PENGUMUMAN

Diberitahukan untuk seluruh pembaca Kumpulan Cerpen Terjemahan,


Kini blog KCT akan pindah ke alamat berikut>> https://cerpenterjemahan.wordpress.com/


Untuk selanjutnya, kami akan memposting cerpen baru di sana. Segera setelah kami selesai mengedit cerpen yang lama, dan merepost ke halaman yang baru, blog ini akan kami hapus.


Terima Kasih dan sampai jumpa di halaman yang baru. ^^

Morg


Pengarang: Clare Reddaway 
Penerjemah: Ropen Apriono


Morg kesal. Lebih dari kesal, ia teramat sangat marah. Lagi-lagi ia harus memilih untuk mengkhawatirkan adik kecilnya itu. Biasanya ia selalu riang, seperti saat ia melihat adiknya itu tersandung karena kakinya yang masih pendek, atau saat adiknya itu mengoceh tidak jelas dengan gayanya yang mengundang tawa itu, tetapi hari ini ada sesuatu yang jauh lebih menarik terjadi. Para kaum pria sudah bersiap-siap untuk pergi berburu. Sudah berbulan-bulan lamanya tidak ada perburuan. Pertama karena akhir-akhir ini terlalu sering turun hujan dan kemudian terlalu banyak yang harus dikerjakan saat panen. Tapi sekarang semua gandum sudah dikemas dan biji-bijian itu semua disimpan dalam lubang. Sang tabib sudah hadir di sini, ia membawa berkah dari para Dewa dan juga obat-obatan bagi penduduk desa. Kepala suku telah memutuskan bahwa sudah waktunya untuk pergi berburu. Di luar orang-orang berkumpul dan sang tabib sedang menjelaskan beberapa hal pada mereka. Morg ingin sekali berada di sana, bersama mereka.

Tapi Morg tidak diizinkan untuk pergi. Ia bahkan tidak diizinkan untuk sekedar melihat-lihat. Adiknya sedang sakit. Ia kerasukan semacam roh jahat di dadanya yang membuatnya batuk terus menerus. Ia harus selalu tetap hangat, dan untuk itu ia harus tetap berada di pondok. Oleh karena itu, sementara saat ibunya mengambil air, Morg harus tinggal di gubuk juga, menjaga adiknya.


Saat itu di pondok gelap. Gelap gulita dan hangat, hanya diterangi cahaya dari api yang dibakar di tengah ruangan. Kemudian, biasanya api akan dibangun sedemikian rupa sehingga akan menjilati kuali hitam bulat dan panas untuk merebus makan malam. Tapi untuk malam itu sayur mayur telah diletakkan pada balok-balok. Api biasanya akan tetap panas dan hidup, tidak perlu diberi kayu lagi. Morg tahu, api itu sama rakusnya dengan serigala lapar di tengah hutan sana yang sering ia dengar lolongannya saat malam hari.

Morg bisa mencium bau api itu, begitu akrab baginya, seakrab ia dengan bau ibunya. Ia bisa mencium dan langsung tahu apakah mereka sedang membakar ranting-ranting kecil atau kayu hazel (sejenis kacang-kacangan), kayu dari semak-semak atau kayu-kayu yang lainnya. Bagi Morg, begitulah bau rumah.

Pancaran cahaya dari api itu menerangi wajah anak kecil yang terbaring di sebelahnya, yang tertidur pulas di atas selimut. Morg menyapu lantai di sekelilingnya, masih dengan perasaan kesal. Setiap remah-remah atau daging sisa menjadi makanan bagi tikus-tikus, dan ibu Morg benci tikus. Morg benci sekali ibunya hari ini. Ia tahu ibunya begitu mengkhawatirkan adiknya yang demam itu, karena adiknya yang perempuan dulu juga sakit seperti itu sebelum akhirnya meninggal. Hal itu tidak menahan Morg untuk meracau, mengomeli kekejaman yang membuat ia ditahan di dalam pondok itu. Kadang, saat ia sudah terlanjur berkata-kata seperti itu, ia berharap bisa menarik kata-katanya kembali, tapi sudah terlambat. Ia lalu melihat-lihat ke sekelilingnya dengan cemas. Jangan-jangan ada yang mendengar. Ia berceloteh lagi, tapi dengan kata-kata yang baik sambil berharap-harap cemas kalau tidak ada yang mendengar perkataanya itu tadi.

Di luar, ia mendengar suara terompet tanda berburu. Bunyinya kencang dan tajam, memenuhi seluruh desa. Morg beringsut menuju pintu. Ia bisa melihat dengan cahaya yang lewat melalui celah di papan, tapi itu tidak cukup. Ia membuka pintu sedikit. Mungkinkah ia bisa menyaksikan mereka dari sini? Ia mungkin hanya bisa menangkap sekilas apa yang sedang terjadi di sana. Tapi ia tidak bisa melihat apa-apa. Pagar tempat mengurung babi menghalangi pandangannya. Ia membuka pintu lebih lebar lagi, dan terjangan badai es pun menerpa tangannya. Angin menghantam, menggegerkan seisi pondok. Di belakangnya, bara berderik lalu api menyala dan bayi itu terbangun. Morg tidak memperhatikannya. Ia berusaha mengontrol pintu itu. Dijepitnya dengan batu, sehingga sekilas terlihat masih tertutup. Ia berlari keluar dan menyeberang ke sudut pagar babi.

Morg meloncat ke rerumputan yang berjajar di depan pagar. Rerumputan itu berserakan oleh angin es pertama musim itu dan Morg menggigil. Di sini selalu dingin dan berangin. Desa ini dibangun di atas sebuah dataran bukit, sebuah bukit yang tampak seolah-olah seperti tegaknya tubuh seseorang yang baru saja dipancung dengan pedang. Morg tahu bahwa wajar saja jika tempat mereka jadi seperti itu. Salah satu cerita dari ayahnya yang mengisahkan tentang buyutnya, yang datang ke bukit ini ketika masih kecil. Beliau sudah di sini sejak saat mereka menggali tempat ini dan membuat gundukan di atasnya, batu demi batu, sampai tempat itu menjadi datar dan halus sehingga siap untuk mereka diami. Bukit ini dipilih karena tinggi dan dari atasnya kita bisa memandang hutan dan lembah-lembah sungai hingga bermil-mil jauhnya. Orang tidak bisa merayap naik ke bukit ini tanpa terlihat. Bukit yang bagus.

