The Cricket War
(Perang Jangkrik)
Pengarang: Bob Thurber
Penerjemah: Harum Wibowo
Musim
panas itu sekumpulan tentara jangkrik
memulai perang dengan ayahku. Mereka
memilih untuk
bertarung segera
setelah mereka menyerbu gudang kami. Ayah
tidak terlalu perduli terhadap serangga dibandingkan dengan mama, tapi
ia bisa mentolerir beberapa laba-laba
dan berbagai macam seranggga
merayap mengerikan yang tinggal di ruang bawah tanah. Setiap
rumah di daerah pertanian punya itu. Sebuah
bagian dari kehidupan pedesaan, dan sesuatu yang harus kalian tahan jika
kalian menginginkan hidup sederhana.
Dia berkata kepada mama: Sekarang kita tinggal di sini, kau tidak bisa bertingkah dan meributkan sesuatu yang jelas-jelas alami, Ellen. Tapi dia adalah
seorang gadis kota tulen dan tidak ingin mendengarkan apapun tentang pembelaan terhadap
hama. Dia bilang jangkrik hanyalah kecoa
berisik dan serangga bodoh
bertanduk yang tidak bisa
diam. Katanya di kota ada banyak bangunan yang dibanjiri oleh kecoa sehingga tidak ada cara bagi orang-orang untuk menyingkirkan mereka. Tidak, Pak, tidak mungkin dia bisa tidur dengan semua suara decitan
serangga itu, kemudian untuk
membuktikan perkataannya, dia tidak akan tidur. Dia minum kopi dan mengisap rokok ayahku dan dia mondar-mandir di antara sofa dan TV. Keesokan paginya ia mengancam untuk berkemas
dan pergi, jadi Ayah pergi ke toko perangkat keras1 dan bergegas kembali. Dia menyemprotkan racun dari wadah dengan alat
penyemprot. Dia menyemprot ruang bawah tanah dan di sekitar fondasi rumah. Ketika
ia selesai, ia mengatakan kepada kami bahwa itu semua sudah berakhir.
Tapi apa
yang seharusnya ayahku katakan adalah: ini adalah
awal, awal dari perang kita, awal
kehancuran kita. Aku sering berpikir kembali
tentang
musim panas itu dan mencoba untuk membayangkan dia
menyampaikan pidato dengan
kata-kata seperti itu, karena
selama empat belas hari ke depan Mama terus menemukan jangkrik mati di cucian yang telah dicuci bersih. Dia akan mengibaskan handuk atau selimut dan seekor
jangkrik hitam mati akan menggelinding di lantai.
Kadang-kadang kucing kami akan mengejar satu
ekor, dan memukul-mukuli jangkrik itu seolah-olah dia sedang
bermain hoki, kemudian
membawanya dalam mulutnya. Ayah
bilang menelan beberapa jangkrik mati
tidak ada salahnya asalkan kucing itu tidak
memakannya terlalu banyak. Setiap kali
Mama mengeluh ia bilang
itu wajar saja kalau kita akan menemukan
beberapa yang telah mati
untuk sementara waktu ini.
Segera setelah kejadian-kejadian itu, jangkrik hidup
mulai muncul di dapur dan kamar mandi. Mama panik
karena dia pikir mereka
adalah jangkrik mati yang hidup kembali untuk menghantui, tapi
Ayah bilang ini pasti gelombang serangan
baru, mungkin datang dari pipa. Ia ambil wadah racunnya dan menyemprotkannya
di bawah wastafel
dan di belakang toilet dan di sepanjang alas
tiang sampai seluruh rumah
berbau racun, dan
kemudian dia menyemprot gudangnya
lagi, kemudian ia pergi ke luar dan menyemprotkan racunnya
di seluruh pondasi rumah sehingga meninggalkan bekas seperti parit
racun selebar kaki. Hentikan mereka, sialan! Tepat
di jejak mereka! Katanya kepada kami.
Selama beberapa minggu kami kembali mencari jangkrik mati
di tempat
cuci. Ayah menyuruh kami untuk tetap bertindak siaga penuh. Dia menyarankan agar kami lebih baik menyembunyikan sebanyak-banyaknya
dari Mama. Aku memberi makan kucing yang tidak aku suka dengan puluhan jangkrik mati, karena dia menggaruk dan menggigit tanpa alasan. Kuharap racunnya bisa membunuhnya sehingga kami bisa mendapatkan
anak anjing. Sesekali kami menemukan jangkrik mati di kamar mandi atau di bawah wastafel dapur. Kami tidak tahu apakah ini bangkai
yang baru atau telah
lama mati yang telah dimainkan oleh kucing dan kemudian ditinggalkannya. Ayah memecahkan setengah dari bangkai-bangkai itu untuk menunjukkan kepada kami bahwa mereka baru
mati. Lalu ia menggunakan sisa racunnya untuk disemprotkan
lagi ke rumah. Beberapa
minggu kemudian, ketika baik jangkrik hidup maupun mati terus bermunculan, ia mengosongkan gudang sampah. Dia meminjam mobil
pikap Paman Burt dan mengangkut sampah-sampah
itu ke tempat pembuangan. Kemudian ia membakar berikat-ikat koran dan majalah yang katanya telah
berubah menjadi sarang jangkrik.
Dia berdiri di sebelah api dengan penggaruk di satu tangan dan selang taman di tangan
yang lain. Dia tidak akan meninggalkan
tempat
itu bahkan ketika Mama menyuruhku
memanggilnya untuk makan malam. Dia tidak akan meninggalkannya, dan Mama tidak akan menempatkan makan malam di atas meja.
Kedua adikku menangis. Akhirnya Mama sendiri yang keluar dan menyuruh
ayah untuk makan malam. Dan selagi kami makan, angin mengangkat
beberapa bara api ke tumpukan kayu. Satu-satunya
bensin terdapat di dalam tangki bahan bakar mesin pemotong rumput tapi
itu cukup untuk membuat ledakan
yang cukup besar sampai mencapai rumah. Saat atapnya terbakar, tidak banyak yang
bisa dilakukan.
Setelah mobil pemadam kebakaran pergi, aku membuat kesalahan karena meminta
untuk tetap
tinggal sementara Mama mengantar
adik-adikku ke
rumah Bibi Gail. Aku membantu Ayah dan Paman
Burt dan dua pria yang belum pernah kulihat sebelumnya membawa
barang-barang ke luar dari rumah dan menumpuknya di pinggir jalan. Di pagi hari kami kembali dengan truk Paman Burt dan mengangkut semuanya. Kami bekerja sampai
larut malam dan kami tidak banyak
bicara, tidak sepatah katapun mengenai hal-hal yang penting, dan Ayah tidak menawarkan rencana yang ia
miliki untuk kami sekarang. Paman Burt memberikan
sebotol minuman,
tapi aku menggeleng
ketika itu ditawarkan kepadaku. Aku menendang dan
mengorek semua
sisa kebakaran, berdiri
terpaku dengan bodohnya menyadari betapa sedikitnya yang bisa diselamatkan, sementara dari
seluruh penjuru, gemuruh suara jangkrik menambah keheningan kami.
~The End~
keywords: Bob Thurber, cerpen terjemahan, kumpulan cerita pendek, cerpen bahasa Inggris.
No comments:
Post a Comment