang Raja melakukan apa saja tanpa
halangan sedikitpun dari seseorang yang pernah dikhianatinya. Foto itu tetap
akan saya simpan untuk menenangkan diri saya sendiri, dan menjadikannya senjata
untuk melindungi diri saya dari tindakan-tindakan yang mungkin dilakukannya
untuk merugikan diri saya di masa yang akan datang. Saya tinggalkan sebuah foto
untuknya kalau dia berkenan memilikinya, dan sekian saja, Mr. Holmes.
Hormat
saya
Irene
Norton, d/h Adler
“Wanita
yang hebat sekali!” teriak Sang Raja Bohemia, ketika kami bertiga selesai
membaca surat itu. “Betul kan kata saya, betapa cekatan dan tegasnya dia itu?
Bukankah dia bisa menjadi ratu yang mengagumkan? Sayang, dia tak sederajat
dengan saya.”
“Dari
apa yang saya amati tentang wanita ini, Yang Mulia nampaknya memang tak sama
derajatnya dengan dia,” kata Holmes dengan nada dingin. “Maaf, karena hanya
beginilah yang bisa saya perbuat untuk Yang Mulia.”
“Sebaliknya,
sir,” teriak Sang Raja. “Anda telah sangat berhasil. Saya tahu kata-katanya
bisa dipercaya. Foto itu kini tak jadi masalah lagi, anggap saja telah hangus
terbakar.”
“Syukurlah
kalau begitu.”
“Saya
sangat berhutang budi pada Anda. Silakan katakan apa yang Anda inginkan dari
saya sebagai tanda terima kasih. Cincin ini….” Dia mencopot cincin bermotif
ular dan berbatu jamrud dari salah satu jarinya dan menaruhnya di telapak
tangannya.
“Yang
Mulia, saya menginginkan sesuatu yang lain bagi saya, yang nilainya lebih dari
itu.”
“Katakan
saja.”
“Foto
ini!”
Sang
Raja menatapnya dengan penuh keheranan.
“Foto
Irene!” teriaknya. “Silahkan, kalau memang itu yang Anda minta.”
“Terima
kasih, Yang Mulia. Dengan demikian selesailah kasus ini. Dengan penuh rasa
hormat, saya mohon diri.”
Holmes
membungkuk, dan berbalik tanpa menyambut uluran tangan Sang Raja yang ingin
menyalaminya. Kami lalu meninggalkan kamar itu.
Demikianlah
kisah skandal yang pernah mengancam Kerajaan Bohemia, dan bagaimana rencana Mr.
Sherlock Holmes yang saksama telah digagalkan oleh kecerdikan seorang wanita.
Dia dulu suka meremehkan otak wanita, tapi kini tidak lagi. Dan kalau dia
berbicara tentang Irene Adler, atau kalau dia menatap fotonya, dia selalu menyebutnya
sebagai wanita istimewa.
[Selesai]
ceritanya yang menarik tetapi ada sdikit masalah tanda baca yang dibubuhi penerjemah.
ReplyDelete