Dari tempat di mana ia mengintai, Morg bisa melihat sepuluh atau dua belas pondok bulat dengan atap jerami runcing yang di sekitarnya dilingkari rerumputan. Kambing-kambing coklat kumal yang ditambatkan ke tiang-tiang, sedang merumput. Ada beberapa unggas di samping gubuk temannya, Olwig. Ia bisa melihat benteng-benteng tinggi yang terbuat dari tanah di sekitar tepi desa yang membuat mereka semua aman. Di dekat gerbang benteng, berdiri sekumpulan pria. Mereka diam dan mendengarkan. Rambut pirang panjang mereka tertiup angin. Morg bisa melihat wajah mereka dengan jelas. Lalu hembusan angin menyingkapkan wajah ayahnya, yang berada di tempat yang agak jauh dari mereka, berdiri di antara kuda dan Arlen anjingnya, yang diberi pengikat di lehernya. Arlen telah memamerkan giginya dan itu menandakan Arlen sudak tak sabar mengejar buruan ayah Morg. Arlen suka berburu, tapi dia tidak suka menunggu. Di sana, di samping ayahnya, ada Col, adik Morg. Morg geram. Ini adalah kali kedua adiknya itu ikut pergi berburu, sedangkan ia baru berumur tujuh tahun, satu musim dingin lebih muda daripada Morg. Col menyeret-nyeret kakinya, bosan dengan ceramah sang tabib, tak lagi sabar untuk pergi berburu. Morg tidak pernah bertingkah begitu kurang ajar.

Tiba-tiba terdengar jeritan dari belakangnya, teriakan menjerit yang meraung-raung. Sekejap Morg melompat berdiri dan sudah berada di pondok, di samping adik kecilnya itu. Wajah adiknya tegang dan air mata mengalir deras di pipinya. Anak itu melambai-lambaikan tangannya dan melengkungkan punggungnya, ingin bangun. Dia memukul-mukuli wajah Morg, tapi Morg berusaha mengangkatnya. Morg mencoba menenangkannya, tapi tak juga diam. Kemudian Morg mencium bau seperti ada sesuatu yang terbakar. Sebuah balok terlihat tergeletak membara di atas selimut. Segera dimasukkan oleh Morg kembali ke dalam tungku api, dikibas-kibaskannya bara itu dan menduga-duga apa yang telah terjadi. Rupanya tadi api telah berkobar. Anak itu tadi melihat api membesar dan merayap ke arahnya. Dipegangnya balok yang terbakar itu. Tampak oleh Morg - salah satu tangannya yang mengepal. Buru-buru ia meraih botol air yang terbuat dari kulit dan dituangkannya air ke dalam mangkuk. Dimasukkannya tangan adiknya ke dalamnya. Telapak tangannya merah dan melepuh. Ia yang menyebabkan semua ini, Morg sadar, teringat dengan sumpahnya untuk menjaga adiknya itu. Perlahan-lahan jerit tangisnya reda. Morg melembutkan wajahnya dan bersenandung lembut kepadanya, ditimangnya adiknya itu di pangkuannya.

Morg mendengar derit pintu terbuka. Itu ibunya. Ia membawa kendi air dari tanah liat yang terlihat begitu berat di atas kepalanya. Adik Morg yang paling kecil diikat di punggungnya - Dewa kesuburan tampaknya ramah pada keluarga ini. Ibu Morg tampak kelelahan. Morg menatap lantai.

"Morg?"

"Kebakaran," gumam Morg, seraya jeritan tangis itu kembali meninggi. Ibunya berjalan menghampiri.

"Jelaskan," kata ibunya sambil mengangkat anak itu. Morg menjelaskan. Ibunya berniat mengelus kepalanya. Morg merunduk, menghindar, tapi ibunya terlalu lelah untuk marah, ditambah lagi harus menghibur anaknya itu.

"Oh, Morg yang tidak berguna," katanya. "Pergilah. Habiskan waktumu seharian ini dengan domba-domba di luar sana. Aku tidak ingin melihat wajahmu."

Morg berpaling lalu pergi. Itulah kebebasan yang selama ini selalu ia inginkan. Tapi entah kenapa dia tidak menginginkannya lagi.

***

Morg tertunduk lesu, keluar dari gubuk. Dia mendengar bunyi terompet itu lagi – pertanda orang-orang akan segera berangkat berburu. Dia melihat para pria melompat menunggangi kuda mereka, mengendalikan kuda mereka dengan tangan dikaitkan ke surai yang panjang. Semua sudah naik ke kuda, kecuali Col. Kudanya, Branrin, berputar-putar, menolak untuk dinaiki Col. Morg mengepalkan tinjunya. Harus tangkas kalau mau menunggangi Branrin, pikirnya. Col harus tahu itu. Akhirnya Col berhasil naik, wajahnya merah padam karena malu.

Kuda-kuda dipecut dan kepala mereka pun melambung, napas mereka seperti asap di udara yang dingin. Anjing-anjing menyalak tak sabar. Ayah Morg, sebagai pemimpin berburu, memimpin kerumunan melalui tebingan tinggi yang menghubungkan desa dengan pintu gerbang luar. Penjaga melambaikan tangan saat mereka lewat. Morg menatap lama barisan itu hingga menghilang dari pandangan. Ia merengut.

"Morg!" Ia mendengar teriakan. Itu temannya, Olwig. "Kami terlambat membawa domba ke dataran bawah sana. Mau ikut?"

Morg tidak bisa memutuskan. Menolak untuk menjaga domba akan membuat ibunya lebih marah lagi. Di sisi lain, ia ingin ikut berburu. Namun, rombongan berburu sudah pergi. Bahkan Tabib telah kembali ke gubuknya.

"Baiklah," katanya kesal. "Di mana domba-domba itu?" Olwig menunjuk dan Morg melihat adik Olwig, Pridoc yang sedang menghalau tiga domba dengan ranting hazel. Sebentar saja domba-domba itu mampu dikumpulkan oleh Pridoc, sampai akhirnya mereka berpencar lagi lari melompati kepalanya. Pridoc yang terkaget, tersungkur di tumpukan sampah. Morg tak tahan tertawa melihatnya.

"Ayo," katanya kepada Olwig. Mereka berdua mahir mengembala domba. Mereka pun berangkat untuk mengumpulkan kawanan domba itu.

Ini adalah pekerjaan musim dingin. Semua domba penduduk desa di musim panas dibiarkan berkeliaran di luar, tapi sekarang malam hari akan sangat gelap dan lebih lama daripada musin panas, dan domba-domba itu akan dengan mudah dimangsa. Jadi setiap sore anak-anak bergiliran untuk menghalau mereka semua untuk pulang, dan keluar lagi setiap pagi ke ladang untuk mencari makan. Hari ini, domba-domba itu melincah dan senewen, mungkin merasakan geliat kegembiraan para pemburu dan anjing-anjing itu. Ini menyita semua keterampilan Morg dan Olwig dalam menenangkan kawanan itu untuk melalui lorong sempit ke pintu gerbang. Saat biri-biri jantan yang terakhir lewat, Morg menepuk wol-nya yang tebal dan padat. Pada musim semi, saat domba akan berganti bulu, wol-nya mulai dipangkas, sehingga mereka akan terlihat kurus, dengan sisa bulunya yang hanya helai-helai coklat. Anak-anak itulah yang harus memanen wol untuk dibuat menjadi kain – jika mereka sudah bisa menangkap dombanya. Hanya anak dengan dengan kaki yang sangat tangkas bisa mengejar domba itu dan menangkapnya. Morg ingat ketika suatu saat dulu ia menangkap domba paling banyak, dan memanen bundel wol paling besar. Ibu dan ayahnya begitu bangga padanya saat itu.

Mereka akan bangga lagi, pikirnya, dan ia pun dengan giat menuntun ke domba jantan yang besar, yang melompat dengan gesit keluar dari jalan dengan hentakan tumitnya yang tangkas.

"Semoga Dewi Alos memberkati perburuan hari ini, huh?" teriak Olwig lagi kepada Morg.

Saat Olwig mengatakan hal itu, setahu Morg ia telah mengatakannya yang kesekian ratus kalinya. Sang Dewi mungkin memberkati para pemburu. Dia mungkin memberkati Morg juga. Dia mungkin mengangkat usaha keras Morg yang telah begitu bodoh membiarkan halauannya longgar. Morg menggiring domba melalui medan pintu gerbang yang berat melewati benteng. Sementara ia sendiri tenggelam dalam alam pikirannya.

Tanah miring dan curam yang dilalui menurun dari gerbang dan jalan itu berbahaya. Ia harus jeli di mana ia melangkah untuk menghindari kehilangan pijakan. Penduduk desa sengaja membuat jalan begitu kasar untuk mencegah datangnya pengunjung yang tak diinginkan. Domba meloncat ringan. Mereka sudah tahu jalan menuju tempat mereka untuk merumput. Sudah tersedia banyak makanan untuk mereka disana, dan mereka juga memupuk lahan itu dengan kotoran mereka untuk masa penanaman musim depan.

"Olwig?" bujuk Morg, saat domba-domba itu merumput dan diam. Olwig tahu nada suara yang membujuk ini dan dia tidak senang.

"Apa?"

"Aku temanmu, kan?"

Olwig waspada, tapi dia mengangguk.

"Maukah kau melakukan sesuatu untukku? Untukku, temanmu. Aku akan selamanya berhutang budi padamu." Morg membungkuk seolah begitu rendah hati padanya. Olwig mendesah panjang.

"Apa?"

"Aku harus pergi. Aku mau kau yang menjaga domba."

"Sendirian?" Olwig terkejut.

"Aku akan segera kembali."

"Kau mau kemana?"

"Aku akan pergi ke hutan." Mata Olwig terbelalak. Pergi ke hutan keramat itu sendirian kemungkinan akan menakutkan.

"Apa yang akan kamu tawarkan kepada Dewi?" tanyanya, akhirnya.

"Ini," kata Morg singkat seraya menunjukkan jarinya ke bros di lehernya yang menempel pada jubah tebal cokelat di lehernya. Itu adalah sebuah perunggu yang ditempa dan membentuk lingkaran, dengan pola melingkar-lingkar di atasnya. Ayahnya membeli itu untuknya saat pergi beberapa bulan yang lalu. Ia ingat betul saat ayahnya turun dari kuda, rambutnya menggelitik wajah Morg. "Dan ini untuk Morg kecilku, " kata ayahnya sambil tertawa dan menyematkan bros di tuniknya itu. Ia sangat menyayangi bros itu.

Olwig tersentak. Dia tahu Morg serius.

"Pergilah sekarang," katanya. "Para Dewa menyertaimu."

Morg pun pergi ke dalam hutan. Olwig menatap lama ke pepohonan sampai Morg pun tidak terlihat lagi.

***

Morg suka hutan, dan sekaligus juga takut. Rakyatnya memerlukan hutan untuk bertahan hidup, tapi kadang-kadang hutan juga menelan mereka. Morg tahu persis bahkan setiap inci tepian hutan itu. Dia sering dikirim keluar bersama Olwig untuk mencari dan mengumpulkan hazel atau beech nut (sejenis kacang-kacangan juga) di saat musim gugur. Hasilnya akan disimpan dalam lubang, seperti yang biasa dilakukan tupai, supaya awet berbulan-bulan di musim dingin. Morg suka memetik blackberry yang muncul di akhir musim panas. Di tuniknya masih ada bekas noda ungu getah buah-buahan itu. Ayahnya tertawa dan bertanya ada berapa banyak sebenarnya blackberry yang mereka petik dan bawa pulang hingga benar-benar mencapai desa. Morg tahu di mana tempat memetik daun melde hijau yang biasanya suka dimakan keluarganya dengan daging, yang paling menyenangkan, tanaman-tanaman yang mereka tumbuk hingga halus untuk membuat minyak.

Memang, Morg-lah yang pertama kali menemukannya, Mistletoe, tanaman suci yang menyembuhkan hampir semua penyakit. Ia telah menunjukkannya pada Tabib di mana tanaman itu tergantung dan Tabib pun senang padanya. Diletakkan tangannya yang pucat itu di atas kepala Morg dan menatap matanya dalam-dalam dan memberi tahu bahwa ia telah melakukan hal baik dan bahwa ia akan diberkati oleh para Dewa. Saking Morg merasa begitu bangga hingga dia pikir dia akan pingsan ketika itu. Semua tanaman obat telah dikumpulkan pada hari keenam pada bulan itu, dan Tabib telah mengorbankan tiga unggas untuk Ibunda Dewi agar membawa keberuntungan bagi mereka. Dia membawa tanaman obat tersebut ke gubuknya, dan Morg membayangkan bahwa di sana ia akan membuat ramuan penyembuhan untuk orang-orang di desanya.

Itu terjadi tiga musim yang lalu, di musim semi. Sekarang Morg tidak lagi merasa diberkati oleh para Dewa. Sejak lahirnnya bayi yang baru itu, di mata ibunya ia tak lagi bisa melakukan apa pun dengan benar. Ibunya selalu kelelahan dan marah-marah. Dia berjalan dengan langkah berat dan Morg sudah dua kali melihatnya meringkuk, mencengkeram perutnya, menangis kesakitan. Morg penasaran apakah tanaman itu bisa mengusir apapun yang sedang merasuki ibunya itu.

Morg memikirkan ibunya saat ia menjejakkan kaki ke dalam hutan. Jalan ke dalam sana jauh, dan ia harus pergi ke bagian yang ia belum tahu. Semakin jauh ke dalam, jalan menjadi semakin sempit, dan semakin kurang baik. Pohon-pohon yang lebih berdekatan satu sama lain, dan Morg hampir tidak bisa melihat langit yang kelabu di atas sana dengan mata telanjang, terhalang jalinan cabang-cabang pohon. Ia tahu, selama ia terus mengikuti jalan ini, ia pasti akan sampai ke tengah hutan, tapi ia gugup dan takut. Ia mengingatkan dirinya sendiri bahwa orang-orang pernah melihat serigala ketika domba yang baru tumbuh besar milik tetangganya Daroc hilang, dan itu terjadi genap tiga bulan lalu. Serigala tidak akan menyerang di siang hari, pikirnya. Sebuah dahan pohon patah dan jatuh di belakangnya. Hal itu membuatnya berlari ketakutan. Ia berlari dan berlari, sampai terengah-engah, napasnya tak karuan dan ia merasa seolah-olah ada belati yang ditekan ke dalam dirinya dan ia harus berhenti sekarang. Ia melihat dengan ketakutan ke arah belakangnya. Tidak ada apa-apa di sana. Tetap tenang, ia berkata pada dirinya sendiri, tetap tenang dan kamu akan selamat. Namun begitu, ia mencoba untuk berjalan tanpa suara dan terus berharap-harap cemas semoga ia tidak akan celaka.

Jalan mulai menanjak ke atas. Sangat curam. Bahkan pohon-pohon bersandar ke bukit agar tidak longsor ke bawah. Jalan itu berbahaya, tertutup bebatuan longgar. Morg harus bersusah payah untuk menjaga pijakan dan menggunakan tangannya untuk menjaga keseimbangan tubuhnya. Lalu ia mendengar suara air terjun dan ia tahu bahwa ia sudah hampir sampai. Beberapa menit kemudian ia naik ke atas pinggiran bebatuan yang terakhir dan keluar dari pepohonan. Ia telah sampai. Rumput di dataran itu segar dan hijau, lebih hijau dari yang dilihatnya selama berbulan-bulan sebelumnya. Di hadapannya ada dua batu besar, menghimpit satu sama lain. Dari celah antara keduanya mengalir air dingin dan jernih. Di aliran air itu, bebatuan mengkilat merah dan hitam. Menjorok di atas mata air itu ada pohon ek, pohon yang sangat besar, yang bahkan jika Olwig dan Morg berpegangan tangan dan membentang selebar yang mereka bisa, tangan mereka tidak akan mencapai penuh lingkar batangnya. Itulah pohon suci Alos, Dewi hutan.

Morg tertegun, ragu-ragu. Ia tiba-tiba takut. Bagaimana jika Dewi mengira ia telah berlaku kurang ajar? Ia sendirian dan masih kecil, berani mendekatinya tanpa ditemani seorang pendeta pun? Morg berlutut, dan kemudian menundukkan kepalanya ke tanah, mengarahkan lengannya ke mata air.

"Oh Dewi, lindungi dan berkatilah aku," gumamnya. "Aku minta maaf karena hanya aku sendirian di sini. Maksudku, aku tidak mengajak Tabib atau siapa pun. Seperti yang engkau lihat, aku tidak sempat mengajak mereka." Ia kemudian mendongak, berharap Alos akan mengerti.

"Aku membawakan ini," katanya dan ia copot brosnya. Jubahnya terlepas dari bahunya. Ia menggenggam bros itu erat-erat dalam kepalan tangannya.

"Ini adalah benda kesayanganku. Aku ingin memberikannya kepadamu." Ia masukkan genggamannya itu ke bawah air dan perlahan-lahan membukanya. Air mengalir melalui lingkaran yang terbuat dari perunggu itu. Tampak begitu indah, dan jari-jarinya mencengkeram di atasnya. Mungkin dia bisa menawarkan sesuatu yang lain. Angin yang begitu dingin berhembus melewati dedaunan pohon ek itu. Itulah jawabannya. Dewi menginginkan brosnya.

"Aku minta maaf atas kesalahanku. Tolong, buatlah ibuku jadi lebih baik lagi. Keluarkan roh-roh yang mendiami dirinya itu. Buatlah dia bangga padaku. Buatlah ia menyayangiku lagi."

Kemudian, ia tidak tahan lagi dengan genggamannya, bros itu pun terlepas, "Aku ingin ikut pergi berburu. Col boleh ikut, kenapa aku tidak boleh?"

Morg biarkan bros itu meluncur keluar dari tangannya dan masuk ke lubuk air terjun itu.

"Apakah terlalu banyak yang aku pinta itu? " katanya. Dia melangkah mundur. Saat ia mundur, awan yang kelabu tiba-tiba menjadi cerah, dan matahari pun muncul. Itu membuat brosnya berkelap kelip di bawah air dan kilauannya menari-nari di permukaan air. Sang Dewi telah menerima persembahannya.

Morg mengambil langkah berbalik dari sungai itu dan melihat ke sekelilingnya. Hutan itu senyap dan diam. Morg merasa kedinginan. Ia tidak tahu harus berbuat apa. Mungkin sebaiknya ia pulang saja sekarang.

Saat ia mencoba untuk memutuskan, ia mendengar suara derap kencang yang menakutkan. Seekor babi jantan besar keluar dari pepohonan dekat sungai itu. Babi itu melengking karena terkejut dan tiba-tiba berhenti. Berdiri menghadap ke arahnya, Dengan taringnya yang tajam babi itu bisa saja menanduk seorang pria hingga tewas. Sorot mata kecilnya itu menatap Morg.

Morg menatap balik.

***

Babi jantan itu setinggi dirinya, tetapi lebih lebar, lebih berat. Matanya datar namun moncongnya panjang dan ditutupi dengan bulu hitam pendek. Telinganya mengarah ke depan. Ia bisa melihat hidungnya yang basah, dan betapa ia memenuhi mulutnya dengan giginya yang tajam dan panjang itu. Dia bisa melihat gadingnya, menonjol keluar melewati rahang. Ia bisa mendengar babi itu mengambil napas pendek, terengah-engah dan dia bisa mencium bau busuk keringat dan bau ketakutannya.

Sang Dewi tidak melindunginya. Ia dalam bahaya.

Kulit kepala Morg meremang, rambut di kepalanya berdiri. Mulutnya kering. Dia bisa merasakan jantungnya berdebar-debar di dadanya. Ia ingin lari, tapi ia mendengar suara ayahnya di kepalanya, "Jangan lari. Jangan pernah tunjukkan ketakutanmu."

Babi itu menundukkan kepalanya. Mendengus. Morg tahu itu tandanya ia bersiap menyerangnya. Ia memikirkan kembali kata-kata ayahnya. "Berpura-puralah seolah kamu juga adalah babi hutan." Ia menjerit dengan nada tinggi, jeritan yang sangat kencang. Morg mengangkat lengan dan mengepakkannya untuk menakut-nakuti babi hutan itu. Ia menjerit lagi. Itu bukan teriakan ketakutan, melainkan ancaman. Babi itu terkejut. Tertegun, lalu berbalik dan masuk kembali ke dalam hutan.

Morg menarik napas dengan gemetar. Ia mulai gemetar dan menggenggam tangannya untuk menghentikan getarannya. Ia merasa kedinginan, dan berbalik untuk mengambil jubah yang jatuh ketika dia sedang berdoa kepada Dewi . Ketika dia berbalik, anjingnya, Arlen, muncul dari arah pepohonan, dengan hidungnya yang mengendus-ngendus ke tanah, mengikuti jejak babi hutan tadi. Dia menangkap aroma Morg dan menyalak dengan suka cita. Dia melompat ke arahnya dan menjilat seluruh wajahnya. Morg tertawa dan mendorongnya.

"Lepaskan, Arlen. Lepaskan aku," katanya.

Tadinya hanya ada Arlen, lalu hutan itu seketika penuh dengan anjing-anjing lainnya. Mereka mengendus tanah, menelusuri pergerakan babi hutan tadi. Kemudian salah satu anjing melolong. Dia telah menangkap aroma. Dia masuk kembali ke hutan dan mengikuti jejak babi hutan. Anjing lainnya pun mengikutinya. Arlen, yang berjalan sambil melihat ke belakang, melihat ke arah Morg, akhirnya pergi juga.

Hutan itu kemudian seolah kosong. Morg bisa mendengar suara terompet orang-orang berburu di kejauhan, dan yel-yel dari pemburu sebagai tanda anjing-anjing telah mencium bau. Tapi mereka tidak datang ke tempat dimana Morg berada. Tidak seorang pun melihat kemenangannya atas babi hutan itu tadi.

Morg duduk selonjoran. Ia berpikir sejenak untuk menemui para pemburu, ingin memberitahu ayahnya apa yang telah terjadi. Tapi mereka tidak juga kelihatan, lagi pula mereka tidak akan percaya padanya. Ketika babi itu berbalik dan kembali pergi ke hutan, ia berpikir bahwa Dewi telah menjawab doanya, bahwa babi itu tadi adalah sebuah ujian. Babi, di antara binatang lain, adalah hewan suci. Mungkin Dewi mengambil bentuknya sebagai pertanda. Ia berharap itu adalah tanda bahwa ia akan diizinkan untuk ikut pergi berburu. Tapi sekarang para pemburu itu sudah jauh dan ia tahu bahwa tidak ada seorang pun yang mendengarnya. Suaranya terlalu kecil, tidak penting. Atau mungkin Dewi marah padanya.

Morg lapar. Ia lupa untuk membawa makanan. Ia bahkan tidak memiliki sepotong roti pun yang biasanya diberi ibunya ketika ia akan pergi ke ladang. Ia menangkupkan kedua tangannya dan meminum air dari sungai milik Dewi. Mungkin itu akan memberinya keberuntungan. Ia membutuhkan keberuntungan, pikirnya.

Tiba-tiba ia menggigil. Semakin dingin. Kehangatan dari matahari itu tidak bertahan lama di langit. Malam hari lebih lama daripada siang hari tahun ini. Morg menyampir jubahnya ke bahu, dan mulai bergegas kembali ke ujung sungai.

***

Morg kelelahan. Kakinya terasa berat seperti batang pohon. Perutnya keroncongan. Ia menyeret langkahnya dengan gontai, mata ke tanah. Jalan ke hutan suci ini biasanya digunakan oleh penduduk untuk melakukan ritual, tetapi sudah lama tidak ada upacara di sana. Di tempat-tempat seperti itu jalan selalu tidak jelas. Jadi Morg tidak menyadari bahwa ia telah menyimpang dari jalan, sekarang dia sedang melalui jalan setapak yang baru.

Morg sedang memikirkan betapa dingin jari-jari kakinya, sesekali digoyang-goyangkannya kakinya itu. Saat berjalan, tiba-tiba ia menggeliat karena mendengar ada gemerisik dalam semak-semak di sebelah kirinya. Ia tertegun. Ia harus pergi dari sini. Ini sudah larut. Dia tidak ingin berada di hutan dalam gelap.

Morg mendengar gemerisik lagi. Keingintahuannya menguasai dirinya. Ia harus tahu apa yang ada di semak-semak itu. Suara itu datang dari sekumpulan semak berduri. Setelah diperiksanya, ia melihat ada sebuah lorong yang bisa ia lalui. Saat ia masuk ke dalamnya, ia mendengar lengkingan kecil. Mungkin makhluk itu mengetahui kedatangannya, pikir Morg.

Duri-duri itu disingkapnya dan ia melihat ada sebuah ruang terbuka di tengah semak-semak. Ada dataran tanah yang dikerok dan membentuk seperti mangkok, dilapisi dengan dedaunan di atasnya. Pada dedaunan itu ada empat bayi babi hutan. Mereka masing-masing seukuran tiga kali besar lengan Morg, dan mereka memekik dan berjalan terhuyung-huyung hingga terjungkir balik untuk mencapai Morg. Mereka umurnya mungkin baru beberapa hari, pikir Morg. Garis-garis coklat pucat dan krem memanjang dari ujung moncong sampai ke ekornya, yang berkedut karena gembira melihat Morg. Mereka kelihatan lucu dan menggemaskan, Morg tersenyum. Tapi mengapa begitu terlambatnya babi hutan disini melahirkan anak-anaknya. Ia tahu bahwa mereka biasanya melahirkan bayi di musim tanam, saat babi hutan sedang buas-buasnya dan berbahaya. Mungkin mereka ini anak-anak yang kedua kalinya.

Lalu dia mengerutkan kening. Di mana ibu babinya? Babi betina biasanya tinggal dekat dengan bayi mereka, untuk melindungi mereka. Yang berarti tidak jauh. Yang berarti bahwa Morg harus keluar dari semak-semak ini secepatnya. Ia tertegun. Ia dapat ide. Semua orang akan marah padanya ketika ia kembali ke desa. Tapi jika ia datang dengan beberapa bayi babi....

Ia mengulurkan tangannya ke arah yang paling dekat. Tidak dapat. Ia kemudian perlahan merangkak menuju ke yang satunya lagi dan mencoba meraih ekornya, tapi lari juga, menjauh dari jangkauannya, lalu berbalik, melihat ke arah Morg. Rupanya bayi babi itu mengajaknya bermain-main. Morg geram. Ia beralih ke bayi yang ketiga, tapi entah kenapa yang satu itu pun lolos juga. Susah sekali menangkap anak-anak babi ini. Kemudian jubahnya tersangkut di salah satu duri. Ia dapat ide. Dipegangnya kedua ujung jubahnya, ia lemparkan ke atas anak babi yang paling dekat, dan kemudian menjatuhkan diri di atasnya. Anak babi itu menggeliat dan meliuk-liuk di bawah kain wol cokelat itu. Ia berdiri. Sambil menginjak dua sudut jubah itu dengan kakinya, Morg mengangkat sisi ujung jubanhya lewat bagian bawah tubuh anak babi itu dan menyatukan keempat sudut jubahnya dalam genggamannya. Jubahnya itu pun membentuk buntelan dengan bayi babi meliuk-liuk di dalamnya. Berhasil!

Ia melihat sekeliling. Tiga lainnya menghilang, bersembunyi di semak-semak. Berat juga anak babi ini ternyata. Memang masih kecil, tapi ini berat. Satu sudah cukup. Ia sebaiknya lari dari sana sebelum sang induk babi datang. Ia mulai merangkak di sepanjang lorong semak-semak, keluar dari dedurian. Ia menabrak sesuatu yang lembut.

Itu adalah bangkai babi. Pasti induknya. Morg menyadari itu sebabnya dia bisa menangkap bayi babi ini - ia kelelahan dan lapar. Morg merangkak di atas babi hutan itu. Menurut perkiraan Morg, babi ini sepertinya telah mati beberapa hari lalu. Tampak sudah mengeras dan punggungnya sudah sangat dingin. Kelihatannya babi ini telah dibunuh oleh serigala.

Morg bergegas keluar dari semak-semak secepat dia bisa. Ketika ia kembali ke jalan setapak kemudian berjalan dan agak sedikit berlari, ia sadar, ternyata ia tidak tahu sekarang ia sedang di mana. Jalan mulai menurun ke ngarai curam yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Napasnya sesak. Ia tersesat!

Sesaat Morg panik. Hari sudah hampir gelap dan ia tersesat di hutan penuh serigala dan tidak ada yang tahu ia ada di sana. Lalu ia mengambil napas dalam-dalam. Menarik napas lagi, dan lagi. Ia putuskan bahwa dia sekarang punya dua pilihan. Dia bisa kembali, dan berharap menemukan jalan yang tadi. Atau ia bisa terus berjalan dan kemungkinan ia akan mengenali sesuatu.

Dia berpikir keras. Mungkin matahari bisa menolongnya. Ia tidak melihat matahari, tapi ia bisa melihat langit lebih cerah di depan sana. Jika di sana lebih cerah, pasti matahari di bagian sana. Ia berjalan menuju matahari ketika ia meninggalkan desa, di pagi hari tadi. Matahari telah melintasi langit sejak itu dan sekarang turun. Berarti jalan pulang mengarah ke matahari terbenam, pikirnya. Ia berharap bahwa ia benar. Ia mendengar suara, tidak begitu keras, jauh di ujung sana. Ia tidak yakin, tapi terdengar sedikit seperti lolongan serigala.

Morg mulai mempercepat larinya. Dia mulai melantunkan doa kepada Cerunnos, Dewa binatang buas, tapi kemudian ia berubah pikiran. Ia harus tetap setia kepada Alos, yang telah membantunya selama ini. Babi hutan yang telah menjadi ujian baginya, dan babi itu tadi, walau bagaimana pun, mereka adalah jawaban atas doa-doanya. Alos telah memilih caranya sendiri. Sekarang akankah Dewi membantunya pulang dengan selamat?

Ia tidak lagi mendengar suara serigala. Ia menganggap suara itu tadi hanyalah khayalannya saja. Atau mungkin memang ada, dan mereka sedang berburu mangsa di bagian lain dari hutan ini. Tapi telinganya tetap selalu waspada, dan bulu-bulu kuduknya tetap berdiri. Ia ketakutan.

Jalan mulai berlumpur. Morg berjingkat, mencari pijakan pada gundukan rerumputan yang agak keras, melompat-lompat pada kumpulan rerumputan itu. Sepatunya terbuat dari kulit tipis, air lumpur merembes. Jalan mulai masuk ke rawa. Morg ragu-ragu dan memandang ke sekeliling. Pohon-pohon yang menipis. Dia bisa melihat mulai ada sungai, dan mungkin ada jalan dan dataran terbuka di ujung sana. Ia melangkah, mengangkat lututnya. Anak babi yang dipegangnya hampir lepas. Ia mengeluarkan kakinya dari sepatunya. Banyak lumpur, dan bau.

Aku tidak boleh putus asa, pikir Morg. Jika aku menyerah, aku tidak akan pernah bisa pulang. Sambil memegangi babi, dengan tekad baru, dia mengambil lompatan ke sepetak rumput. Segera, ia berjalan terus melalui pepohonan dan benar saja, ada ruang terbuka disana. Dan hebatnya, dari tanah kosong itu dia bisa melihat bukit, menjulang tinggi dan hitam di atas hutan. Morg hampir terisak karena lega.

Tiba-tiba ia mendengar lolongan, lolongan panjang serigala lapar. Bulu-bulu pada lengan Morg meremang. Lolongan itu datang lagi, memenuhi hutan senja itu. Suara itu dekat, pikirnya, aku yakin mereka lebih dekat. Morg mulai berlari. Ia bisa melihat bukit, tapi ia masih jauh dari aman. Ia mencapai tepi bidang di mana ia menempatkan domba-dombanya pagi tadi. Tempat itu sekarang kosong, semua domba telah aman di dalam benteng. Lolongan itu datang lagi, dan kemudian kedua dan ketiga. Tentu saja ada lebih dari satu, pikirnya. Ia tersandung. Buntalan itu juga jatuh. Mereka mengikutiku, mereka pasti mengikutiku, pikir Morg.

Lalu ia sadar. Tentu saja mereka mengikutinya. Bau Morg seperti bau babi hutan, karena membawa anak babi dalam jubahnya. Betapa idiotnya aku, pikirnya. Ia hendak menjatuhkan saja jubah dan melepaskan babinya. Ia berhenti. Tidak, aku sudah sejauh ini, pikirnya. Aku tidak bisa meninggalkannya sekarang. Tidak setelah semua ini selesai. Ia mulai memanjat jalan berbatu ke pintu gerbang. Aku hampir sampai, aku hampir sampai, pikirnya. Lolongan yang begitu dekat Morg pikir dia bisa mendengar sentakan rahang serigala-serigala itu dan merasakan kehangatan napas mereka pada tumitnya.

Gerbang benteng telah ditutup. Morg memanggil dengan seluruh energinya yang tersisa.

"Buka! Cepat!" teriaknya.

Sebuah kepala bulat pucat muncul di atas benteng dan melihat ke bawah.

"Siapa itu?" teriak penjaga.

"Ini aku Morg. Ada serigala –.."

Penjaga itu menghilang dan Morg mendengar dia berteriak memberi peringatan di dalamnya. Dia mendengar langkah kaki berlari menuruni lorong ke pintu gerbang. Penjaga itu membukanya.

"Biarkan aku masuk!" kata Morg megap-megap. Ia berbalik untuk melihat ke belakangnya. Ia bisa melihat mata kuning bersinar dalam kegelapan di ujung sana. Penjaga itu membanting pintu gerbang dan menutupnya rapat -rapat.

***

Penjaga itu mencoba untuk mengambil bundelannya tapi jari-jari Morg sudah membeku dan memempel, jadi ia membiarkan saja Morg bejalan melalui lorong gerbang yang memutar itu. Pada saat ia keluar dari lorong gerbang, ayahnya menyambarnya ke dalam pelukannya.

"Morg, Morg," bisiknya ke rambutnya. "Sayangku. Gadis ku yang pemberani." Sesuatu menggeliat di lengannya.

"Apa itu?" katanya, hampir menjatuhkan Morg.

"Ini anak babi. Seekor babi hutan," katanya. "Aku pikir ini akan menyenangkan hati ayah. Dan ibu juga."

Kemudian ayahnya mengangkat kepalanya yang besar itu, dan tertawa terbahak-bahak, seluruh tubuhnya bergetar.

"Morg, jadi kamu keluar sampai selarut ini hanya untuk berburu babi? Sungguh ini memang kejutan." Dan dia tertawa lagi.

"Ayah," gumam Morg. "Aku kedinginan." Dia mulai bergoyang. Ayahnya tiba-tiba berhenti tertawa. Dilepaskannya jubah merah tebal dan membungkus Morg bersama anak babi itu di dalamnya, meraup bundelan itu ke dalam pelukannya dan melangkah melintasi kandang ke pondok. Dia menendang, membuka pintu.

"Brigd. Morg sudah pulang, " katanya. Ibu Morg tanpa sadar menjatuhkan panci air yang dipegangnya dan berlari ke arahnya.

" Morg! Morg-ku yang cantik," dan ibunya memeluknya erat-erat, mencium wajahnya. “Aku pikir aku telah kehilanganmu."

"Dia kedinginan. Dia menggunakan jubahnya untuk membawa anak babi itu," kata ayahnya, dan saat ia mengatakan itu, jari Morg yang dihangatkan oleh jubahnya yang telah membentang kembali. Anak babi itu menggeliat dari bundelan dan berlari memekik ke dalam pondok. Ayah Morg menghalaunya ke pintu, yang ia tendang saat metutupnya tadi, dan kemudian ia mencoba untuk menangkapnya. Tetapi babi itu cepat, dan berusaha melarikan diri. Mereka berkejaran mengelilingi api. Col ikut mengejar, mencoba untuk mengarahkan babi itu ke sudut. Dua mangkuk air berantakan. Tenun terguling berserakan. Anak babi itu menjerit. Ibu Morg mengambil bayinya yang sedang terbaring di sana. Ayah Morg melemparkan dirinya ke babi itu, tetapi hanya berhasil mendaratkan wajahnya di selimut. Col mengambil jerami untuk menghadang babi itu, dan ayah Morg yang mendorong beberapa kayu dan tepi tenun untuk membentuk perangkap, dan anak babi itu terjebak. Ayah Morg dan Col kelelahan, dan sementara Morg dan ibunya juga kelelahan menahan tawa.

"Iblis apa yang telah kamu bawa ini, putriku," desah ayah Morg. Morg tersenyum.

"Tapi sekarang sudah tertangkap. Baiklah. Dia bisa diberi makan bersama dengan babi-babi kita untuk memperkuat mereka. Babi-babi ini akan membawa keberuntungan. Kamu sudah melakukannya dengan baik." Dia berbalik dan meninggalkan pondok.

"Mendekatlah ke api, nak," kata ibunya. "Minumlah ini," dan ia menawarkan Morg secangkir –sesuatu yang panas dan lezat.

"Ini adalah mead," kata ibunya. (mead: minuman fermentasi yang dicampur madu),  "Ini akan menghangatkanmu. "Morg meneguk minuman madu itu dan merasakan es mencair dalam dirinya.

"Ibu," ia ragu-ragu. "Bagaimana keadaan adikku?"

"Tabib mengobati luka bakarnya dengan ramuan, tangannya diikat. Batuknya sudah agak berkurang hari ini. Lihat, ia sudah tidur."

Morg menatap ibunya. Apakah dia terlihat berbeda?

"Ibu? Apa ibu sudah baikan?" katanya.

"Mungkin. Tabib juga mengobatiku. Dia membakar beberapa tanaman obat untuk mengusir roh jahat dalam diriku. Aku sendiri merasa lebih baik sekarang."

Morg tersenyum sendiri. Ia tahu Alos telah menyembuhkan ibunya. Ia senang.

Pintu tiba-tiba terbuka.

"Apa kamu sudah hangat sekarang, nak?" kata ayahnya. "Karena ini sudah saatnya untuk pesta."

Ibu Morg membuka tutup peti kayu yang terletak di dekat kasur jerami itu. Di dalamnya ada jubah-jubah terbaik, yang dipakai keluarga ini untuk hari raya. Dengan hati-hati dikeluarkannya satu per satu. Jubah Col yang warna kuning. Punya ibunya yang berwarna hijau daun ek muda dan punya Morg adalah yang berwarna langit senja, abu-abu kebiruan. Morg membelainya dan ingat saat ia memilih warna dan mengaduk wolnya. Mereka mengambil bahan pewarna pakaian itu dari tanaman di hutan, dan direndam dalam air panas. Kemudian mereka mengambil wol yang telah mereka buat sedemikian rupa dan mengaduknya dalam pewarna. Dia terkikik sendiri ketika ia teringat ibunya menyuruhnya untuk berjongkok dan ia masuk ke dalamnya.

"Ini akan memperindah warnanya," kata ibunya.

Mereka membiarkan wol dalam pewarna itu selama berhari-hari, hanya sesekali mengaduknya, sampai warnanya menyatu dengan wol. Kemudian ia membantu ibunya menyiapkan alat tenun dan menyaksikan benang yang dibolak-balikkan dan dibuat jadi kain yang akan membentuk mantelnya. Dia suka jubah ini. Begitu lembut dan halus dan biru cocok dengan matanya.

Ia menaruhnya di atas bahunya.

"Kaitkan brosnya, nak, " kata ayahnya dan Morg menggelengkan kepalanya.

"Brosku aku berikan kepada sang Dewi," gumamnya. Ayahnya berjongkok dan menatap matanya. Apakah dia marah? Dia bertanya-tanya.

"Kamu sudah memohon apa padanya?" katanya pelan.

"Aku memohon supaya ibu menjadi baik. Dan supaya ibu menyayangiku lagi."

"Ibumu sangat mencintaimu," katanya. "Dan ayah pikir dia akan baik sekarang. Sini." Ayahnya mencopot bros miliknya. "Hanya untuk malam ini," dan ia mengaitkannya ke jubah milik Morg.

Kemudian Morg melanjutkan.

"Aku juga bertanya apakah aku bisa ikut pergi berburu," katanya dan ia menatapnya, matanya penuh dengan kenakalan. Sesaat, sebelum akhirnya ayahnya tertawa.

"Sang Dewi tidak bisa mengabulkan semuanya," katanya.

Ketika mereka pergi ke luar api sudah menyala besar dan menerangi di sekitar tengah lingkaran deretan pondok mereka. Berputar-putar di tengah tempat pemanggangan itu adalah salah satu babi hasil tangkapan para pemburu pada hari sebelumnya. Panggangan itu berderak dan berceceranlah lemak yang jatuh ke dalam api. Bau daging panggang memenuhi hidung Morg dan mulutnya penuh dengan liur. Ia ngiler. Morg baru sadar bahwa dia belum makan sejak pagi. Para penduduk desa berkumpul di sekitar api dan ayah Olwig yang sedang mengiris daging hewan yang besar itu. Morg mengambil tempat paling depan.

"Morg kecil, ini untukmu," kata ayah Olwig. Diambilnya dan dilahapnya, ia mengoyak daging itu dengan giginya, membakar lidah dan bibirnya dengan lemak panas. Enak sekali. Perut Morg masih kosong dan kelaparan. Butuh hampir satu menit sebelum akhirnya ia menelan habis potongan terakhir, dan mau lagi. Ia menyambar sepotong lagi. Ia melihat Olwig dan Pridoc di sisi tempat pemanggangan yang satunya lagi, pemanggangan dikerubungi oleh para tetangganya. Mereka merobek daging itu, jari tangan dan mulut mereka berkilau dengan lemak, mereka tertawa dalam cahaya terang dari api. Meskipun penduduk desa menyembelih babi dan domba mereka sesekali saja, tapi ini adalah bulan-bulan dimana mereka punya daging dalam jumlah yang melimpah. Ada lebih dari cukup untuk semua orang, dan beberapa masih tersisa. Tulang-belulangnya akan dikumpulkan dan dibersihkan, kemudian direbus beberapa lama kemudian mereka ukir jadi sendok dan sisir. Tak satu bagian pun pemberian Dewa ini akan sia-sia.

Perlahan-lahan, semua perut telah kenyang. Selimut dan tumpukan jerami mengelilingi api dan penduduk desa berbaring di atasnya, bahagia. Sekarang adalah waktu untuk bersenang-senang. Mead, minuman mereka tumpah ruah. Tong-tong tempat minuman itu dikeluarkan semuanya, dijadikan gendang, dan para penabuh itu mulai memainkan iramanya. Penari mulai bergoyang. Lalu ayah Morg berseru agar mereka semua diam. Hening.

"Aku ingin menceritakan sebuah kisah tentang Dewi Alos, Dewi hutan kita." Orang-orang berbisik. Ayah Morg adalah seorang pendongeng yang ulung. Dia menceritakan kisah baru, cerita tentang Alos dan Morg, seorang gadis kecil yang telah berani memohon kepada sang Dewi dan keinginannya itu dikabulkan. Kerumunan bersorak dan Morg tersenyum. Ia tidak keberatan, pikirnya, bahwa tidak semua keinginan menjadi kenyataan. Sungguh-sungguh jadi kenyataan. Tapi dia menahan bibirnya sekuat tenaga agar tidak berteriak karena kegirangan.

Ketika genderang sudah mulai dimainkan lagi, ayahnya duduk di sampingnya di atas jerami. Ia tidak melihatnya.

"Aku akan segera mengajak Arlen ke hutan," katanya. "Dia harus dilatih dengan beberapa keterampilan berburu." Morg masih diam.

"Tapi aku tidak bisa melatihnya sendiri." Dia menatap Morg. Matanya penuh harapan.

"Aku?" kata Morg.

"Kamu," katanya, dan ia tersenyum. Morg mendaratkankan lengannya di leher ayahnya.

"Sungguh Ayah?" tanyanya. 

"Tentu saja, pemburu wanita kecilku." 
                                
                                <Tamat>

No comments:

Post a Comment